Bertumpu di Satu Kaki, Enyahkan Rendah Diri
Sempat terpuruk, pemain-pemain disabilitas bangkit lagi setelah bergabung dengan Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia. Mereka bahkan mengharumkan nama bangsa dengan menembus Piala Dunia Sepak Bola Amputasi 2022 di Turki.
Pelatih Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia Muhammad Syafei dengan lantang menanyakan pemain-pemain besutannya. Skuad lawan, Garuda Keadilan, dibentengi personel nondisabilitas. ”Mau susunan pemain tetap sama atau timnya gabungan kalian dengan mereka?” ujarnya.
Para penggawa timnas amputasi spontan mengungkapkan keinginan bermain dengan sesama rekannya yang menggunakan tongkat. Sejenak, Syafei tampak tertegun. ”Siap? Sanggup?” ujarnya disambut para pemain yang mengangguk dan mengiyakan tanpa ragu.
Syafei lantas meminta timnya menikmati permainan. Laga persahabatan itu berlangsung dua babak, masing-masing selama 30 menit. ”Jangan tegang. Bebaskan tanpa tekanan tapi hati-hati. Kalau bahaya, lepas saja. Jangan dikejar. Main yang enak,” katanya.
Maklum, biasanya mereka bermain di lapangan dengan panjang 60 meter dan lebar 40 meter. Jumlah pemain pun hanya tujuh orang. ”Sekarang, pakai standar internasional. Panjang lapangannya saja 110 meter. Pemainnya setiap tim sampai 11 orang,” ujar Syafei.
Di Stadion Internasional Jakarta, Rabu (30/3/2022), itu, pertandingan dimulai sekitar pukul 16.30. Timnas amputasi bertarung dengan sengit. ”Terus, lawan lagi. Ayo, semangat,” teriak Syafei saat timnas amputasi belum berhasil menjebol gawang lawan.
Semua pemain timnas amputasi sebanyak 18 orang bergiliran diturunkan. Garuda Keadilan tak segan menggempur pertahanan lawannya. Kadang, pemain-pemain difabel keteteran tetapi mereka terus berlari. Senggolan tubuh tak terelakkan tanpa dipedulikan kedua kubu.
Peluit panjang berbunyi sekitar pukul 17.30. Timnas amputasi memang kalah dengan skor 3-8, tetapi mereka telah menunjukkan perlawanan terbaiknya. Gim itu diakhiri keakraban semua pemain yang berfoto dengan tangan mengepal dan senyum mengembang.
Baca: Di Lapangan Hijau, Kehidupan Kedua Berlabuh
Agung Rizki Satria (22) terlihat semringah. Ia berhasil mencetak satu gol pada babak kedua. Sembari melepas lelah, warga Tanjung Enim, Sumatera Selatan, itu optimistis menyongsong Piala Dunia Sepak Bola Amputasi di Turki pada awal Oktober mendatang. Timnas sudah mengikuti kualifikasi di Bangladesh pada pertengahan Maret 2022 dan lolos bersama Jepang.
Rizki dan kawan-kawannya akan bersaing dengan 23 tim. Rival-rival yang dianggap tangguh seperti Turki, Inggris, dan Angola. ”Saya enggak tahu musuh sehebat apa. Sambil cari ilmu, harus kerja keras banget. Saya mau buktikan Indonesia tak bisa diremehkan,” katanya.
Rizki sudah bergabung dengan timnas pada tahun 2018. Semula, ia sempat dirundung keminderan. Rizki kehilangan kaki kanannya karena kecelakaan pada tahun 2007. Ia bersama ayah, ibu, dan adiknya pergi ke Palembang dengan sepeda motor. Rizki duduk di depan. Perjalanan yang sedianya ditempuh selama lima jam untuk meraih berkah dengan bersilaturahmi berbalik menjadi musibah.
”Saya tidur dengan menelungkup di tangki. Enggak kerasa, waktu saya sadar sudah dibawa ke rumah sakit dengan mobil. Saya lihat kaki sudah putus dan celana sobek,” katanya. Kecelakaan itu terjadi di Prabumulih. Rizki harus memulai hidup barunya dengan satu kaki.
”Pernah merasa down (jatuh). Di kelas, sering sendiri jadi sepi. Mau keluar, malu dilihat teman-teman. Enggak ke kantin atau lapangan,” ujarnya. Kalaupun keluar, Rizki hanya berani tepekur di depan kelas. Ia baru mengobrol jika ada teman yang tetap tinggal.
Semula, teman-temannya ragu mengajak bermain karena khawatir Rizki malah cedera. Ia juga sungkan mengungkapkan keinginannya pergi bersama mereka. Dilanda kebosanan, Rizki bangun dari keterpurukannya. ”Selang setahun, saya mulai bangkit. Masih takut tapi kalau di kelas saja enggak berkembang. Lama-lama, teman mengajak pergi dan saya ikut,” katanya.
Baca juga: Perjuangan Sunyi Timnas Amputasi
Ia menekuni sepak bola karena di depan rumahnya terdapat lapangan. Teman-teman Rizki hampir setiap hari menikmati permainan itu. ”Hobi saya juga. Tiap sore, akhirnya saya memberanikan diri. Saya mulai main bola pakai tongkat umur 10 tahun,” katanya.
Rizki yang masih kuliah itu bercita-cita membuat situs web Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI). Ia mengambil Jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Gunadarma. Rizki bertekad merealisasikan rencananya pada akhir tahun 2022 atau sepulang dari Turki.
Piat Supriatna (31) alias Obrek juga menumbuhkan antusias yang sama. Ia bertemu teman-teman yang kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan. Sebagian lain tak memiliki anggota tubuh utuh karena bawaan lahir. Teman-teman baru itu tak hanya memotivasi secara lisan, tetapi juga perbuatan. Pilihan itu tepat.
”Saya sempat bertanya, apakah masih bisa beraktivitas? Sekarang, saya punya tujuan hidup lagi, setidaknya mengejar prestasi sepak bola setinggi-tingginya,” ujar Obrek. Ia kehilangan kaki kirinya dalam kecelakaan di Alas Roban, Jawa Tengah, tahun 2017. Obrek merasa kehilangan jati diri. Setelah bergabung dengan timnas amputasi, ia menggugat dirinya saat tebersit untuk merutuki hidup. Teman-teman Obrek bernasib sama seperti tetapi mereka pantang berputus asa.
Aditya (24) bahkan sempat seangkatan dengan gelandang Persela Lamongan, Gian Zola, dan gelandang Arema Malang, Hanif Sjahbandi, di Diklat Persib. Kapten sekaligus playmaker timnas amputasi itu cedera saat bermain bola tetapi penanganan yang tidak tepat menyebabkan kaki kanannya terpaksa diamputasi tahun 2019.
Setelah menggeluti sepak bola amputasi, semangat Aditya bersemi lagi. Tak dimungkiri, dirinya belum tentu bisa mengenyam pengalaman sebagai penggawa timnas, lebih-lebih membawa tim Garuda menembus Piala Dunia dalam sepak bola nondisabilitas. Kini, ia malah mengharumkan nama bangsa dengan lolos ke Piala Dunia Sepak Bola Amputasi.
Fredo Dimas Saputro (21) ikut jatuh bangun menyongsong kompetisi global itu. Di Bangladesh, timnas amputasi kerap harus menunggu jemputan cukup lama untuk berlatih karena keterbatasan transportasi. Panitia menyediakan mobil tetapi digunakan bergantian dengan tim-tim negara lain.
”Pernah, kami nunggu jemputan sampai 1,5 jam seusai latihan. Berarti banget buat dipakai istirahat,” kata kiper tersebut. Timnas amputasi juga hanya diberi waktu 15 menit untuk percobaan lapangan, padahal idealnya paling tidak satu jam. Belum lagi, rumput yang berbeda.
”Di Bangladesh pakai rumput sintetis. Lain dengan di Jakarta yang alami. Hawa di Bangladesh juga lebih panas,” ujarnya. Fredo dan sahabat-sahabatnya pun mencari konsumsi sendiri selama dua hari sebelum kembali ke Tanah Air. Buah tangan untuk keluarga tentu tak terpikirkan sama sekali.
”Di Bangladesh, kami sangat dibatasi kalau mau keluar. Khawatir tersesat dan kami harus menjaga kondisi tubuh,” katanya. Fredo mengamati masyarakat Bangladesh yang lebih longgar menyikapi pandemi. Demikian pula saat transit di Malaysia, keinginan berjalan-jalan terpaksa dipendam.
Fredo tiba di Jakarta dan mulai berlatih pada pertengahan Februari 2022. Ia latihan setiap hari selama dua jam pada pagi atau siang. ”Sebelum ke Bangladesh, makan ala kadarnya. Seharusnya makanan berminyak dan sambal dihindari, tapi kami makan juga. Bisa beli di warteg,” katanya sambil tersenyum.
Sekjen PSAI Rusharmanto Sutomo, yang akrab disapa Tomo, mengenang timnas amputasi yang mendapatkan seragam baru, hanya seminggu sebelum bertolak ke Bangladesh. Mereka sempat pasrah untuk mengenakan pakaian lama. ”Jaket bertuliskan Indonesia saja diterima sehari sebelum berangkat. Sablonnya baru kelar pukul 02.00. Supaya cepat kering, dikipasin,” katanya sambil tertawa.
Mereka pergi menuju Bandara Soekarno-Hatta, Banten, yang dilepas beberapa pengurus PSAI, pukul 09.00. Pemain berjumlah 13 orang. ”Lalu, pelatih dan asistennya yang dibantu petugas peralatan. Bendahara umum PSAI saja merangkap ketua delegasi dan medis,” ujarnya.
Timnas menempati mes di Pejaten, Jakarta. Bangunan itu sebenarnya rumah orangtua Tomo yang berada di gang serupa labirin. Ia justru tinggal di Parung, Bogor. ”Kebetulan belum punya biaya sewa tempat tinggal pemain. Rumahnya kosong, ya, ditempati saja,” ujarnya.
Mereka bergeletakan tidur mulai di kamar hingga teras dengan tikar dan kipas angin, bahkan ubin. Latihan di lapangan Srengseng dan Kebagusan dicapai dengan sepeda motor. Sesekali, konvoi kocar-kacir karena hujan deras. Sebagian pemain berteduh dan sisanya tancap gas. Tak heran, beberapa pemain terpaksa dikerok keesokan harinya.
Tomo dan kolega-koleganya tak patah semangat meski proposal mereka untuk meminta dukungan tak ditanggapi. Gayung akhirnya bersambut saat beberapa donatur bersedia menyokong timnas. ”Saya enggak bisa sebutkan namanya. Komisi X DPR juga memberikan dana. Pemain dan pengurus, semuanya bergerak,” ujarnya.
Kurang dari seminggu sebelum ke Bangladesh, mereka baru seperti atlet sungguhan. Bus menjemput pemain untuk berlatih di lapangan kompleks DPR. Ia juga menyebut timnas amputasi akan uji tanding dengan Malaysia. Indonesia mewakili Asia menuju Piala Dunia Sepak Bola Amputasi bersama Jepang, Uzbekistan, Iran, dan Irak. ”Kami akan berangkat, 27 September (2022). Besoknya sudah harus sampai di Turki. Pembukaan dan pembagian grup tanggal 30 September,” kata Tomo.
Pengamat olahraga, Fritz E Simandjuntak, berpendapat, prestasi timnas amputasi menunjukkan kemanusiaan yang sungguh kuat. ”Ada masyarakat dengan disabilitas tetapi mampu membawa nama baik Indonesia melalui olahraga. Terima kasih buat mereka. Sangat mengagumkan,” katanya.
Pemain dan pengurus yang diam-diam telah bertanding dan mengharumkan nama bangsa sepatutnya dihargai, apa pun hasil laga mendatang. ”Kalau memang termasuk olahraga prestasi, mereka perlu mendapat dukungan seperti finansial yang baik. Jangan ditinggal,” ujarnya.