Bergerak dengan cara meluncur di lapangan tanah liat Roland Garros bukan hal yang mudah. Banyak petenis top, salah satunya Naomi Osaka, kesulitan bermain di lapangan itu meski bisa menjuarai Grand Slam lain.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Empat gelar Grand Slam menjadikan Naomi Osaka sebagai salah satu petenis tunggal putri terbaik dalam empat tahun terakhir. Namun, mantan petenis nomor satu dunia itu masih saja kesulitan tampil di turnamen lapangan tanah liat.
Osaka tersingkir pada babak pertama Perancis Terbuka setelah kalah dari Amanda Anisimova. Bermain di Lapangan Suzanne-Lenglen, Roland Garros, Paris, Senin (23/5/2022), Osaka gagal melewati tantangan pertama dengan kekalahan 5-7, 4-6.
Ini menjadi kekalahan kedua Osaka dari petenis Amerika Serikat berusia 20 tahun itu setelah disingkirkan pada babak ketiga Australia Terbuka di Melbourne Park, Januari. Kekalahan tersebut membuat Osaka gagal mempertahankan gelar juara Grand Slam di lapangan keras. Tiga gelar lainnya didapat pada jenis lapangan yang sama, yaitu Australia Terbuka 2019, serta Amerika Serikat Terbuka 2018 dan 2020.
Tahun ini, Osaka tiba di Roland Garros dengan membawa cedera achilles kiri, yaitu bagian kaki antara betis dan tumit. Itu membuatnya sulit mengejar bola sambil berlari. Pada jeda setelah gim ketujuh set kedua, dia memijat-mijat bagian atas tumit kirinya.
Namun, di luar kondisi tersebut, Osaka termasuk salah satu petenis top yang selalu kesulitan bermain di lapangan tanah liat. Di Roland Garros, petenis Jepang itu tidak pernah melewati babak ketiga. Tujuh gelar juara dari Grand Slam dan turnamen WTA didapatnya dari lapangan keras.
Sebelum Osaka, banyak nama besar yang juga kesulitan menaklukkan Roland Garros. Pete Sampras memiliki 14 gelar dari tiga Grand Slam, tetapi hasil terbaiknya di Perancis Terbuka hanya satu semifinal pada 1996. Jimmy Connors, Martina Hingis, Lindsay Davenport, Boris Becker, dan Stefan Edberg adalah para pemilik gelar Australia Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka, tetapi tak pernah menjadi juara Perancis Terbuka.
Maria Sharapova, bahkan, pernah mengatakan bahwa penampilannya di lapangan tanah liat seperti sapi yang terpeleset di atas es. Itu dikatakannya setelah memenangi babak kedua Perancis Terbuka 2007.
Komentar tersebut akhirnya menjadi bahan pembicaraan media ketika Sharapova untuk pertama kalinya menembus final Perancis Terbuka pada 2012 dan menang. Gelar tersebut menjadi pelengkap gelar pada tiga Grand Slam lain yang diraih pada rentang 2004-2008.
Sharapova membutuhkan banyak waktu untuk merasa nyaman di lapangan tanah liat yang licin dan permukaan yang tak serata lapangan keras. Ketika kenyamanan itu didapat, dia tampil pada dua final berikutnya dan menjadi juara untuk kedua kalinya pada 2014.
Hal pertama dan paling utama yang harus dikuasai petenis di tanah liat, menurut Martina Navratilova dan Jim Courier, adalah kemampuan untuk bergerak dengan luwes. Di atas lapangan dengan permukaan tumbukan batu bata, bergerak dengan cara meluncur menjadi kemampuan yang wajib dimiliki.
Namun, menguasai keterampilan itu bukanlah hal yang mudah. Peraih medali emas tunggal putri Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Monica Puig, bercerita, dia sering terjatuh saat pertama kali belajar bermain di lapangan tanah liat.
“Saya jatuh setiap kali bergerak,” katanya. Selain bisa meluncur, pelatihnya mengajari agar petenis Puerto Rico itu bisa meluncur dengan aman tanpa menimbulkan efek cedera.
“Kecuali kamu terbiasa bermain di lapangan tersebut sejak kecil, sangat sulit untuk bisa bergerak luwes di tanah liat. Harus ada perhitungan yang tepat kapan mulai meluncur untuk mengejar bola, memukul, berhenti meluncur, lalu bergerak lagi,” tutur Navratilova, pemilik 18 gelar dari semua Grand Slam, termasuk Perancis Terbuka 1982 dan 1984.
Selain meluncur, Courier menyebut, kesabaran dalam bermain reli dan menerapkan taktik yang tepat menjadi syarat lain. Permukaan tanah liat membuat bola memantul lebih pelan dan tinggi dibandingkan lapangan keras dan rumput. Akibatnya, ritme permainan pun menjadi lebih pelan. Tanpa kesabaran, pukulan keras yang dilakukan dengan terburu-buru tak akan cukup untuk menjadi bekal mendapat poin.
“Jika Anda bisa bergerak secara natural seperti (Rafael) Nadal, bagaimana cara bergerak tak akan menjadi fokus. Fokus bisa dialihkan pada syarat lain. Bermain di tanah liat membutuhkan pola pikir berbeda dengan lapangan keras. Anda harus siap untuk melancarkan banyak pukulan dan bermain dengan banyak bertahan,” tutur Courier, juara Perancis Terbuka 1991 dan 1992.
Mantan petenis nomor satu dunia asal AS itu menyatakan, dia cukup beruntung belajar tenis di Florida karena di tempat tersebut banyak diselenggarakan turnamen di lapangan tanah liat hijau. Dari situlah, Courier belajar meluncur sejak kecil.
Jika Anda bisa bergerak secara natural seperti (Rafael) Nadal, bagaimana cara bergerak tidak akan menjadi fokus. Fokus bisa dialihkan pada syarat lain. (Jim Courier)
Finalis tunggal putri AS Terbuka 2021, Leylah Fernandez, belajar untuk bergerak lebih baik di lapangan tanah liat dengan menggunakan yoga yang memang rutin dilakukannya.
“Kesulitan utama di tanah liat adalah karena permukaannya licin, jadi semua otot dan ligamen menjadi tegang. Ini sangat kontras dengan di lapangan keras. Jadi, saya banyak melakukan peregangan dan yoga agar otot di kaki saya siap menghadapi tantangan di lapangan ini,” kata Fernandez yang menang atas Kristina Mladenovic 6-0, 7-5, pada babak pertama, Minggu. (AP/AFP)