Kejayaan Senegal di Piala Afrika 2021 memperlihatkan kesabaran dan kepercayaan pada sosok tepat adalah kombinasi sempurna meraih prestasi. Senegal mengakhiri paceklik juara dua generasi lewat proses berliku tujuh tahun.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
OLEMBE, SENIN — Setelah melewati 65 tahun penuh kisah kegagalan, Senegal merajai Piala Afrika untuk pertama kali dalam sejarah. Oase ini datang berkat kesabaran terhadap sosok pelatih yang juga mantan pemain ”Singa Teranga”, julukan tim nasional Senegal, Aliou Cisse. Kesabaran yang semula diragukan kini berbuah pesta terindah untuk warga Senegal.
Cisse, pelatih Senegal sejak 2015, merupakan sosok paling disorot ketika timnya kalah dari Aljazair di final Piala Afrika 2019. Dia gagal mengantar generasi emas negaranya yang diperkuat penyerang top Liverpool, Sadio Mane, untuk juara. Sang pelatih mengulang kegagalan setelah pada 2017 terhenti di perempat final.
Alih-alih memecat, Federasi Sepak Bola Senegal justru memperpanjang kontrak Cisse dengan segala risiko. Mereka yakin sang pelatih berada di jalur tepat. Meski sempat diragukan, kepercayaan terhadap proses itu berbuah manis dalam partai puncak Piala Afrika 2021 di Stadion Paul Biya, Kamerun, Senin (7/2/2022) dini hari WIB.
Cisse memimpin anak asuhnya menjuarai Piala Afrika dalam keikutsertaan ke-16 kali. Senegal berjaya lewat kemenangan adu penalti atas tim tersukses di turnamen ini, Mesir, 4-2, setelah laga berlangsung tanpa gol selama 90 menit waktu normal dan 30 menit babak tambahan waktu.
Mane, algojo penalti kelima, menjadi pahlawan negaranya lewat tendangan sepenuh tenaga ke sudut kiri. Sepakan itu mengakhiri penantian dua generasi Senegal. Cisse dan anak asuhnya merayakan gelar juara di lapangan dengan penuh sukacita, sementara warga Senegal juga berpesta di negaranya. Saking besarnya euforia, Presiden Senegal Macky Sall sampai menyatakan hari itu jadi libur nasional.
Kami adalah juara Afrika. Penantian ini panjang dan berliku, tetapi kami tidak pernah menyerah. Memenangi Piala Afrika sangatlah spesial. Apalagi kami menang atas tim tersukses di turnamen ini. Saya mempersembahkan ini untuk warga Senegal. Mereka sudah menanti ini sejak lama.
”Kami adalah juara Afrika. Penantian ini panjang dan berliku, tetapi kami tidak pernah menyerah. Memenangi Piala Afrika sangatlah spesial. Apalagi kami menang atas tim tersukses di turnamen ini. Saya mempersembahkan ini untuk warga Senegal. Mereka sudah menanti ini sejak lama,” kata Cisse yang juga pernah gagal juara di final sebagai pemain pada final 2002.
Kejayaan ”Singa Teranga” memperlihatkan, satu keputusan tepat dari pemangku kepentingan sepak bola bisa mengubah takdir dan sejarah sebuah negara. Bayangkan jika Cisse dipecat, mungkin rakyat Senegal saat ini masih bermimpi untuk mencicipi gelar juara.
Senegal juara berkat kematangan tim yang sudah dibentuk dalam tujuh tahun terakhir. Tim ini punya fondasi sama dari tahun ke tahun, antara lain Kalidou Koulibaly (bek), Cheikhou Kouyate (gelandang), dan Mane. Skuad Singa Teranga dewasa berkat pelajaran dari kekalahan selama edisi-edisi terdahulu.
Hal paling spesial adalah koneksi antara pemain dan pelatih serta antarpemain itu sendiri. Mereka yang sudah melewati suka dan duka bersama bertarung sebagai satu kesatuan di lapangan. Keharmonisan tim menjadi salah satu alasan terbesar mereka pulang dengan trofi juara.
Kata Mane, mentalnya sempat runtuh ketika gagal mengeksekusi hadiah penalti pada awal laga. Akan tetapi, dia berhasil bangkit karena dukungan rekan-rekannya. Dia melupakan kegagalan itu, lalu menebus dosanya dengan keberhasilan dalam drama adu tos-tosan.
”Saya kecewa gagal penalti, tetapi rekan-rekan saya mengubah segalanya. Semua mendatangi saya di ruang ganti. Mereka berkata, tidak peduli apa yang terjadi. Kami kalah dan menang bersama-sama. Mereka juga memercayakan saya sebagai eksekutor terakhir. Ini adalah hari terbaik dalam hidup saya,” tutur Mane yang terpilih menjadi pemain terbaik turnamen ini.
Berkat kesatuan itu, Mane dan rekan-rekan bisa mengalahkan Mesir yang sudah dua kali menang adu penalti dalam turnamen kali ini. Adapun Senegal baru pertama kali merasakan ketegangan drama tos-tosan pada partai puncak.
Singa Teranga memang pantas menjuarai Piala Afrika. Mereka merupakan tim terbaik dari segi permainan. Anak asuh Cisse ini selalu tampil menyerang, termasuk saat menaklukkan Mesir. Dominasi mereka di lapangan membuat penyerang Mesir yang berkelas dunia, Mohamed Salah, tidak banyak berkutik.
Soliditas ini tidak datang dalam semalam, bagai kisah dongeng Bandung Bondowoso. Kesabaran dan kepercayaan terhadap sosok yang tepat merupakan awal dari segala prestasi. Tidak perlu memperbaiki sesuatu jika tidak ada yang rusak.
Air mata Mesir
Di sisi lain, skuad Mesir tidak mampu menahan kesedihan saat tim lawan berpesta. Salah menutup wajahnya dengan posisi jongkok. Para pemain lain saling memeluk sambil mengusap air mata. Pelatih ”Pasukan Firaun”, Carlos Queiroz, yang tidak bisa mendampingi tim di tepi lapangan karena sanksi, menunjukkan wajah kecewanya dari tribune.
Mesir, tim peraih tujuh gelar Piala Afrika, sudah tidak memenangi turnamen ini sejak terakhir kali pada 2010. Mereka dijauhi ”Dewi Fortuna” karena kalah dua kali di final dalam tiga edisi terakhir. Salah, ikon sepak bola Mesir, pun belum mampu mempersembahkan gelar untuk negaranya.
Kisah kesabaran Senegal mungkin bisa menginspirasi banyak negara lain, salah satunya Mesir. Seperti diketahui, Mesir sudah tiga kali berganti pelatih dalam empat tahun terakhir. Pelatih terbaru, Queiroz, baru ditunjuk menukangi Pasukan Firaun pada September 2021 atau empat bulan sebelum Piala Afrika.
Jika diberikan waktu lebih, Queiroz yang punya segudang pengalaman seharusnya bisa mengubah pengalaman pahit ini jadi modal berprestasi pada masa depan. Kiper Mesir, Mohamed Abou Gabal, meyakini, mereka akan segera bangkit. ”Hari ini kami tidak menang, tetapi kami akan kembali dan lebih baik lagi,” ucapnya. (AFP/REUTERS)