Dampak ”porpoising” tidak hanya merusak performa mobil-mobil F1 musim ini, tetapi juga mendera fisik para pebalap. Mereka kebanyakan merasakan sakit pada leher dan punggung setelah menjalani balapan di akhir pekan.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
IMOLA, MINGGU — Porpoising menjadi topik paling hangat dalam balapan Formula 1 musim 2022. Istilah yang merujuk pada gerakan mobil yang memantul-mantul karena kehilangan daya tekan ke bawah secara tiba-tiba itu membuat performa mobil menurut drastis, seperti dialami Mercedes. Namun, pantulan mobil itu juga membuat fisik para pebalap mengalami tekanan berat sehingga membuat leher dan punggung mereka terasa sakit.
Gerakan mobil yang naik dan turun berulang-ulang kali sering terlihat dalam balapan F1 musim ini. Ferrari, tim yang paling bisa meminimalkan porpoising, bahkan masih sering mengalami dampak negatif dari efek itu. Bagi pebalap tim lainnya yang belum bisa mengatasi porpoising, seperti Mercedes, dampaknya lebih berat.
George Russell, pebalap Mercedes, mengungkapkan, porpoising membuat leher dan punggungnya sakit. Kondisi ini tidak boleh terus-menerus dibiarkan karena berpotensi menyebabkan cedera bagi para pebalap.
”Ketika mobil dalam kondisi yang tepat dan ban-ban dalam temperatur kerja yang tepat, mobil—kecuali kondisi memantul-mantul—terasa sangat bagus untuk dikendarai,” ungkap Russell yang finis di posisi keempat pada balapan F1 seri Emilia Romagna di Sirkuit Imola, Minggu (24/4/2022).
”Tetapi kondisi memantul-mantul itu sungguh mengguncang-guncang Anda. Itu kondisi paling ekstrem yang pernah saya rasakan. Saya sangat berharap kami dan setiap tim yang kesulitan dengan kondisi memantul-mantul itu bisa segera menemukan solusi. Pebalap tidak bisa terus-menerus seperti ini,” ungkap Russell seperti dikutip Crash.
Porpoising adalah efek yang ditimbulkan dari hadirnya regulasi baru, khususnya pada aerodinamika, di F1 pada musim ini. Regulasi itu memungkinkan hadirnya kembali ground effect, yaitu efek untuk meningkatkan downforce mobil dan mengurangi dirty air yang menyulitkan mobil di belakang untuk menyalip. Dengan demikian, regulasi itu diharapkan bisa membuat balapan berlangsung lebih sengit dan menarik dengan lebih banyak kans salip-menyalip antara para pebalap.
Ground effect juga pernah diterapkan sebelumnya di F1 pada akhir 1970-an. Namun, efek itu lantas dilarang dipakai di F1 pada 1983 hingga 2021 menyusul banyaknya kecelakaan pada tikungan cepat. Efek porpoising saat itu sudah banyak dirasakan para pebalap. Mereka menyebut fenomena itu sebagai ”mabuk laut”, bak memacu kapal cepat di lautan berombak.
”Ini pekan pertama saya benar-benar kesulitan dengan punggung dan terasa seperti sakit pada dada akibat kerasnya guncangan (porpoising),” ungkap Russell yang merupakan rekan setim Lewis Hamilton di Mercedes.
Menurut dia, rasa sakit itu kini harus diakrabi para pebalap F1 seperti dirinya. ”Itulah yang harus kami lakukan untuk bisa melesat dan mencetak putaran tercepat,” pungkas Russell.
Para pebalap lainnya juga menilai, porpoising terasa tidak nyaman bagi tubuh mereka. Efek itu menimbulkan rasa sakit maupun pegal di tubuh seusai balapan. ”Itu sangat buruk bagi kami dalam beberapa kejadian,” ungkap pebalap Aston Martin, Lance Stroll.
”Pada saat mobil mulai memantul-mantul, rasanya tidak menyenangkan. Leher pun sedikit kaku pada hari berikutnya. Namun, ini merupakan bagian dari pembelajaran terkait mobil baru dan bagaimana memahaminya. Saya pikir, hal itu menjadi kejutan bagi semua orang,” ujar Stroll yang merupakan rekan setim Sebastian Vettel.
Pebalap Ferrari, Charles Leclerc, juga pernah dikonfirmasi merasakan dampak porpoising pada mobil F1-75. Kamera di mobilnya menunjukkan gerakan memantul-mantul yang parah. Pemuncak klasemen sementara itu menilai, dampaknya tidak terlalu mengganggu dirinya dalam mengemudi. Maka, ia masih bisa tetap tancap gas.
Pada saat mobil mulai memantul-mantul, rasanya tidak menyenangkan. Leher pun sedikit kaku pada hari berikutnya. (Sebastian Vettel)
Akan tetapi, dia mengalami ketidaknyamanan pada bagian punggung setelah balapan. ”Saya sangat yakin bahwa saya akan merasakan nyeri punggung setelah balapan Minggu,” ungkap Leclerc di Bahrain, beberapa waktu lalu.
”Itu tidak mengganggu saya dalam mengemudi, kecuali pada saat pengereman keras yang akan lebih berisiko dengan gundukan-gundukan besar pada trek lurus. Tetapi, secara umum, itu hanya (terasa) sakit setelah 10 putaran dalam kondisi yang sama dengan trek yang tidak rata ini,” ujar Leclerc.
Meskipun Leclerc menjadi salah satu dari sedikit pebalap yang bisa berkompromi dengan porpoising, dia tetap berharap masalah itu bisa segera diatasi sepenuhnya. Jika porpoising hilang, mobilnya akan bisa dipacu lebih kencang untuk memburu gelar juara dunia pertamanya.