Pertarungan gaya bermain ”gegenpressing” antara Juergen Klopp dan Thomas Tuchel akan tersaji di Stadion Wembley. Duel di partai final itu akan sangat intens dan penuh kekacauan, bak konser musik metal.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, SABTU — Juergen Klopp, Manajer Liverpool, pernah berucap bahwa filosofi mainnya dengan gaya gegenpressing ibarat musik metal. Dengan perumpamaan itu, final Piala Liga antara Liverpool dan Chelsea lebih mirip konser metal terakbar. Sebab, Klopp akan menghadapi Thomas Tuchel, Manajer Chelsea, yang punya ideologi serupa.
Klopp tidak sembarangan menyebut gegenpressing sebagai musik metal, bukan genre lain, seperti pop, hiphop, ataupun reggae. Prinsip keduanya memang serupa, sama-sama berinti pada ketidakteraturan atau kekacauan. Musik metal menyajikan nada-nada gaduh yang jauh dari kata rapi.
Begitu juga dengan gegenpressing yang tampak berantakan. Gaya main ini berprinsip, jangan membiarkan lawan memegang bola. Para pemain pun akan sporadis menekan tinggi hingga garis pertahanan lawan untuk menciptakan kekacauan, ibarat entakan drum, petikan gitar, dan teriakan vokalis berfrekuensi tinggi yang menyerbu masuk telinga saat bersamaan.
Tak pelak, Stadion Wembley yang kerap menjadi tempat untuk menggelar konser musisi papan atas dunia akan menjadi tuan rumah ”pertunjukan konser metal” pada Minggu (27/2/2022) malam WIB. Klopp dan Tuchel, keduanya dari Jerman, akan bertaruh siapa yang lebih metal di stadion berkapasitas 90.000 kursi itu.
Bagaikan datang ke konser metal, Klopp enggan memakai setelan jas seperti kebanyakan manajer di partai final. ”Seseorang mengatakan kepada saya sebelum final bahwa perlu memakai jas. Saya tidak akan memakainya di laga sepak bola kecuali itu peraturan. Itu bukan masalah. Saya tidak menjadi gelandangan yang pergi ke pernikahan,” ucapnya sehari sebelum final.
Klopp yang terbiasa menggunakan jaket dan topi di pinggir lapangan punya pengalaman buruk dengan setelan jas. Dia pernah terpaksa memakainya pada final Liga Champions Eropa 2013 (bersama Dortmund) dan final Piala Liga 2016 (bersama Liverpool). Dia gagal membawa timnya juara dalam dua final yang sama-sama berlangsung di Stadion Wembley tersebut.
Manajer berusia 54 tahun ini bertekad melepas nasib buruk di Stadion Wembley. ”Kenangan yang bercampur aduk. Saya menjalani dua final dan kalah dua kali (di Wembley). Tetapi, hal itu tidak terlalu buruk karena saya orang yang percaya kesempatan ketiga (seperti kisah final Liga Champions). Kami akan mengeluarkan segalanya untuk menciptakan momen indah di Wembley,” tambah Klopp.
Di sisi lain, Tuchel juga tidak peduli dengan penampilan rapi. Tiga final terakhir bersama Chelsea, di Liga Champions Eropa, Piala Super UEFA, dan Piala Dunia Antarklub, dia hanya bergaya kasual dengan setelan kaus lengan panjang dan celana hitam serta sepatu sneakers. Dia berjaya di tiga final tersebut.
Mereka, Klopp dan Tuchel, memang tidak cocok memakai setelan jas seperti dirigen musik klasik. Sebab, kedua pelatih ini adalah pemimpin band metal masing-masing. Prinsip melawan keteraturan yang ditampilkan dalam gaya busana mereka juga akan diterapkan di lapangan bersama 11 pemain.
Tuchel punya motivasi lebih di final nanti setelah memenangi tiga trofi dalam 13 bulan bersama Chelsea. Dia masih penasaran siapa yang lebih baik, antara dirinya dan Klopp. Dalam dua pertemuan terakhir, tabrakan ideologi kedua pelatih berujung imbang, 1-1 dan 2-2.
Seseorang mengatakan kepada saya sebelum final bahwa perlu memakai jas. Saya tidak akan memakainya di laga sepak bola kecuali itu peraturan. Itu bukan masalah.
”Menikmati bermain lawan tim yang dilatih Juergen? Itu adalah kesenangan, apalagi bisa bertemu dengannya dalam final di Wembley. Namun, itu bukan kesenangan murni karena kami harus menghadapi tim Liverpool yang sangat kuat dan dalam tren performa sangat bagus. Ini tantangan yang besar,” kata Tuchel.
Liverpool dan Chelsea terakhir bertemu pada awal tahun dalam pertarungan Liga Inggris yang berujung imbang 2-2. Di laga itu, kedua tim sama-sama saling menekan dengan intens. Alhasil, separuh lapangan sendiri yang biasa paling aman untuk menguasai bola justru berubah jadi zona berbahaya.
Mereka pun berlomba untuk mengalirkan bola ke depan secepat mungkin. Laga berjalan dengan tempo sangat cepat dan sulit ditebak. Terbukti, Liverpool yang unggul cepat lewat sepasang gol Sadio Mane dan Mohamed Salah tidak bisa mempertahankan keunggulan itu saat turun minum.
Jelang final, Chelsea mendapat kabar baik karena dua pemain inti, Hakim Ziyech dan Mateo Kovacic, sudah bisa tampil. Sebaliknya, Liverpool masih belum bisa menurunkan penyerang andalan Roberto Firmino dan Diogo Jota yang dalam pemulihan cedera. Penyerang baru Luis Diaz berpeluang mendapat kesempatan tampil lagi bersama Salah dan Mane.
Tekanan Rusia
Tim asuhan Tuchel datang ke Wembley dengan pikiran kurang tenang. Mereka terusik karena tekanan publik seusai serangan militer Rusia ke Ukraina. Pemilik Chelsea adalah taipan Rusia, Roman Abramovich, yang dikabarkan punya kedekatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Anggota parlemen dari Partai Buruh, Chris Bryant, menyampaikan, aset milik Abramovich harus disita. Dia juga meminta hak sang pemilik untuk mengoperasikan klub dicabut.
”Kami tidak bisa berpura-pura menganggap ini bukan masalah. Hal tersebut mengaburkan pikiran kami dan kegembiraan kami jelang final. Situasi ini (serangan Rusia) sangat mengerikan untuk semua orang. Tidak ada yang mengharapkan ini terjadi. Saya dapat memahami opini kritis terhadap klub. Kami tidak bisa sepenuhnya membebaskan diri dari kritik itu,” pungkas Tuchel.
Di sisi lain, Klopp ingin lebih santai menghadapi final kali ini. Dia menyampaikan akan bangun lebih cepat dari biasanya, lalu pergi sarapan. Setelah itu, kalau sempat dia akan berjalan-jalan sebentar bersama anak asuhannya. ”Pada akhirnya, anak-anak yang akan menentukan hasilnya,” ucapnya. (AFP/REUTERS)