Liga Italia Serie-A, Persaingan Tergila di Eropa
Persaingan Liga Italia pada musim ini dianggap yang tersengit, bahkan tergila, dibandingkan empat liga top Eropa lainnya. Sebaliknya, mengacu riset FIFA, Liga Inggris justru bukan lagi liga paling kompetitif dewasa ini.
Banyak pihak menilai, Liga Inggris adalah liga sepak bola paling sengit dan kompetitif di Eropa. Namun, realitasnya tidaklah demikian. Predikat itu kini disandang Liga Italia Serie A, liga yang justru kalah pesona dari Liga Inggris dan Liga Spanyol dalam dua dekade terakhir.
Meskipun tenggelam dalam bayang-bayang Liga Premier dan La Liga, Serie A kini punya daya tariknya sendiri. Musim ini, tidak ada yang berani sesumbar menjagokan salah satu tim peserta untuk meraih scudetto alias gelar juara. Tengok saja Inter Milan. Sang juara bertahan, yang sempat paling dijagokan juara, justru tengah menggelepar.
Dalam tiga laga terakhir di Serie A, “I Nerazzurri” hanya mengemas satu poin dari potensi sembilan poin yang bisa diraih. Wajar jika mereka kalah dari AC Milan dan ditahan Napoli karena kedua lawannya itu adalah rival-rival terdekat untuk meraih gelar. Namun, tidak demikian dengan laga versus Sassuolo, akhir pekan lalu.
Baca juga : Milan Manfaatkan Momentum Emas
Inter dan Sassuolo ibarat mobil sedan mewah bermesin turbo versus city car. Nilai skuad Inter, yaitu 9,5 triliun, adalah tiga kali lipat dari total pemain Sassuolo, tim peringkat ke-11 di Serie A saat ini. Nyatanya, Inter dipermalukan, Sassuolo, 0-2. Sudah begitu, kekalahan itu diderita Inter di kandangnya sendiri, Stadion Giuseppe Meazza, Milan.
Inilah salah satu daya pikat Serie A. Tim seperti Sassuolo, yang nyaris tidak punya bintang besar dan banyak mengandalkan produk akademinya sendiri, mampu menjungkir-balikkan logika. Bukan sekali itu saja Sassuolo mengalahkan tim raksasa. Mereka sebelumnya juga menjungkalkan AC Milan dan Juventus, dua tim tradisional lainnya yang tiga dekade terakhir silih berganti menguasai Liga Italia. Gilanya pula, kemenangan Sassuolo itu terjadi di kandang lawan-lawannya itu.
Jika Serie A hanya diikuti Sassuolo dan enam tim papan atas, maka Sassuolo dapat dikatakan sebagai kandidat juara terkuat. Mereka sebelumnya juga menang atas Lazio dan meraih poin dari Napoli. Sassuolo adalah salah satu pencipta “keseimbangan” dalam persaingan juara di Liga Italia saat ini. Namun, Sassuolo tidaklah sendirian menciptakan elemen kejutan itu.
Tim-tim papan bawah lainnya, seperti juru kunci Salernitana dan Cagliari, juga turut andil dalam menciptakan persaingan terbuka di Liga Italia musim ini. Kedua penghuni zona degradasi itu, di luar dugaan, mampu menahan imbang tim-tim di papan atas. Milan ditahan Salernitana, 2-2, lalu terakhir, Napoli kehilangan poin dari Cagliari pada laga Selasa (22/2/2022) dini hari WIB. Padahal, Napoli bisa mengudeta Milan dari puncak klasemen jika meraih poin penuh pada laga itu.
Riset FIFA yang menunjukkan, Liga Italia adalah liga paling kompetitif dalam lima musim terakhir.
Tidak heran, La Gazetta dello Sport edisi Senin menulis judul menggelitik soal persaingan di Serie A saat ini. “Persaingan juara di Serie A adalah yang tergila di Eropa,” bunyi judul cover story harian olahraga terkemuka Italia itu.
Inggris terbuncit
Fenomena itu dipertegas riset FIFA, tahun lalu. FIFA merilis data mengejutkan. Liga Inggris boleh saja dikatakan liga sepak bola terhebat dan paling menarik sejagat saat ini. Namun, indeks kompetitif mereka, seperti disebut dalam kajian FIFA itu, adalah yang terbuncit di antara jajaran lima besar liga top Eropa, yaitu Inggris, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Italia.
Dengan kata lain, tim-tim tiga besar di Liga Premier nyaris tidak terjamah tim-tim lainnya di bawahnya. Dalam lima musim terakhir, juaranya meraih rata-rata 83 persen dari total poin tersedia, adapun runner-up 73 persen dan peringkat ketiga 62 persen. Itu terwakili dengan gelar juara Manchester City pada musim lalu. “The Citizens” menjadi kampiun dengan koleksi 86 poin, unggul 12 angka dari Manchester United sebagai runner-up.
Kondisi itu tidak jauh berbeda pada musim ini. Meskipun dikalahkan Tottenham Hotspur, 2-3, di Stadion Etihad, Manchester, akhir pekan lalu, City masih kokoh di puncak klasemen Liga Premier. Saat ini, mereka unggul enam poin dari Liverpool, tim peringkat kedua yang masih punya tabungan satu laga.
Baca juga : Cetak Biru Muslihat The Godfather
Selisih poin yang besar di puncak klasemen sementara juga terjadi di Liga Spanyol. Real Madrid unggul enam poin dari rival terdekatnya, Sevilla. Begitu pula di Liga Jerman. Bayern Muenchen masih terlalu tangguh dan difavoritkan meraih gelar juara kesepuluh beruntun. Mereka kini unggul enam poin dari rival abadinya, Borussia Dortmund.
Setali tiga uang, Paris Saint Germain memperlihatkan kekuatan uangnya tidak bisa disentuh tim-tim lainnya di Perancis pada musim ini. Setelah kehilangan gelar juara dari Lille pada musim lalu, PSG yang kini diperkuat langganan juara Ballon d'or, Lionel Messi, unggul fantastis 13 poin dari tim peringkat kedua, Marseille. Utopis rasanya jika PSG tidak juara pada musim ini.
Serie A menjadi satu-satunya anomali. Bukan hanya satu, dua, atau tiga tim, yang berpotensi juara. Lima tim, yaitu Milan, Inter, Napoli, Juventus, dan Atalanta, punya peluang juara. Selisih poin Milan dan tim peringkat ketiga, Napoli, misalnya, kini hanya dua poin. Juve, yang sempat dicoret dari persaingan juara dan terpuruk di papan bawah, mulai bangkit dan hanya tertinggal 9 poin dari Milan. Ironisnya, kelima tim itu, juga Atalanta, kehilangan poin pada akhir pekan lalu.
Ada tujuh, bahkan delapan tim, yang berjuang untuk ke puncak. (Liga Italia) kini sangat menyenangkan dan kompetitif. (Roberto Mancini)
Hal itu sejalan riset FIFA yang menunjukkan, Liga Italia adalah liga paling kompetitif dalam lima musim terakhir. Persentase perolehan poin rata-rata tim juara di liga itu hanya 79 persen, runner-up 74 persen, dan peringkat ketiga 68 persen. Dengan kata lain, tim-tim di papan atas klasemen, bahkan juara, tidaklah dominan dan dengan mudahnya bisa dikalahkan tim-tim di bawahnya.
Tidak heran, pelatih top Italia, Roberto Mancini, hanya mampu mengernyitkan dahinya jika ditanya prediksinya soal tim mana yang bakal juara pada musim ini. “Ada tujuh, bahkan delapan tim, yang berjuang untuk ke puncak. (Liga Italia) kini sangat menyenangkan dan kompetitif,” ujar pelatih tim nasional Italia itu.
Seperti dikatakan Mancini, musim ini adalah persaingan tersengit di Serie A pada milenium ini. Runtuhnya oligarki Juventus, peraih sembilan scudetto dalam sepuluh musim terakhir, telah membuka peluang tim-tim lainnya untuk mengejar gelar juara. Proses peremajaan skuad dan gonta-ganti pelatih dalam tiga musim terakhir membuat Juve kurang kompetitif, terlepas mereka kini telah kedatangan dua rekrutan bagus, Dusan Vlahovic dan Denis Zakaria.
Baca juga : Kontribusi Instan Dusan Vlahovic
Lain lagi dengan Inter Milan. Mereka sebetulnya punya modal terbesar untuk menjadi juara. Setelah meraih gelar juara musim lalu, mantan pelatihnya, Antonio Conte, telah mewariskan sistem permainan, kultur, dan mental juara, untuk diteruskan ke penggantinya, Simone Inzaghi. Namun, akibat krisis finansial, skuad mereka melemah pada musim ini. Selain sosok juara seperti Conte, mereka kehilangan dua pemain pilar yang belum bisa tergantikan, striker tajam Romelu Lukaku dan bek sayap eksplosif Achraf Hakimi.
Adapun Milan diuntungkan stabilitas. Jajaran pelatih, staf, dan skuad mereka, nyaris sama, dalam tiga musim terakhir. Hal itu memungkinkan para pemain “menyetel” dengan gaya bermain yang diinginkan pelatihnya, Stefano Pioli. Hanya saja, karena minimnya investasi, mereka tidak memiliki sosok kuat yang bisa jadi pembeda. Lini depan misalnya, dihuni barisan “bintang senja”, seperti Zlatan Ibrahimovic dan Olivier Giroud.
Masalah kedalaman skuad itu juga dialami Napoli. Ambisi mereka mengakhiri tiga dekade puasa scudetto terhalang masalah badai cedera pemain, mulai dari penyerang Lorenzo Insigne hingga bek Kalidou Koulibaly. Tidak heran, sempat 12 pekan memuncaki liga itu pada awal musim ini, ”I Partenopei” kini merosot di peringkat ketiga.
Maka, sangat sulit menerka siapa juara Serie A musim ini. Meskipun tidak seglamor di era 1990-an, ketika liga itu dihuni barisan megabintang top dunia—seperti Ronaldo, Maradona, Ruud Gullit, dan Zinedine Zidane—Serie A kini telah menghadirkan pesonanya, yaitu persangan sengit dan penuh kejutan. Liga itu pun tidak lagi membosankan...