Liliyana Natsir, BWF Hall of Fame, dan Kutukan Istora
Liliyana Natsir mendapat kehormatan sebagai pebulu tangkis Indonesia ke-10 yang masuk BWF Hall of Fame. Perjalanan kariernya penuh kerja keras dan ketekunan. Dengan itu pula, ia mampu meruntuhkan mitos kutukan Istora.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA, YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Liliyana Natsir, oleh mantan pelatih, partner, dan lawan, dikenal sebagai salah satu atlet terbaik putri di nomor ganda campuran. Pengakuan itu dikukuhkan dengan penghargaan BWF Hall of Fame untuk sosok terbaik dari yang terbaik di arena bulu tangkis. Penghargaan itu diterima Liliyana di Istora Gelora Bung Karno, arena bulu tangkis yang dulu menjadi kutukan baginya.
Penghargaan BWF Hall of Fame diberikan kepada atlet dengan kemampuan luar biasa, pelatih dan wasit terbaik sepanjang masa, juga kepada sosok lain yang memberi pengaruh besar pada permainan bulu tangkis.
Anggota pertama, yang dipilih pada 1996, adalah SSC Dolby, George Alan Thomas, Betty Uber, dan Herbert Scheele. Sejak saat itu, hingga 2022, telah terpilih 68 orang terbaik yang mendapat penghargaan tersebut.
“Masuk ke dalam daftar BWF Hall of Fame adalah penghargaan langka dan Liliyana Natsir sangat pantas mendapatkannya. Dia berada di antara pemain terbaik ganda campuran dengan membuat berbagai rekor,“ kata Presiden BWF Poul-Erik Hoeyer Larsen dalam laman resmi BWF.
Peraih medali emas tunggal putra Olimpiade Atlanta 1996 itu juga menilai, kemampuan sosok yang akrab disapa Butet itu membuat penonton bisa menikmati permainannya.
“Dia pun membuat pukulan sulit terlihat mudah untuk dilakukan. Saya mengucapkan selamat untuk penghargaan ini dan saya saya yakin, dia akan terus menjadi inspirasi bagi generasi mendatang,“ lanjut mantan pebulu tangkis Denmark tersebut.
Pemberitahuan awal mengenai penghargaan itu diterima Butet dari perwakilan BWF melalui aplikasi percakapan. Dia mengaku sempat tidak percaya dengan penunjukan dirinya masuk BWF Hall of Fame.
Awalnya, ia menyangka mendapat kehormatan itu bersama dengan pasangannya saat meraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Tontowi Ahmad. Namun, hanya Butet dan Zhao Yun Lei dari China yang memperoleh penghargaan itu tahun ini. Zhao adalah pebulu tangkis peraih medali emas ganda putri dan ganda campuran di Olimpiade London 2012. Dia juga tercatat lima kali merebut medali emas Kejuaraan Dunia.
Dengan penghargaan ini, Butet menjadi pebulu tangkis Indonesia ke-10 yang masuk BWF Hall of Fame. Ia juga menjadi pebulu tangkis perempuan Indonesia kedua yang mendapat penghargaan itu setelah Susi Susanti pada 2004.
“Ini kebanggaan yang luar biasa bagi saya. Walaupun sudah pensiun, saya masih menerima penghargaan. Saya masih dihargai. Ini bukti nyata bulu tangkis Indonesia itu diakui di dunia,“ kata Butet.
Perjalanan karier
Butet mulai bermain bulu tangkis pada usia sembilan tahun, usia yang dia katakan sebenarnya terlambat untuk bermain. Di Manado, Sulawesi Utara, dia berlatih di PB Pisok sebelum pindah ke Jakarta untuk berlatih di PB Tangkas pada usia 12 tahun pada 1997.
Perjalanannya sebagai anggota pelatnas dimulai pada 2002. Setelah kariernya pada ganda putri tak berkembang, potensi Butet dilihat oleh Richard Mainaky yang kemudian memintanya berlatih di ganda campuran sejak 2004. Butet dipasangkan dengan Nova Widhianto, lalu bersama Tontowi Ahmad pada 2010.
Bersama kedua partner itu, mantan atlet yang saat ini fokus pada bisnis, salah satunya bisnis properti itu, meraih gelar juara dari ajang-ajang besar. Dia empat kali menjadi juara dunia, dua kali bersama Nova dan dua kali bersama Tontowi.
Tontowi/Butetjugamenciptakan sejarah dengan menjadi pebulu tangkis ganda campuran Indonesia pertama yang meraih emas Olimpiade. Itu mereka dapat saat tampil di Rio de Janeiro 2016.
Richard, yang tak lagi melatih di pelatnas sejak September 2021, menilai, banyak keunggulan Butet yang belum dipunyai pemain putri lainpada ganda campuranhingga saat ini. “Butet adalah pemain yang disiplin dan selalu patuh mengikuti semua program yang dibuat pelatih. Dia juga pekerja keras, punya rasa percaya diri tinggi, dan tidak pernah menyerah. Selain itu, Butet juga punya keterampilan bermain yang istimewa,“ tutur Richard.
Masuk ke dalam daftar BWF Hall of Fame adalah penghargaan langka dan Liliyana Natsir sangat pantas mendapatkannya. Dia berada di antara pemain terbaik ganda campuran dengan membuat berbagai rekor.
Selain Richard, kemampuan bermain yang istimewa ini pernah dikemukakan pemain Malaysia, Goh Liu Ying, pada momen pensiunnya Butet. “Dia bisa menyerang dengan permainannya di depan net. Itu jarang dimiliki pemain putri di ganda campuran,“ katanya.
Atlet China, Zheng Siwei,menilai, Butet adalah pemain yang selalu memberikan performa terbaik pada setiap pertandingan. Sementara itu, legenda bulu tangkis Indonesia yang juga telah menjadi anggota BWF Hall of Fame, Christian Hadinata, menilai, konsistensi Butet sebagai pemain top dunia bisa diraih karena dia memiliki kecintaan pada bulu tangkis.
“Dia akan melakukan apa pun yang menjadi tanggung jawabnya tanpa terpaksa dan dipaksa,“ ujarnya.
Kutukan Istora
Pengalaman unik dirasakan Butet kala berpasangan dengan Tontowi. Butet dibayangi mitos kutukan Istora lantaran tidak pernah meraih gelar saat bertanding di sana sebelum 2017. Tontowi/Butet memang berhasil menjuarai Indonesia Terbuka 2017. Namun, saat itu mereka bertanding di Jakarta Convention Center karena Istora sedang direnovasi untuk menyambut Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
“Beberapa kali mungkin di negara orang kami juara All England hingga hattrick atau juara dunia. Nah, di Istora ini saya sama Tontowi enggak pernah juara,“ katanya.
Menderita kegagalan demi kegagalan kala bertanding di Istora sempat membuat Butet percaya bahwa mitos itu memang ada. Lambat laun mitos yang kian nyata itu sampai membuat Butet merasa terbebani ketika bermain di Istora.
Dengan ketekunan dan disiplin tinggi, Butet akhirnya meruntuhkan mitos tersebut. Bersama Tontowi, Butet keluar sebagai pemenang Indonesia Terbuka 2018 di Istora.
“Di situ akhirnya lega ternyata kutukan itu mitos. Intinya kembali lagi setiap atlet ini punya kesempatan yang sama asal kita kerja keras, disiplin, dan mau berusaha. Saya rasa mitos-mitos seperti itu tidak pernah ada,“ ujarnya.
Gelar di Istora itu seakan menjadi pelengkap bagi kegemilangan pencapaian Butet. Melalui pengalaman tersebut, Butet ingin agar adik-adiknya di pelatnas tidak memedulikan omongan dan juga cerita-cerita yang belum tentu kebenarannya.
Baginya, hanya kerja keras yang mampu membuat seorang atlet akan dikenang selamanya. Kini empat tahun kemudian, Istora kembali menjadi tempat yang ramah bagi Butet. Penghargaan BWF Hall of Fame yang jadi dambaan setiap pebulu tangkis digenggamnya di hadapan publik Indonesia di Istora.