Penampilan menawan Tottenham Hotspur, akhir-akhir ini, bisa membuat Manchester United gigit jari dan menyesal batal merekrut Antonio Conte sebagai manajer. Sosok temperamental itu kembali menancapkan kukunya di Inggris.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·6 menit baca
AFP/LINDSEY PARNABY
Ekspresi Manajer Tottenham Hotspur Antonio Conte saat timnya melawan Manchester United pada laga Liga Inggris di Stadion Old Trafford, Manchester, Minggu (13/3/2022) dini hari WIB. MU memenangi laga itu dengan skor 3-2.
Perlahan tapi pasti, manajer Antonio Conte kembali menancapkan kukunya di Liga Inggris. Kali ini, lewat Tottenham Hotspur yang tampil beringas, akhir-akhir ini. Spurs pun mulai memetik manfaat kehadiran Conte, manajer yang nyaris direkrut Manchester United pada awal musim ini.
Ketika Conte menginjakkan kakinya di London, awal November lalu, Spurs tengah babak belur. Mereka baru saja menelan dua kekalahan beruntun, sehingga terperosok ke peringkat kesembilan di Liga Inggris bersama manajer terdahulu, Nuno Espirito Santo. Mereka khawatir, lagi-lagi, menjadi tim gurem saat itu, seperti musim-musim sebelumnya.
Bak keajaiban, lima bulan berlalu, tim “Lili Putih” telah bertengger di peringkat keempat Liga Inggris, posisi terakhir untuk meraih tiket prestisius, Liga Champions Eropa. Meskipun awal perjalanannya tidak mulus, Spurs lambat laun telah menyetel bersama Conte, manajer asal Italia yang bergelimang prestasi.
Bersama Conte, Spurs menjelma tim paling “buas” di Liga Inggris akhir-akhir ini. Dalam empat laga terakhir, mereka selalu menang telak dengan mengemas total 14 gol atau rata-rata 3,4 gol per laga. Tidak ada tim lain di Inggris, sekalipun Liverpool (tim dengan jumlah gol terbanyak di musim ini), mampu menandingi keganasan Spurs, akhir-akhir ini.
AP PHOTO/RUI VIEIRA
Manajer Tottenham Hotspur Antonio Conte (kiri) mengamati timnya saat menghadapi Leicester City pada laga Liga Inggris di stadion King Power, Leicester, Inggris, Rabu, 19 Januari 2022 lalu. Conte merupakan salah satu manajer yang kaya prestasi.
Menggilanya Spurs dengan trisula barunya yang menakutkan, Harry Kane, Son Heung-min, dan Dejan Kulusevski, seolah-olah mewakili isi kepala Conte. Ia ingin membuktikan dirinya bukan manajer atau pelatih yang gemar bermain pragmatis, hati-hati, dan defensif, seperti yang dikira oleh banyak orang selama ini.
Ketika membawa Chelsea juara pada musim debutnya di Liga Inggris, 2016-2017 silam, Conte sempat dikira sebagai sosok yang pragmatis. Dari 38 laga Liga Inggris saat itu, 21 laga di antaranya dimenangi Chelsea dengan keunggulan maksimal hanya dua gol per laga. Padahal, saat itu, total koleksi gol Chelsea, yaitu 85 gol, hanya kalah dari Spurs asuhan Mauricio Pochettino (86 gol). Chelsea pun bukan tim paling sedikit kebobolan. Status itu disandang Spurs, tim yang lantas finis kedua.
Menggenjot kemampuan
Rahasia sukses Conte bersama Chelsea saat itu adalah kepiawaiannya melakukan drill alias menggenjot kemampuan para pemainnya dalam mengejar kemenangan. Baginya, kemenangan, berapa pun skornya, seolah-olah adalah harga mati. “Kekalahan membuat saya tidak bisa tidur berhari-hari,” ujar Conte suatu ketika, dikutip Football-London.
Conte memang bukan tipikal pelatih yang banyak basa-basi dan pandai berteori seperti Ralf Rangnick, manajer interim MU saat ini. Ia juga tidak seperti Pep Guardiola, manajer Manchester City yang jenius dalam mengotak-atik taktik. Bagi Conte, kerja pertama sepak bola adalah kaki, bukan kepala. Artinya, kerja keras, karakter, dan mental, jauh lebih penting ketimbang kepiawaian mengolah si kulit bundar semata-mata.
"Sebelum melakukannya (menuntut pemain bekerja keras), saya 'membedah' isi kepala mereka terlebih dahulu agar sinkron (pemahamannya)," ujar Conte menjelaskan gebrakannya lewat kalimat-kalimat keras dan penuh motivasi saat membawa Inter Milan mengakhiri satu dekade puasa trofi Liga Italia, musim lalu.
AFP/ADRIAN DENNIS
Manajer Tottenham Hotspur Antonio Conte meneriaki para pemainnya saat menghadapi Leeds United pada laga Liga Inggris di Stadion Tottenham Hotspur, London, 21 November 2021. Conte menangani Spurs sejak awal November lalu.
Kerja keras dan kolektivitas itu terlihat dari permainan tim-tim yang diasuhnya selama ini, mulai dari Juventus, Chelsea, hingga Inter Milan. Ia mengubah tim-tim yang sempat terpuruk itu jadi bermental juara lewat pola taktiknya yang sangat rigid dan tak bisa dikompromikan, 3-4-3 atau 3-5-2. Untuk bisa sukses, taktik itu selalu membutuhkan kiper yang tangguh, bek-bek sayap nan energik, gelandang pivot yang kuat, dan penyerang yang efisien.
Menurut Mark Ogden, analis sepak bola di ESPN, gagalnya negoisasi itu karena manajemen Setan Merah menilai Conte punya karakter keras, temperamental, abrasif, dan sulit diatur.
Sebagian faktor itu kini ada di Spurs. Mereka memiliki Kane yang kian berkembang sejak kehadiran Kulusevski dari Juventus. Lini tengah mereka pun lebih stabil sejak masuknya gelandang pekerja keras, Rodrigo Bentancur, juga dari Juve. Meskipun sempat dikritik dan diolok-olok karena didatangkan dengan harga mahal, kedua pemain itu terbukti menjadi kepingan terakhir Spurs untuk mengejar posisi empat besar bersama Conte.
Salah istri
Sempat tenggelam di era Santo, Kane, misalnya, kini menunjukkan kapasitasnya sebagai ujung tombak mematikan di Spurs. Ia rajin mencetak gol maupun asis di era Conte. Hal serupa dialami Romelu Lukaku saat menjadi juara bersama Conte di Inter Milan, musim lalu. Padahal, ia “dibuang” dari MU.
“Anda boleh salah memilih istri, namun tidak dengan kiper dan penyerang,” ujar Conte berseloroh mengenai pentingnya pemilihan pemain.
Hal yang tidak kalah penting, kehadiran dua pemain baru itu menunjukkan kepercayaan tinggi manajemen Spurs kepada Conte. Hal itulah yang tidak dilakukan “Setan Merah” ketika memburu Conte sebagai suksesor Ole Gunnar Solskjaer, musim panas lalu. Bukan rahasia jika MU sempat kepincut dengan Conte saat ia meninggalkan Inter, akhir musim lalu.
TANGKAPAN LAYAR TRANSFERMARKT
Statistik Antonio Conte sebagai pelatih/manajer.
Namun, manajemen MU mundur dari proses negoisasi karena Conte menuntut sejumlah pemain baru yang diidamkannya. Saat itu, ia menilai MU tidak cukup kompetitif dan membutuhkan perombakan di sejumlah sektor. MU menolak karena mereka menilai skuad yang ada, termasuk Jadon Sancho dan Raphael Varane yang baru masuk, cukup kuat.
Menurut Mark Ogden, analis sepak bola di ESPN, gagalnya negoisasi itu karena manajemen Setan Merah menilai Conte punya karakter keras, temperamental, abrasif, dan sulit diatur. Conte memang salah satu pelatih yang idealis, kaku, dan sangat demanding. Ia bahkan berani menentang manajemen klub jika keinginannya tidak terpenuhi.
Ketidakberanian MU
Alasan itulah yang membuatnya meninggalkan Inter, musim lalu, setelah mendengar bahwa bek sayap kesayangannya, Achraf Hakimi, akan dijual ke Paris Saint-Germain. Lalu, disusul Lukaku hijrah ke Chelsea. Alasan serupa membuatnya berseteru dengan Presiden Juventus Andrea Agnelli dan meninggalkan klub itu setelah membawa mereka tiga kali juara beruntun liga, 2014 silam.
Anda boleh salah memilih istri, namun tidak dengan kiper dan penyerang. (Antonio Conte)
Ketidakberanian MU—klub yang sebetulnya memiliki banyak uang—merekrut Conte itu lantas disesali sejumlah pihak. Menurut Paul Scholes, legenda MU, bekas klubnya itu sebetulnya membutuhkan sosok seperti Conte, bukan Rangnick yang terlalu kalem. Kebetulan, terakhir kali MU berjaya dan sangat disegani adalah ketika ditangani manajer dengan karakter keras serupa, yaitu Sir Alex Ferguson.
“Ia (Conte) dan Thomas Tuchel adalah pelatih-pelatih top yang semestinya direkrut MU. Mereka adalah pelatih-pelatih yang bisa menghadirkan rasa takut, segan, ke pemain dan melihat kemenangan sebagai hal terpenting,” ujar Scholes dikutip Daily Mail.
AFP/LINDSEY PARNABY
Ekspresi kekecewaan pemain Manchester United, Fred, setelah timnya menghadapi Leicester City pada laga Liga Inggris di Stadion Old Trafford, Manchester, 2 April 2022. Laga itu berakhir imbang, 1-1.
Senada Scholes, mantan pemain Inggris lainnya, Stewart Downing, menilai, MU bakal menyesal tidak merekrut Conte. Bersama Rangnick, mereka kini tidak lebih baik ketimbang saat masih diasuh Solskjaer. MU kini masih terpuruk di peringkat ketujuh, tertinggal enam poin dari Spurs.
“Antonio Conte sempat menganggur. Kenapa mereka (MU) tidak mengejarnya? Anda adalah MU. Maka, carilah manajer terbaik. Bukan manajer ala kadarnya,” ujarnya.
Nasi kini sudah menjadi bubur. MU telah kehilangan kesempatan merekrut Conte, pelatih yang nyaris selalu memberikan trofi juara liga bagi klub-klub yang ditanganinya. MU pun kini lagi-lagi “berjudi”, fokus mengejar Erik ten Hag, pelatih asal Belanda yang belum teruji kemampuannya di Liga Inggris maupun dalam memimpin barisan megabintang penuh ego...