Tim tenis putra Indonesia tak beranjak dari Grup II kejuaraan Piala Davis sejak 2014. Tanpa komitmen atlet untuk berkembang dan PP Pelti dalam menggelar turnamen, sulit bagi Indonesia untuk naik ke level lebih tinggi.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Selama 15 musim dalam 16 tahun terakhir, termasuk dalam delapan musim beruntun sejak 2014, tim Indonesia tak juga beranjak dari persaingan Grup II (saat ini disebut Grup Dunia II) kejuaraan tenis beregu putra Piala Davis. Tanpa komitmen dari atlet dan PP Pelti untuk berkembang, Indonesia akan selalu menjalani skenario kalah pada persaingan grup, lalu bertahan melalui playoff.
Terakhir, tim putra Indonesia mempertahankan posisi di pada Grup Dunia II setelah mengalahkan Venezuela 3-0 pada playoff di Stadion Tenis Gelora Bung Karno, Jakarta, 4-5 Maret. Playoff ini dijalani Christopher ”Christo” Rungkat dan kawan-kawan setelah ”Merah Putih” kalah dari Barbados, 1-3, pada babak pertama Grup II, September 2021.
Sejak persaingan antarzona dibuka oleh Federasi Tenis Internasional (ITF) untuk Grup I dan II pada 2020, pertemuan dengan tim dari zona lain dimungkinkan terjadi. Sebelumnya, Indonesia tergabung dalam persaingan pada Zona Asia/Oseania.
Dalam 16 tahun terakhir, satu-satunya penampilan Indonesia pada level lebih tinggi terjadi pada 2013 ketika tampil pada Grup I berkat tiga kemenangan pada babak pertama hingga final Grup II, setahun sebelumnya. Namun, kualitas permainan petenis Indonesia memang jauh di bawah tim-tim yang bersaing dalam Grup I. Mereka selalu kalah 0-5, saat bertemu Jepang pada babak pertama, serta dua kali playoff ketika melawan India dan Taiwan.
Indonesia memang berhasil bertahan di Grup Dunia II setelah mengalahkan Venezuela. Namun, kapten tim Indonesia, Febi Widhiyanto, mengungkapkan, petenis Indonesia, kecuali Christo, kalah dalam pengalaman bertanding.
Selain Christo, Indonesia diperkuat Muhammad Rifqi Fitriadi, Muhammad Althaf Daifullah, Achad Imam Maruf, dan Nathan Anthony Barki yang akhirnya tak datang karena bertanding di Singapura.
Meski PP Pelti di bawah kepemimpinan Rildo Ananda Anwar selalu memasukkan petenis muda dalam skuad tim Davis, seperti Anthony Susanto, Ari Fahresi, Gunawan Trismuwantara, Althaf, dan Rifqi, tak ada perkembangan bagi tenis putra Indonesia secara umum dalam persaingan internasional. Christo tetap menjadi satu-satunya pemain putra Indonesia yang rutin mengikuti turnamen profesional.
Para pelapisnya dalam tim Davis, yaitu ”pelapis” dengan usia lebih tua atau setara, hingga mereka yang benar-benar pelapis karena berusia lebih muda, tak ada yang mengikuti jejak Christo.
”Petenis seharusnya berpikir investasi untuk diri sendiri. Saat mendapat bonus atau pendapatan dari pertandingan, sisihkan 40 persen untuk mengikuti tur. Sangat disayangkan, ketika mendapat bonus, mereka tidak melakukan itu. Padahal, Christo pun berinvestasi sendiri untuk mengikuti turnamen, tanpa tergantung dari yang lain,” tutur Febi.
Petenis Indonesia pada umumnya memiliki pola pikir bahwa mereka kesulitan mengikuti turnamen karena tak memiliki sponsor. Padahal, ”rumus” yang berlaku di lapangan justru terbalik, perusahaan akan bersedia menjadi sponsor saat atlet telah memiliki prestasi, itu pun dengan cara yang tak mudah.
Saat berkunjung ke Kompas pada Juli 2019, Christo bercerita tak semua perusahaan berkenan memberi bantuan berupa uang. Mereka umumnya hanya bersedia memberi produk. Maka, dia pun lebih sering mengeluarkan uang sendiri untuk mengikuti tur profesional.
Petenis yang pernah menempati peringkat ke-68 dunia ganda pada 2019 itu bercerita, dia selalu menggunakan bonus, seperti dari juara SEA Games dan Asian Games, untuk menjalani tur. Dia membiayai sendiri transportasi, akomodasi, dan makan. Jika memiliki pelatih, fisioterapis, dan anggota tim pelatih lainnya, pengeluaran akan lebih besar.
Meski memiliki reputasi sebagai petenis putra Indonesia terbaik, yang bisa menembus babak kedua Grand Slam, mendapat sponsor tetap bukan hal yang mudah baginya. Christo bercerita, beberapa tahun lalu, dia pernah mengajukan proposal kerja sama pada maskapai penerbangan nasional, tetapi tak pernah mendapat jawaban hingga akhirnya mendapat sponsor perusahaan penerbangan Amerika Serikat. Bayangkan jika proposal diajukan oleh petenis yang levelnya jauh di bawah Christo.
Petenis seharusnya berpikir investasi untuk diri sendiri. Saat mendapat bonus atau pendapatan dari pertandingan, sisihkan 40 persen untuk mengikuti tur. Sangat disayangkan, ketika mendapat bonus, mereka tidak melakukan itu.
Christo melakukan itu demi mengasah kemampuannya agar bisa bersaing di level profesional. Puncak penampilannya terjadi saat dia menjuarai ganda putra ATP 250 Pune 2020, berpasangan dengan Andre Goransson (Swedia).
Dengan pengalaman bertanding pada 30-35 turnamen per tahun, sebelum pandemi Covid-19, jenjang permainannya saat Piala Davis pun jauh di atas rekan-rekannya. Salah satunya terlihat ketika dia berpasangan dengan Rifqi pada partai ketiga Indonesia melawan Venezuela.
Dalam momen kritis, saat bermain ganda putra melawan David Luis Martinez/Jordi Munoz-Abreu, Sabtu (5/3/2022), Rifqi tak dapat memanfaatkan momen serving for the match pada keunggulan 5-4. Dia tak punya servis kuat untuk mendapat poin cepat.
Sebaliknya, Christo bisa memanfaatkan momen serupa saat memegang servis pada keunggulan 6-5. Tiga dari empat servis kerasnya tidak bisa dikembalikan dengan benar hingga Christo/Rifqi menang 6-1, 7-5.
Komitmen semua pihak
Finansial selalu menjadi masalah klasik atas minimnya partisipasi petenis Indonesia dalam turnamen internasional. Selain Christo, mereka yang memiliki komitmen mengikuti turnamen demi pengembangan diri adalah petenis putri Aldila Sutjiadi, Beatrice Gumulya, Jessy Rompies, dan Priska Madelyn Nugroho.
Bersaing di arena tenis profesional sejak 2007, berkali-kali Christo mengemukakan bahwa atlet harus punya tekad berkembang dan mau bersaing di arena profesional. Tanpa itu, kemampuan mereka akan tetap tumpul karena hanya menjalani latihan.
Untuk Rifqi dan kawan-kawan, yang tak memiliki peringkat hingga tak memenuhi syarat mengikuti turnamen internasional di luar negeri, Febi mengatakan, ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan. Dua cara yang dikemukakannya adalah Pelti membuat turnamen internasional di Indonesia, atau meminta wildcard dari panitia turnamen di negara lain.
”Namun, cara kedua ini tergantung panitia. Biasanya harus dibalas dengan wildcard saat Indonesia menggelar turnamen jadi ada win-win solution,” kata Febi.
Maka, selain atlet, komitmen pun dituntut dari Pelti untuk menggelar kembali turnamen internasional di Indonesia. Sejak tiga turnamen ITF M15 (turnamen putra berhadiah total 15.000 dollar AS) digelar Agustus 2019 di Jakarta, belum ada lagi turnamen internasional di Indonesia.
Terkait pendanaan, selain sponsor dari pihak swasta, koordinasi antarlembaga bisa dilakukan, yaitu dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kemenpora dengan Kementerian BUMN.
”Ini menjadi pekerjaan rumah atlet, Pelti, bahkan, hingga Pelti di daerah. Jika kualitas petenis Indonesia tidak berkembang, mereka akan sulit untuk mendapat ranking dan semakin sulit juga bersaing di Piala Davis. Apalagi, format seperti saat ini membuat persaingan makin berat. Jadi, jika punya target naik ke grup lebih tinggi, itu akan menjadi pekerjaan jangka panjang. Mungkin baru lima hingga sepuluh tahun lagi Indonesia bisa naik ke Grup I,” tuturnya.
Lalu, akankah perubahan dimulai sejak sekarang? Atau Indonesia sudah merasa cukup nyaman bertahan bersaing di Grup Dunia II Piala Davis?