Format Baru Liga Champions Akhiri Prospek Liga Super Eropa
UEFA meyakini format baru Liga Champions sudah menutup celah pelaksanaan Liga Super Eropa yang sempat diinisiasi sejumlah klub besar Eropa. Format itu menawarkan keuntungan materi lebih besar yang diincar klub elite.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
VIENNA, KAMIS — Melalui format baru Liga Champions yang diumumkan pada Selasa (10/5/2022), Federasi Sepak Bola Eropa atau UEFA meyakini sudah cukup untuk mengakhiri ide penyelenggaraan Liga Super Eropa yang diinisiasi sejumlah klub besar Eropa beberapa waktu lalu. Format baru kompetisi terbesar antarklub Eropa itu menawarkan keuntungan materi lebih berlimpah, yang menjadi incaran klub elite sehingga sempat ingin membuat Liga Super Eropa.
Presiden UEFA Aleksander Ceferin dilansir BBC, Rabu (11/5/2022), mengatakan, prospek Liga Super Eropa sudah berakhir usai UEFA menyetujui format gaya Swiss untuk Liga Champions mulai musim 2024/2025. ”Saya tidak suka menyebutnya Liga Super karena itu segalanya kecuali Liga Super. Bagi saya, proyek itu telah selesai untuk semua, setidaknya selama 20 tahun (ke depan). Saya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti,” ujar Ceferin pasca Kongres UEFA di Vienna, Austria.
Isu pelaksanaan Liga Super Eropa mencuat pada April 2021. Saat itu, 15 klub menyatakan bergabung. Sebanyak 12 klub berstatus pendiri, yakni Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, Juventus, Inter Milan, AC Milan, Manchester United, Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspur, Chelsea, dan Arsenal.
Kemudian dikabarkan menyusul Bayern Muenchen, RB Leipzig, dan FC Porto. Kompetisi yang diketuai Presiden Real Madrid Florentino dengan wakil Presiden Juventus Andrea Agnelli dan salah satu pemilik Manchester United, Joel Glazer, itu semula direncanakan bergulir pada Agustus lalu.
Namun, semuanya kandas dalam beberapa hari setelah mendapatkan reaksi keras dari pemain, pelatih, penggemar, badan pengatur sepak bola, dan pemerintah. ”Gagalnya Liga Super Eropa bergulir karena sepak bola tidak bisa didikte oleh kekuasaan. Sepak bola tidak bisa diprivatisasi oleh minoritas, tidak peduli seberapa kuat minoritas tersebut,” tegas Ceferin dikutip laman AS, Rabu.
Sembilan klub menjauh
Menurut Ceferin dilansir Sportstar, Rabu, sembilan klub pendiri Liga Super Eropa sudah menjauhkan diri dari proyek tersebut. Adapun Real Madrid, Barcelona, dan Juventus tetap bergabung dengan konsep tersebut. Namun, ketiga klub itu diyakini tidak memiliki kesempatan untuk menghidupkannya kembali.
Sejauh ini, ketiga klub itu masih menjalani proses pengadilan oleh komisi disiplin UEFA. Namun, Ceferin menolak mengomentari proses yang berlangsung. ”Kami harus menghormati pengadilan dan menunggu keputusan akhir. Kami tidak ingin terburu-buru,” katanya.
Ceferin mengaku tetap berniat merangkul Real Madrid, Barcelona, dan Juventus. Setidaknya, dia ingin bertemu Perez di sela-sela final Liga Champions musim ini di Stade de France, Paris, Perancis, Minggu (29/5/2022). ”Saya akan melihat Florentino (Perez) di tribune jika dia datang ke final karena dia akan berada di dekat saya sebagai finalis,” kata Ceferin.
UEFA tidak tinggal diam untuk meyakinkan klub elite Eropa tetap berada dalam naungan mereka. Salah satunya mengubah format Liga Champions mulai 2024/2025. Perubahan itu memungkinkan mencapai keseimbangan yang tepat untuk meningkatkan mutu dan daya tarik kompetisi, serta pendapatan klub, liga, dan sepak bola akar rumput di Eropa.
Gagalnya Liga Super Eropa bergulir karena sepak bola tidak bisa didikte oleh kekuasaan. Sepak bola tidak bisa diprivatisasi oleh minoritas, tidak peduli seberapa kuat minoritas tersebut.
”Keputusan perubahan berasal dari kesimpulan proses konsultasi ekstensif dengan mendengar ide-ide dari pemain, pelatih, penggemar, klub, liga, dan asosiasi sepak bola nasional. Semuanya demi menemukan solusi terbaik untuk pengembangan dan kesuksesan sepak bola Eropa, baik di dalam negeri maupun di panggung klub internasional,” tutur Ceferin dalam laman resmi UEFA.
Detail format
UEFA yang bermarkas di Nyon, Swiss, menetapkan format baru Liga Champions mulai 2024/2025. Format anyar itu bernama sistem Swiss dengan menghapus sistem grup dan penyisihan. Lewat format baru itu, jumlah peserta bertambah empat klub, yakni dari 32 klub menjadi 36 klub.
Satu tempat ekstra itu diberikan kepada klub di liga yang berada urutan kelima dalam peringkat asosiasi nasional UEFA. Satu lagi kepada juara domestik yang lolos melalui babak kualifikasi. Dua tempat lain diberikan pada dua negara dengan kinerja tertinggi di kompetisi UEFA musim terkait.
Nantinya, tidak ada lagi sistem grup dan babak penyisihan. Kompetisi dalam bentuk liga tunggal dengan setiap klub melakoni minimal delapan laga yang terbagi menjadi empat laga kandang dan empat laga tandang. Delapan klub teratas mendapatkan tiket ke 16 besar. Sisa delapan slot lainnya diperebutkan klub urutan kesembilan hingga ke-24 dalam dua laga (kandang-tandang) babak play-off.
Sistem gugur yang berlaku saat ini diterapkan di 16 besar sampai semifinal. Di fase itu, kedua tim yang saling bertemu menjalani dua laga (kandang-tandang). Di final, kedua tim yang bertemu menjalani satu laga penentuan. Dengan format itu, kompetisi berlangsung lebih lama. Salah satu tujuan utama perubahan itu, yakni agar para peserta mendapatkan lebih banyak pemasukan karena memainkan laga lebih banyak.
Protes distribusi tiket
Namun, di tengah upaya UEFA meningkatkan pamor Liga Champions, Real Madrid dan Liverpool yang menjadi finalis musim ini justru mengkritik sistem pendistribusian tiket. Pelatih Liverpool Juergen Klopp mempertanyakan ke mana perginya 35.000 tiket final.
Stade de France berkapasitas 75.000 tempat duduk. Real Madrid dan Liverpool masing-masing mendapatkan alokasi 20.000 tiket sehingga tersisa 35.000 tiket. ”Ke mana sisa 35.000 tiket itu diberikan?” kata Klopp yang curiga tiket itu jatuh ke orang-orang yang tidak tepat seperti dikutip Mundo Deportivo, Minggu (8/5/2022).
Terkait isu itu, Ceferin menjelaskan, sistem pendistribusian tidak ada perubahan atau sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia memastikan, finalis tidak dirugikan. Bahkan, 93,5 persen keuntungan final diberikan ke klub.
”Sisa tiket itu diberikan kepada sponsor yang mensponsori lebih dari 100 juta euro. Itu bagian dari kewajiban kontrak yang kami miliki. UEFA tidak mendapatkan lebih banyak tiket daripada yang lain. Beberapa tiket pergi ke pasar, beberapa pergi ke penggemar, dan beberapa pergi ke mitra. Saya tidak memberikan tiket gratis kepada teman-teman saya atau menjual ke teman-teman saya,” ujar Ceferin. (AFP)