Selangkah lagi, Iga Swiatek mengukuhkan dominasi dalam empat bulan terakhir dengan membawa gelar juara Grand Slam Perancis Terbuka. Namun, dia harus melewati tes terberatnya, petenis berusia 18 tahun, Cori "Coco" Gauff
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
PARIS, JUMAT-Tampil dominan dalam empat bulan terakhir, Iga Swiatek menjadi satu-satunya favorit juara tunggal putri Grand Slam Perancis Terbuka. Namun, satu kemenangan lagi yang dibutuhkannya untuk menjadi juara, harus didapat melalui tes terberat, yaitu melawan Cori “Coco” Gauff.
Swiatek akan tiba di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Sabtu (4/6/2022), setelah menyamai rekor yang dibuat Serena Williams, yaitu mencetak 34 kemenangan beruntun. Prestasi yang dibuat Serena pada 2013 itu disamai Swiatek setelah mengalahkan Daria Kasatkina pada semifinal, Kamis.
Kemenangan beruntun petenis nomor satu dunia itu dimulai di turnamen WTA 1000 Doha, Februari. Sejak saat itu pula Swiatek meraih lima gelar juara secara beruntun sebelum bersaing pada Perancis Terbuka. Satu kemenangan lagi akan membuatnya menyamai Venus Williams dengan 35 kemenangan berturut-turut yang dibuat 22 tahun lalu.
Di Roland Garros, tiket final didapat Swiatek berkat permainan yang mengkombinasikan kelincahan dan kecepatan dari baseline, juga, dengan konsistensi pukulan keras yang selalu menekan lawan. Forehand slice, pukulan halus dengan gaya mengiris, juga menjadi senjata petenis berusia 21 tahun itu untuk mengubah ritme permainan dengan tiba-tiba.
Sangat sulit menemukan lubang pada permainan Iga, meski saya berusaha mencarinya. Saya pun tidak terbiasa dengan pukulan dia dan servis yang begitu bagus.
“Sangat sulit menemukan lubang pada permainan Iga, meski saya berusaha mencarinya. Saya pun tidak terbiasa dengan pukulan dia dan servis yang begitu bagus,” ujar Jessica Pegula yang disingkirkan Swiatek pada perempat final.
Setelah pada dua babak pertama hanya kehilangan empat gim, Swiatek menjalani laga lebih ketat dalam dua babak berikutnya. Pada babak keempat, petenis China, Zheng Qingwen, membuat Swiatek bertanding tiga set dengan mencuri set pertama. Setelah itu, dia kembali tampil solid pada perempat final dan semifinal.
Swiatek hanya menghadapi 18 break point yang menandakan betapa solid permainannya saat mempertahankan servis. Sebaliknya, Coco lebih sering berada dalam tekanan karena berhadapan dengan 48 break point lawan. Meski pukulannya lebih bertenaga hingga bisa menekan lawan, Coco masih memiliki kelemahan dalam servis. Dia membuat 33 double fault, sementara Swiatek hanya lima.
Swiatek juga akan memiliki keuntungan lain karena pernah merasakan atmosfer final Grand Slam ketika menjuarai Perancis Terbuka 2020. Berstatus petenis non unggulan, dia mengalahkan unggulan keempat, Sofia Kenin, pada final.
Kemampuan untuk mengatasi tekanan dimiliki Swiatek berkat pendampingan psikolog, Daria Abramowicz, dalam tim. Hal “kecil” yang rutin dilakukan, yaitu mendengarkan musik saat memasuki lapangan bertanding, membantunya mengumpulkan energi sekaligus rileks.
“Ada lagu dari beberapa grup band yang saya dengar sebelum pertandingan. Led Zeppelin, AC/DC, dan Guns N’Roses,” katanya.
Final pertama
Di seberang net, Coco akan merasakan final pertama pada panggung kompetisi tenis level tertinggi. Tak hanya di tunggal, petenis berusia 18 tahun itu, juga, akan tampil pada final ganda putri bersama Pegula. Dia pernah sampai pada tahap final Grand Slam ketika bertanding di Flushing Meadows, New York, 2021. Namun, Coco/Catherine McNally kalah dari Zhang Shuai/Samantha Stosur.
Berbeda dengan Bianca Andreescu dan Emma Raducanu yang menjuarai Grand Slam saat remaja, lalu prestasinya menurun, Coco menapaki kariernya dengan perlahan sejak membuat kejutan pada Wimbledon 2019. Dalam debut pada babak utama Grand Slam saat itu, dia mengalahkan Venus Williams pada babak pertama dan bertahan hingga babak keempat.
Sejak momen tersebut hingga sekarang, muncul beberapa petenis remaja yang menjuarai Grand Slam, melebihi perjalanan Coco. Pada tahun yang sama, Andreescu menjuarai Amerika Serikat Terbuka dalam usia 19 tahun, lalu Swiatek yang menjadi juara Perancis Terbuka 2020, dalam usia yang sama. Pada AS Terbuka 2021, Raducanu juara dalam usia 18 tahun setelah menapaki persaingan sejak babak kualifikasi.
Namun, setelah itu, mereka tenggelam, terutama Andreescu dan Raducanu. Meski tak seburuk kedua petenis itu, Swiatek kesulitan mempertahankan konsistensi bersaing pada level top dunia hingga akhirnya dia mendapatkan kembali momentum pada tahun ini.
Pada periode yang sama, hasil terbaik Coco adalah perempat final Perancis Terbuka 2021. Dia bersabar menjalani proses dengan meningkatkan semua aspek untuk menjadi bagian dari petenis elite secara perlahan, termasuk faktor non teknis.
Untuk bersaing di Roland Garros misalnya, Coco berusaha bermain dengan sabar. Faktor itu menjadi salah satu syarat bertanding di lapangan tanah liat yang membuat permainan berjalan lambat karena pantulan bola yang pelan.
Saat berhadapan dengan Martina Trevisan pada semifinal misalnya, Coco selalu mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersabar. “Ini bukan saat yang tepat untuk menyerang, ini juga bukan” menjadi mantra dalam benaknya agar tak bermain terburu-buru.
Salah satu momen yang membuatnya belajar bersabar adalah ketika berhadapan dengan Barbora Krejcikova pada perempat final di Roland Garros, setahun lalu. Coco kesulitan mengontrol emosi pada poin kritis dan saat membuat kesalahan hingga kalah 6-7 (6), 3-6. Untuk melampiaskan frustrasi, dia pun melemparkan raketnya ke lapangan.
“Ada garis tipis yang membedakan rasa percaya diri dan terlalu memaksakan diri. Tahun lalu, keinginan saya terlalu berlebihan. Tahun ini, saya tetap menginginkan juara, lagi pula, siapa yang tak ingin menjuarai Grand Slam. Namun, saya juga berpikir, jika tahun ini bukan saatnya, itu bukan akhir dari segalanya,” ujar remaja yang baru menyelesaikan SMA itu.
Dengan kesabaran, kemampuan bergerak dengan luwes di lapangan tanah liat, serta karakternya yang tak takut tampil dalam panggung besar, Coco bisa memberi kesulitan pada Swiatek. “Dengan apa yang mereka perlihatkan sepanjang turnamen, saya rasa Iga tetap favorit juara, tetapi Coco akan menjadi tes yang sebenarnya,” ujar mantan petenis nomor satu dunia, Mats Wilander. (AFP/REUTERS)