Kemeriahan penonton bulu tangkis di Istora menjadi sumber semangat Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto pada babak kedua Indonesia Masters. Mereka pun memanfaatkan itu untuk melaju ke perempat final.
Oleh
YULIA SAPTHIANI, I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Teriakan histeris penonton di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, bermakna berbeda bagi dua ganda putra Indonesia. Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto makin bersemangat, sedangkan Pramudya Kusumawardana/Yeremia Erich Yoche Yacob Rambitan masih asing dengan kemeriahan itu.
Hal berbeda itu mereka rasakan ketika bertemu pada babak kedua turnamen bulu tangkis Daihatsu Indonesia Masters BWF World Tour Super 500, Kamis (9/6/2022). Laga yang membuat Istora tak pernah hening oleh teriakan penonton dan suara balon tepuk itu dimenangi Fajar/Rian 16-21, 21-17, 21-13.
Hasil tersebut menjadi kemenangan pertama Fajar/Rian atas “adik” mereka di pelatnas bulu tangkis tersebut. Sebelumnya, Fajar/Rian selalu kalah dari Pramudya/Yeremia pada dua pertemuan, di perempat final Hylo Terbuka 2021 dan semifinal Kejuaraan Asia 2022. Pada Kejuaraan Asia, Pramudya/Yeremia akhirnya menjadi juara.
Dalam pertandingan yang berlangsung selama satu jam delapan menit, Pramudya/Yeremia mendominasi gim pertama melalui permainan tempo cepat. Tak hanya Pramudya yang bisa memotong pukulan lawan di net, bahkan lebih cepat dari Fajar, Yeremia pun bisa melakukannya. Padahal, Yeremia berposisi sebagai pemain belakang yang perannya menyerang melalui smes.
Karakter pemainan ganda putra pun tergambar dari laga yang mempertemukan pasangan berbeda generasi itu. Mereka beradu refleks saat memainkan pukulan drive, kecerdikan dalam mengarahkan servis dan pengembalian servis, beradu smes, serta dalam ketangguhan bertahan.
Pramudya/Yeremia memukau penonton dengan kecepatan mereka pada gim pertama, hingga penonton yang merupakan penggemar Fajar/Rian pun harus memompakan semangat dengan berteriak “Fajri bisa, Fajri bisa!”. “Fajri” adalah julukan Fajar/Rian yang diberikan penggemar mereka.
Pertandingan tadi sangat luar biasa. Setelah gim kedua, kami harus cepat unggul pada gim ketiga. Kehadiran penonton juga jadi motivasi.
Teriakan inilah yang akhirnya memompa semangat Fajar/Rian untuk bangkit pada gim kedua dan ketiga. Setelah merebut gim kedua, mereka memulai gim ketiga dengan cepat hingga langsung unggul 4-0. Fajar bergerak lebih cepat di depan dan memperkuat pertahanan.
Keunggulan sejak awal pertandingan inilah yang akhirnya menjadi kunci kemenangan ganda putra unggulan ketujuh tersebut. “Pertandingan tadi sangat luar biasa. Setelah gim kedua, kami harus cepat unggul pada gim ketiga. Kehadiran penonton juga jadi motivasi,” kata Fajar.
Pendapat sebaliknya dikatakan Pramudya. Teriakan penonton cukup mengganggunya karena dia kesulitan berkomunikasi dengan Yeremia. “Mungkin karena saya belum terbiasa, karena ini menjadi pengalaman pertama saya tampil di Istora,” kata Pramudya.
Meski pernah bertanding dalam Indonesia Masters dan Indonesia Terbuka, salah satu dari ganda pelapis pelatnas utama itu memang belum pernah merasakan atmosfer pertandingan di Istora. Pada Indonesia Masters dan Indonesia Terbuka 2021, ganda berjulukan “Prayer” itu bermain dalam ajang yang digelar tanpa penonton dalam “gelembung” Bali.
Dukungan suporter itu pula yang dinilai Fajar menjadi keuntungan mereka untuk melawan peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Lee Yang/Wang Chi Lin (Taiwan), pada perempat final.
Fajar/Rian dan Pramudya/Yeremia menjadi dua dari enam ganda putra Indonesia yang tampil pada babak kedua. Pasangan lainnya adalah Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, dan Sabar Karyaman Gutama/Mohammad Reza Pahlevi Isfahani.
Dalam persaingan sesama pemain Indonesia lainnya, ganda campuran unggulan keempat, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti disingkirkan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari. Mereka kalah 16-21, 16-21. Pada perempat final, Rinov/Pitha akan berhadapan dengan pasangan Thailand, Supak Jomkoh/Supissara Paewsampran.
Chico Tersingkir
Salah satu pembeda antara pemain top dunia dengan pemain level di bawah mereka adalah kecepatan berpikir dalam memainkan strategi yang tepat ketika lawan mengubah pola permainan. Hal ini yang masih harus dipelajari tunggal putra Indonesia, Chico Aura Dwi Wardoyo.
Berhadapan untuk keempat kalinya dengan Loh Kean Yew, Chico pun selalu kalah, masing-masing dalam dua gim. Pertemuan keempat terjadi pada babak kedua turnamen Indonesia Masters. Chico kalah dari tunggal putra peringkat kesepuluh dunia itu dengan skor 11-21, 14-21.
Kekalahan sebelumnya dialami pada Kejuaraan Asia Beregu Putra 2022, perempat final Rusia Terbuka 2019, dan Singapura International Series 2017. Kekalahan tersebut terjadi sejak Chico berada dalam level yunior hingga masuk ke level yang lebih tinggi.
“Permainan Loh lebih matang. Saya dikontrol oleh dia dan terlambat mengubah pola main,” komentar Chico.
Mungkin karena saya belum terbiasa, karena ini menjadi pengalaman pertama saya tampil di Istora.
Berhadapan dengan Loh berbeda ketika Chico melawan Sameer Verma pada babak pertama, serta dua lawan dalam babak kualifikasi, yaitu Christo Popov dan Adham Hatem Elgamal. Loh, yang membuat kejutan dengan menjadi juara dunia, dengan cepat bisa mengubah pola main setelah kehilangan beberapa poin.
Dia bisa bermain dengan irama cepat atau bersabar menahan reli untuk menunggu momen yang tepat dalam menyerang. Sebaliknya, Chico pada akhirnya sering membuat kesalahan ketika mencoba mengubah cara bermain.
Kesulitan dialami finalis Kejuaraan Dunia Yunior 2016 itu menghadapi pemain top lain. Pada tahun ini, kekalahan dialami Chico dari Lakhsya Sen (peringkat ke-9), Viktor Axelsen (1), dan Jonatan (8). Pada Kejuaraan Asia, dia sebenarnya membuat kejutan ketika menumbangkan tunggal putra peringkat kedua dunia, Kento Momota, pada babak pertama. Namun, dia akhirnya terhenti pada semifinal setelah kalah dari Jonatan.
Di pelatnas utama tunggal putra, pemain berusia 23 tahun itu sebenarnya berstatus sebagai pelapis tiga seniornya, yaitu Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, dan Shesar Hiren Rhustavito. Namun, prestasinya terpaut jauh dengan ketiganya.
Untuk mengikuti turnamen dengan level BWF World Tour Super 500, seperti Indonesia Masters, Chico harus mengikuti babak kualifikasi karena hanya berperingkat 46 dunia, sedangkan tiga seniornya bisa langsung tampil pada babak utama.