Setelah lepas dari sanksi WADA, LADI wajib menjadi lebih baik agar sanksi serupa tidak terulang. Upaya reformasi yang dicanangkan dengan mengubah nama LADI menjadi IADO diharapkan tidak hanya menjadi gimik semata.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Seremoni perubahan nama Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) menjadi Indonesia Anti-Doping Organization (IADO) seusai konferensi pers mengenai pencabutan sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) kepada LADI secara daring oleh Kemenpora, Jumat (4/2/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lepas dari sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) pada 2 Februari, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga menginisiasi reformasi Lembaga Anti-Doping Indonesia atau LADI, salah satunya dengan mengubah nama menjadi Indonesia Anti-Doping Organization atau IADO. Transformasi nama itu menjadi simbolisasi dari niat yang positif.
Namun, hal itu tidak cukup kalau tidak ada komitmen kuat meningkatkan kompetensi pengurus dan organisasi lembaga yang dibentuk pada 6 Agustus 2004 itu. ”Kalau tidak ada perbaikan yang kuat dari dalam, sanksi dari WADA bisa terulang di kemudian hari. Apalagi, dinamika aturan antidoping dunia terus berkembang pesat,” ujar pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak saat dihubungi, Minggu (6/2/2022).
Fritz mengatakan, sanksi dari WADA menjadi momen memalukan untuk dunia olahraga Indonesia. Antara lain karena dilarangnya pengibaran bendera Merah-Putih saat atlet Indonesia meraih podium pada kejuaraan dunia atau kontinental.
Namun, dia menilai, peristiwa tersebut dijadikan semacam kesempatan sejumlah pihak untuk mengangkat nama agar dinilai aktif bekerja. Puncaknya, saat WADA menilai LADI berhasil memenuhi kewajiban untuk mendapatkan kembali kepatuhan sehingga bisa lepas dari sanksi lebih cepat, Kemenpora mengadakan acara khusus semacam seremoni untuk merayakannya.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Ketua Satgas Pencabutan Sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) yang juga Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia Raja Sapta Oktohari memberikan keterangan dalam konferensi pers mengenai pencabutan sanksi WADA kepada LADI secara daring oleh Kemenpora, Jumat (4/2/2022).
”Padahal, lepas dari sanksi itu hal yang biasa. Thailand yang juga lepas dari sanksi WADA meresponsnya dengan tenang. Bahkan, negara besar seperti Rusia dan Korea Utara yang masih disanksi biasa-biasa saja. Sebab, sanksi itu memang sesuatu yang biasa terjadi,” katanya.
Petik pelajaran
Secara keseluruhan, Fritz menuturkan, Indonesia terlalu gagap dan heboh dalam menanggapi sanksi tersebut. Semuanya terfokus dengan pekerjaan untuk lepas dari sanksi. Padahal, yang lebih penting mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Sanksi itu menunjukkan bahwa kompetensi pengurus lembaga olahraga Indonesia amat minim. Ini hanyalah puncak gunung es. Kompetensi yang dipertanyakan mulai terlihat sejak tim bulu tangkis Indonesia diminta mundur dari kejuaraan bulu tangkis All England di Birmingham, Inggris, Maret 2021, karena pemain berada dalam satu pesawat dengan penumpang yang positif Covid-19.
Ketika itu, Komite Olimpiade Indonesia ingin membawa masalah itu ke Pengadilan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS). Insiden lain, Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) mencak-mencak sewaktu empat pemain Indonesia dilarang bermain dalam laga kedua final Piala AFF 2021, awal Januari lalu karena melanggar protokol kesehatan yang berlaku di Singapura.
”Itu semua respons yang memalukan, karena kita protes terhadap aturan mendasar yang sudah diketahui bersama. Ini membuktikan bahwa pengurus lembaga olahraga Indonesia tidak memiliki kompetensi memadai sehingga luput dari aturan yang ada,” tutur Fritz.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali memberikan keterangan dalam konferensi pers mengenai pencabutan sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) kepada LADI secara daring oleh Kemenpora, Jumat (4/2/2022).
Momentum perubahan
Di tengah hangatnya kabar pencabutan sanksi WADA, Fritz menyampaikan, mata pemangku kepentingan olahraga Indonesia harus terbuka untuk menjadikannya sebagai momentum perubahan lembaga olahraga nasional, terutama LADI. Apalagi banyak pekerjaan rumah di tubuh LADI, mulai dari konsistensi memenuhi rencana tes doping tahunan hingga ketersediaan laboratorium untuk menguji sampel doping.
Sejauh ini, anggaran LADI amat minim yang menjadi masalah klasik penghambat kinerjanya. Belum lagi, dana melakukan tes doping atlet di dalam dan luar kompetisi cukup besar, yakni mencapai Rp 5 juta per atlet. Puncaknya, LADI berutang kepada Laboratorium Anti-Doping Qatar sejak 2017 dengan nilai sekitar Rp 300 juta.
Situasi kian pelik karena induk organisasi cabang olahraga kurang mendukung program tes doping tersebut. Pada 2016, misalnya, yang rutin mengirim sampel doping cuma dua cabang, yakni PB PASI (atletik) dan PB PABBSI (angkat besi, angkat berat, dan binaraga).
Yang lebih penting sekarang meningkatkan mutu LADI agar lebih profesional, bukan sekadar mengganti namanya. Fokus saja agar LADI bisa memenuhi semua standar antidoping dunia.
Semua itu mesti diselesaikan dengan campur tangan pemerintah. LADI perlu mendapatkan dukungan anggaran dan fasilitas memadai, seperti laboratorium uji sampel doping. Adapun cabang didorong lebih aktif dalam tes doping, antara lain memberikan subsidi agar cabang yang menanggung biaya tes atletnya.
”Jadi, yang lebih penting sekarang meningkatkan mutu LADI agar lebih profesional, bukan sekadar mengganti namanya. Tidak usah lagi kita membahas investigas penyebab sanksi itu karena kita semua lalai dalam kasus tersebut. Sekarang, fokus saja agar LADI bisa memenuhi semua standar antidoping dunia. Semuanya butuh dukungan pemerintah karena LADI bagian dari pemerintah dan sanksi yang diterima mereka akan berefek pada negara,” tegas Fritz.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Ketua Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) Mustafa Fauzi memberikan keterangan dalam konferensi pers mengenai pencabutan sanksi Badan Antidoping Dunia (WADA) kepada LADI secara daring oleh Kemenpora, Jumat (4/2/2022).
Bentuk komitmen
Menpora Zainudin Amali mengatakan, sanksi WADA itu telah menyadarkan semua pihak terkait, terutama Kemenpora, LADI, dan cabang untuk lebih melek dengan dinamika aturan antidoping dunia. Maka itu, mereka berkomitmen untuk mewujudkan iklim antidoping nasional yang lebih baik.
Selain melakukan penyegarahan dengan mengganti nama LADI menjadi IADO, mereka memastikan LADI sudah terpisah secara organisasi dan kantor dari Kemenpora. Para pengurus pun dibersihkan dari pejabat yang selama ini rangkap jabatan sebagai staf Kemenpora atau pengurus cabang. Lalu, anggaran LADI ditingkatkan sampai 1.800 persen dari sebelumnya.
Selain itu, Kemenpora memasukkan pasal dan atau ayat terkait dengan doping dalam Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional sesuai arahan WADA. Sejauh ini, Tim Panja DPR sangat mendukung usulan tersebut. ”Kami berusaha agar LADI lebih mandiri, independen, dan profesional agar sanksi serupa tidak terulang,” ujarnya.
Ketua LADI Mustafa Fauzi menuturkan, pihaknya telah mencoba jemput bola lewat penandatanganan nota kesepahaman dengan pengurus cabang agar realisasi rencana tes doping atlet tahunan tercapai. Akan tetapi, di samping komitmen dari pihaknya, mereka butuh dukungan penuh dari pemerintah, pemimpin pengurus cabang olahraga, hingga atlet. Lagi pula, kredibilitas LADI bakal terus dipantau WADA, khusus dalam tiga bulan ke depan.