Liverpool sudah menjadi sosok pria dewasa, bukan lagi bocah seperti enam tahun lalu. Mereka dipenuhi ambisi. Setelah juara Piala Liga, mereka mengincar “quadruple”.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, SENIN — Liverpool telah berubah dari tim semenjana jadi tim berkultur juara dalam rentang enam tahun terakhir. Dua momen kontras di final Piala Liga Inggris pada 2016 dan 2022 bisa menggambarkan dengan jelas transisi ambisi ”Si Merah”. Saat ini, mereka selalu datang untuk menang, bukan hanya penggembira semata.
Liverpool menjuarai Piala Liga seusai menang adu penalti atas Chelsea 11-10 di Stadion Wembley, London, pada Senin (28/2/2022) dini hari WIB. Bagi skuad asuhan manajer Jurgen Klopp ini, gelar juara piala domestik ini merupakan yang pertama kali sejak 2012.
Mohamed Salah dan rekan-rekan berpesta setelah tendangan eksekutor penalti ke-11 lawan, kiper Kepa Arizabalaga, melayang di atas mistar gawang. Mereka menari-nari, saling berpelukan, dan berteriak di lapangan untuk melampiaskan kebahagiaan seusai melewati laga 120 menit ditambah adu penalti yang penuh dengan drama.
Namun, kebahagiaan itu hanya sebatas bentuk apresiasi terhadap perjuangan mereka. Para pemain tidak berlebihan menyembah gelar tersebut. Kata Klopp, trofi yang diraih malam itu bukan target utama mereka musim ini. Trofi itu hanyalah satu dari empat gelar juara yang diincar.
Ini adalah awal perjalanan. Anda butuh keberuntungan (untuk meraih quadruple). Anda juga harus bertahan di semua kompetisi dan bekerja keras. Namun, kami sama sekali tidak gugup. Sebab kami lebih berpengalaman saat ini.
“Ini adalah awal perjalanan. Anda butuh keberuntungan (untuk meraih quadruple). Anda juga harus bertahan di semua kompetisi dan bekerja keras. Namun, kami sama sekali tidak gugup. Sebab kami lebih berpengalaman saat ini,” ucap Klopp yang sudah meraih 5 trofi bersama Liverpool.
Tim asuhan Klopp masih punya kans juara di tiga kompetisi lain, yaitu Liga Inggris, Liga Champions, dan Piala FA. Setelah juara Piala Liga, fokus mereka akan langsung tertuju ke laga 16 besar Piala FA, lawan Norwich City, pada Kamis dini hari.
Ambisi besar itu tidak terlihat setidaknya pada enam tahun lalu, di titik yang sama, yaitu final Piala Liga. Ketika itu, pada 2016, mereka bertekad juara demi menyudahi puasa gelar selama 4 tahun. Gelar juara dalam piala domestik kelas dua itu merupakan target utama “Si Merah”. Sayangnya, mereka kalah adu penalti di final dari Manchester City.
Bagi Liverpool saat itu, Piala Liga merupakan satu-satunya kompetisi yang realistis untuk diraih. Adapun mereka hanya mampu meraih satu gelar Piala Liga (2012) dalam rentang 2006-2016. “Si Merah” tidak bertaring di kompetisi lain. Hingga akhirnya kehadiran Klopp pada 2015 sukses mengubah mentalitas medioker para pemain.
Virgil van Dijk, bek tengah andalan Liverpool, melihat timnya sudah sangat matang musim ini. Bahkan, lebih dewasa dibandingkan tim yang memenangi juara Liga Inggris (2019-2020) dan Liga Champions (2018-2019).
”Kami lebih dewasa karena telah berhasil melewati masa sulit selama dua musim terakhir, terutama karena cedera. Kami mampu beradaptasi dengan beberapa perubahan dalam masa tersebut,” ucap van Dijk yang sempat absen nyaris semusim akibat cedera ligamen lutut pada musim lalu.
Tidak ada yang lebih tepat menggambarkan mentalitas juara pasukan Liverpool ketimbang laga final versus Chelsea. Mereka tidak pernah mau menyerah selama final yang berlangsung saling serang selama 90 menit waktu normal dan 30 menit tambahan waktu.
Mental van Dijk dan rekan-rekan juga tidak runtuh ketika gol pembuka mereka pada paruh kedua dianulir video asisten wasit (VAR). Padahal, seluruh pemain sudah merayakan gol itu dengan sukacita. Kebahagiaan itu berubah jadi emosi karena para pemain langsung memprotes keputusan VAR.
Belum lagi, skuad Liverpool juga menolak kalah dalam adu penalti. Seluruh penendang mereka, 11 pemain, berhasil mengeksekusi penalti. Hebatnya, kemenangan itu bahkan ditentukan oleh kiper cadangan Caoimhin Kelleher yang selalu berada di bayang-bayang sang kiper utama Alisson Becker.
Mantan pemain Liverpool Jammie Caragher sempat mengkritik Klopp karena memainkan Kelleher di final. Namun, kepercayaan Klopp terhadap semua pemainnya, termasuk kiper pelapis, ternyata sukses menjadi pembeda dalam laga tersebut.
Menurut kapten Liverpool Jordan Henderson, timnya sangat spesial karena seluruh pemain punya isi hati dan tujuan sama. ”Kami melibatkan seluruh pemain, dari akademi hingga tim utama, untuk meraih trofi ini,” ucapnya.
Terlepas dari siapa pun juaranya, laga kemarin merupakan salah satu final terbaik dalam permainan sepak bola. Laga itu terasa seperti pertandingan tenis, yang saling balas pukulan dengan tempo tinggi. Kata Klopp, seharusnya laga berakhir dengan skor 5-5.
Namun, gawang kedua tim tetap aman karena peran kiper masing-masing, Kelleher dan Edouard Mendy. Kelleher menciptakan 4 penyelamatan, sementara Mendy dengan 6 penyelamatan. Sayangnya, pertarungan kedua kiper ini tidak terjadi di adu penalti. Manajer Chelsea Thomas Tuchel memasukkan kiper cadangan Arizabalaga jelang adu tos-tosan.
”Kepa adalah kiper yang lebih baik dalam menyelamatkan penalti. Itulah mengapa saya mengambil keputusan itu. Namun, kami tidak memperhitungkan adu penalti akan sampai penendang ke-11. Dia menendangnya terlalu cepat. Inilah hidup seorang pelatih sepak bola, terkadang berhasil, terkadang tidak,” kata Tuchel. (AFP/REUTERS)