Seiring dengan kedewasaan pribadinya, Rafael Nadal memiliki prinsip sederhana dalam menjalani karier sebagai petenis profesional. Kesderhanaan itu justru berbuah rekor demi rekor.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
PARIS, MINGGU - Bagi Rafael Nadal, memilih tetap berkompetisi di tenis profesional meski hidup dengan cedera, bukanlah demi menciptakan rekor demi rekor. Nadal melakukannya dengan perspektif sederhana, yaitu dia hidup di dunia tenis dan sangat menikmatinya.
Ketika itu menjadi prinsip dalam menjalani karier sebagai petenis profesional sejak 2001, Nadal terbebas dari tekanan deretan angka yang selalu menjadi indikator untuk menentukan siapa petenis terbaik. Namun, dengan cara itulah, Nadal justru mendapat “bonus”, bisa meraih gelar juara Grand Slam ke-22 dalam usia 36 tahun.
Gelar itu didapat dari Perancis Terbuka setelah mengalahkan Casper Ruud di final. Kemenangan dengan skor 6-3, 6-3, 6-0 di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Minggu (5/6/2022), memberinya trofi The Musketeers untuk ke-14 kali.
"Sangat sulit menggambarkan perasaan saya saat ini. Saya tidak percaya bisa berada di sini pada usia 36 tahun dan masih kompetitif di lapangan terpenting dalam karier saya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi saya akan terus berjuang," kata Nadal, setelah menerima trofi dari legenda tenis, Billie Jean King.
Meski mendominasi Perancis Terbuka sejak debut pada 2005, Nadal tidak difavoritkan juara ketika tiba di Roland Garros. Rivalnya, Novak Djokovic, dan petenis muda Spanyol, Carlos Alcaraz, lebih favorit. Itu terjadi karena cedera kronis pada kaki kiri Nadal kambuh saat tampil pada turnamen ATP Masters 1000 Roma. Dia pun membawa dokter dalam timnya ke Paris.
Nadal menderita Mueller-Weiss Syndrome, yaitu kelainan bawaan ketika salah satu bagian tulang telapak kakinya terlambat mengeras pada masa kecil. Dia didiagnosis mengalami itu pada usia 19 tahun hingga dokter memintanya berhenti bermain tenis. Kelainan itu dipengaruhi pula faktor degenerasi hingga kondisinya bisa kian parah saat semakin tua.
Peluang untuk juara dipersulit dengan hasil undian yang menempatkan Nadal bersama Djokovic dan Alcaraz pada paruh atas undian. Nadal pun bertemu Djokovic pada perempat final dan memenangi big match itu. Sejak saat itulah, peluang juara tumbuh.
Laga melawan Djokovic menjadi salah satu yang terlama bagi Nadal, selain babak keempat melawan Felix Auger-Aliassime dan ketika berhadapan dengan Alexander Zverev pada semifinal. Total, Nadal menghabiskan waktu 12 jam 46 menit pada tiga babak. Itupun laga semifinal tidak berlangsung sampai dua set karena engkel kanan Zverev terkilir hingga menimbulkan robekan ligamen.
Saya tidak percaya bisa berada di sini pada usia 36 tahun dan masih kompetitif di lapangan terpenting dalam karier saya. (Rafel Nadal)
Meski dikelilingi banyak kendala, Roland Garros bagai taman bermain bagi Nadal. Roland Garros bisa mengeluarkan semua potensi terbaik Nadal.
Di final, dia bisa menjawab semua tantangan dari Ruud, petenis yang untuk pertama kalinya menikmati final Grand Slam. Salah satu yang dilakukan petenis Norwegia itu adalah mengajak Nadal bermain reli.
Taktik itu dimainkan untuk menguras daya tahan Nadal yang berusia 13 tahun lebih tua. Namun, Nadal bisa meladeni dengan sabar untuk tiba-tiba mempercepat laju pukulan atau mengubah arah. Ruud, yang berlatih di Akademi Rafa Nadal, Mallorca Spanyol, sejak September 2018, hanya unggul 3-1 pada set kedua. Setelah itu, Nadal membalikkan posisi dengan merebut 11 gim beruntun.
Nikmati tenis
Sebelum Perancis Terbuka, Nadal menciptakan rekor dengan menjadi juara Grand Slam terbanyak tunggal putra, yaitu 21 kali, saat menjuarai Australia Terbuka. Dia unggul satu gelar atas dua rival utama, Roger Federer dan Djokovic.
Pada 2019, saat menjuarai Perancis Terbuka ke-12 kali, Nadal meraih gelar terbanyak dari satu Grand Slam. Dia mengungguli Margaret Court yang 11 kali menjuarai tunggal putri Australia Terbuka pada era 1960-an sampai 1970-an.
Namun, bukan deretan angka itu yang saat ini dicarinya. "Ini bukan perihal bahwa saya harus membuktikan sesuatu, ini tentang bagaimana saya menikmati apa yang saya lakukan. Jika Anda menyukai suatu aktivitas, tentu Anda akan terus melakukannya. Saya menyukai tenis. Selama masih bisa bermain, saya akan terus bermain," tutur Nadal.
Ketika tenis menjadi bagian dari kenikmatan hidupnya, hasil tak lagi menjadi fokus. Ini tergambar ketika Nadal kalah dari Djokovic pada semifinal Perancis Terbuka 2021.
Juara tunggal putri 2020 dan 2022, Iga Swiatek, bercerita, dia bertemu Nadal, yang merupakan idolanya, setelah kekalahan itu. "Saya bercerita pada Rafa, saya menangis semalaman karena dia kalah. Rafa hanya mengatakan, kekalahan adalah bagian dari laga dan dia melupakannya. Saat mendengar itu, saya ingin sekali belajar memiliki prinsip yang sama,” kata Swiatek.
Saat konferensi pers setelah menang atas Zverev pada semifinal, Nadal bercerita, dia rela kalah pada final jika saja bisa mendapatkan kaki baru. "Kaki baru bisa membuat saya lebih bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena saya punya masa depan. Bisa menang memang menyenangkan, tetapi kesenangan itu hanya sementara," katanya.
Perspektif itu terdengar sederhana. Namun, Nadal melalui proses panjang untuk menjadi seperti sekarang. Dia pernah terobsesi dengan kemenangan pada masa muda. Setelah kalah dari Federer pada final Wimbledon 2007, Nadal menangis dua jam di bawah pancuran air di ruang ganti pemain.
Setelah obsesi itu berganti seiring kedewasaannya, seperti dikatakan komentator turnamen, "Petenis terbaik itu bahkan menjadi lebih baik". (AFP)