Liverpool menjelma menjadi tim tangguh musim ini berkat mentalitas ”monster” yang dimiliki semua pemain. Kegemaran Juergen Klopp pada psikologi turut memengaruhi performa penuh daya juang skuadnya.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
VILLARREAL, RABU — Alasan Liverpool menjadi satu-satunya tim yang berpeluang merengkuh kuadrupel atau empat trofi mayor di musim ini bukan sekadar didasari kualitas pemain dan tangan dingin sang manajer. Rentetan hasil positif diraih ”Si Merah” adalah buah dari pembentukan karakter, yang digagas Juergen Klopp, untuk menghadirkan mentalitas ”monster” sehingga Liverpool amat sulit ditaklukan dan mampu tampil konsisten.
Mentalitas itu ditunjukan dengan sempurna oleh Sadio Mane dan kawan-kawan ketika membawa pulang kemenangan, 3-2, dari markas Villarreal, Stadion La Ceramica, pada laga kedua semifinal Liga Champions Eropa, Rabu (4/5/2022) dini hari WIB. Liverpool sempat tertinggal 0-2 di babak pertama, yang membuat mereka melepas keunggulan dua gol pada pertemuan pertama, pekan lalu.
Namun, Liverpool bisa mencetak tiga gol melalui Fabinho, Luis Diaz, dan Mane di babak kedua. Hasil itu membawa Si Merah menembus final ketiga dalam lima edisi terakhir Liga Champions, yang menegaskan era dominasi baru Liverpool di Eropa.
”Saya katakan kepada pemain, saya ingin berita utama di media massa membicarakan mentalitas monster kami. Anda bisa lihat betapa kami seperti terkesan dengan permainan Villarreal sehingga untuk bangkit dan menang di babak kedua adalah sesuatu yang benar-benar mengesankan,” ucap Klopp seusai laga.
Klopp mengaku heran dengan penampilan buruk anak asuhannya di babak pertama. Manajer asal Jerman itu pun sampai meminta khusus kepada Pete Kraweitz, kepala analis video Liverpool, untuk menemukan satu cuplikan performa pemain Si Merah yang sesuai dengan rencana permainan tim.
”Kami ingin mencari satu hal yang pemain lakukan dengan tepat di babak pertama, tetapi asisten saya mengatakan 'tidak ada'. Jadi, saya meminta kepada pemain untuk lebih banyak menemukan ruang, bermain lebih fleksibel, dan tidak terperangkap dalam taktik penjagaan lawan,” tuturnya.
Banyak pihak menganggap kunci Liverpool mengalahkan Villarreal adalah keputusan Klopp memasukkan Luis Diaz untuk mengganti Diogo Jota di awal babak kedua. Sumbangan satu gol dan anugerah pemain terbaik laga itu dari tim analis teknis UEFA menjadi dasar penilaian itu.
Namun, diskusi tim yang dilakukan Klopp di masa turun minum berjalan amat sukses. Semua pemain Liverpool memeragakan performa yang jauh lebih baik di paruh kedua laga.
Sebagai contoh, tingkat akurasi umpan Liverpool yang hanya 66 persen di babak pertama meningkat menjadi 85 persen. Catatan 66 persen akurasi operan itu adalah rekor terburuk Liverpool sejak laga final Liga Champions 2018-2019 lawan Tottenham Hotspur.
Meskipun menjadi juara Eropa, akurasi operan skuad Si Merah pada partai puncak itu hanya 68 persen. Adapun di musim ini, rerata akurasi operan Liverpool adalah 87 persen.
Saya ingin berita utama di media massa membicarakan mentalitas monster kami. Anda bisa lihat betapa kami seperti terkesan dengan permainan Villarreal, sehingga untuk bangkit dan menang di babak kedua adalah sesuatu yang benar-benar mengesankan.
Selain itu, performa meningkat ditampilkan trio gelandang, Fabinho, Thiago Alcantara, dan Naby Keita. Di babak pertama, ketiganya hanya mencatat total 45 operan, sedangkan pada paruh kedua ketiganya membuat total 73 operan.
Sebelum menumbangkan Villarreal, Liverpool telah membuktikan dua kali bisa meraih kemenangan atas AC Milan meski sempat tertinggal. Mental Si Merah juga tak anjlok saat sempat unggul dua gol dan disamakan oleh Atletico Madrid, 21 Oktober lalu, di Stadion Wanda Metropolitano. Pada laga fase grup itu, Liverpool membawa pulang kemenangan 3-2 dari Madrid.
Frasa persaingan
Frasa ”mentalitas monster” diperkenalkan Klopp pada paruh kedua musim 2018-2019 ketika timnya tengah bersaing dengan Manchester City di Liga Inggris. Liverpool memang gagal meraih gelar liga, tetapi mereka bisa mengangkat trofi ”Si Kuping Besar” sebagai wujud supremasi di Eropa.
Istilah itu merupakan efek dari upaya Klopp untuk membangun sisi psikologis pemainnya sehingga Liverpool bisa kembali memiliki mentalitas juara yang pudar ketika ia tiba di Stadion Anfield, musim panas 2015. Setelah bisa membawa Liverpool berjaya di Eropa, Klopp pun menggaet Lee Richardson sebagai psikolog performa tim di akhir musim 2018-2019.
Kehadiran Richardson terbukti ampuh meningkatkan mentalitas skuad Si Merah. Hal itu didasari raihan Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, serta mengakhiri penantian tiga dekade kampiun Liga Inggris pada musim perdana Richardson membantu Liverpool.
Namun, Richardson menegaskan, dirinya hanya membantu peran Klopp untuk membantu kondisi mental pemain Liverpool. Seperti Klopp, Richardson juga tersedia bagi pemain Liverpool selama 24 jam untuk berbicara empat mata.
”Kepala psikolog Liverpool sejatinya adalah Juergen (Klopp). Ia bisa memengaruhi orang dengan ucapan dan keputusannya. Ia menjalankan peran seperti psikolog sungguhan yang tidak banyak bisa dilakukan manajer lain,” kata Richardson kepada The Athletic beberapa waktu lalu.
Bidang psikologi adalah salah satu mata kuliah favorit Klopp ketika menempuh pendidikan sarjana Ilmu Olahraga di Universitas Goethe Frankfurt, Jerman, pertengahan 1990-an. Kesukaan Klopp pada psikologi dipengaruhi sosok manajer panutannya, Wolfgank Frank. Klopp adalah pemain Frank saat menangani Mainz 05 pada 1995-1997 dan 1998-2000.
Menurut Chris Sutton, pengamat sepak bola BBC, Liverpool menunjukkan kekuatan mental yang membuat mereka berada di jalur yang tepat untuk menyapu bersih empat trofi musim ini. Mentalitas itu adalah buah dari proses panjang yang telah diinisiasi Klopp dalam beberapa tahun terakhir.
”Kekuatan mental Liverpool sangat fenomenal. Hal itu hadir dari manajer dan kelompok pemain fantastis yang tidak mengenal kalah. Mentalitas itu membantu mereka menemukan solusi dari seluruh tantangan dan kendala di setiap laga,” ujar Sutton.
Sebelum tampil di Stade de France untuk final Liga Champions, 28 Mei, Liverpool masih menjalani empat laga sisa Liga Inggris serta final Piala FA melawan Chelsea, pada 14 Mei. (REUTERS)