Generasi "emas" Senegal dan Mesir hanya butuh satu kemenangan lagi untuk menghadirkan warisan monumental. Senegal ingin menebus dua kegagalan sebelumnya, sedangkan Mesir bertekad mengakhiri 12 tahun paceklik gelar.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
OLEMBE, SABTU — Pertemuan Senegal kontra Mesir di final Piala Afrika 2021, Senin (7/2/2022) pukul 02.00 WIB di Stadion Paul Biya, Kota Olembe, Kamerun, merupakan wujud final ideal. Kedua tim itu tengah diperkuat generasi pemain terbaik yang memerlukan trofi demi menghadirkan warisan yang tidak akan lekang oleh waktu.
Senegal akan menjalani laga final ketiga sejak bergabung dengan Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) pada 1963. Dalam dua percobaan sebelumnya, yaitu edisi 2002 dan 2019, skuad ”Singa Teranga”, julukan Senegal, pulang dengan kepala tertunduk akibat tumbang di laga penentu perebutan trofi.
Kamerun dan Aljazair adalah dua tim yang memupus mimpi Senegal menjadi raja baru di Afrika. Pada Piala Afrika 2002, Senegal dihuni generasi emas pertama yang dipimpin Aliou Cisse bersama Papa Bouba Diop dan El Hadji Diouf.
Sayangnya, mereka kalah dalam adu penalti, 2-3, dari Kamerun pada final saat itu. Generasi Senegal di awal 2000-an itu lalu menutupi rasa duka di Piala Afrika 2002 dengan tampil gemilang hingga babak perempat final pada debutnya di Piala Dunia, yaitu edisi 2002 di Jepang dan Korea Selatan.
Namun, capaian bersejarah di Piala Dunia itu dianggap masih kurang berkesan bagi salah satu tim terbaik dalam sejarah sepak bola Afrika itu. Cisse mengakui, dirinya enggan disebut sebagai generasi terbaik timnas Senegal karena pernah memberikan kekecewaan kepada rakyat Senegal ketika tumbang di final Piala Afrika, dua dekade lalu.
”Kami ingin bermain sepak bola terbaik untuk menghapus kekecewaan pada 2002. Menjuarai Piala Afrika bukan mimpi saya seorang, melainkan mimpi seluruh rakyat Senegal,” kata Cisse, kapten Senegal di Piala Afrika 2002, dilansir CAF.
Setelah gagal meraih trofi Piala Afrika sebagai pemain pada 2002, ia lagi-lagi pulang dengan kecewa ketika menangani Sadio Mane dan kawan-kawan di final Piala Afrika 2019. Saat itu, Senegal takluk 0-1 dari Aljazair di final yang digelar di Mesir.
Di Piala Afrika 2021, Cisse punya kesempatan ketiga untuk memberikan trofi pertama bagi negaranya. Ia mengatakan, kekuatan Senegal pada edisi kali ini lebih komplet dibandingkan 2019 lalu. Selain masih mengandalkan Mane sebagai poros serangan tim, Senegal juga diperkuat Kalidou Koulibaly sebagai benteng kokoh di lini pertahanan.
Tentu saya ingin memenangkan trofi dengan negara saya. Itu adalah hal yang paling saya inginkan sejak pertama kali membela timnas. (Mohamed Salah)
Pertahanan Senegal pun makin sulit ditembus seiring hadirnya Edouard Mendy di bawah mistar gawang. Kiper terbaik dunia 2021 versi FIFA itu berkontribusi pada tangguhnya pertahanan Senegal saat ini. Gawang mereka baru kemasukan dua gol dari enam laga.
Oleh karena itu, Cisse menganggap timnya jauh lebih baik dari generasi Singa Teranga di masanya ketika masih aktif bermain. Ia menilai, skuadnya hanya perlu membawa pulang trofi Piala Afrika untuk dinobatkan sebagai generasi terbaik sepak bola Senegal. ”Tim ini telah memberikan segalanya dan tampil dengan sikap mental yang tepat selama Piala Afrika ini. Mereka pantas memenangkan turnamen ini,” kata Cisse.
Adapun menurut Mane, Cisse adalah sosok yang telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meningkatkan level permainan timnas Senegal. Di bawah asuhan Cisse, Singa Teranga untuk pertama kali bisa melaju ke dua final Piala Afrika secara beruntun. Hanya ada tiga tim lainnya yang bisa membuat catatan gemilang serupa, yaitu Mesir, Ghana, dan Kamerun.
”Saya percaya ia (Cisse) pantas meraih trofi ini (Piala Afrika) karena ia adalah pelatih yang paling sering dikritik selama karier saya, tetapi ia tidak pernah menyerah,” ucap Mane, bintang Liverpool, kepada BBC Sport Africa.
”Hal yang paling penting, kami ingin memenangkan Piala Afrika ini untuk dirinya (Cisse) dan negara kami. Cisse telah melakukan segalanya bagi timnas Senegal, baik sebagai pemain dan pelatih,” ungkap Mane tentang motivasi timnya.
Namun, Mesir bukan lawan yang mudah bagi Senegal. Dalam 12 kali pertemuan melawan Mesir, Senegal baru empat kali menang. Mereka enam kali tumbang dan dua kali imbang menghadapi Mesir. Pada duel terakhir kedua tim di Piala Afrika, Senegal dilibas Mesir, 1-2, pada edisi 2006. Mesir lantas meraih trofi kelimanya saat itu.
Momentum Salah
Mesir juga dianggap tengah memiliki generasi emas, terutama berkat kehadiran Mohamed Salah, pemain terbaik dalam sejarah ”Sang Firaun”, julukan timnas Mesir. Bersama Salah, Mesir bisa menembus Piala Dunia, yaitu di Rusia 2018, setelah menanti 28 tahun.
Terakhir kali sebelumnya mereka menembus babak utama Piala Dunia adalah pada 1990. Mereka juga sempat tampil di Piala Dunia pada 1934. Meskipun baru tiga kali tampil di Piala Dunia, dominasi Mesir di Afrika sulit ditandingi.
Mesir akan menjalani final Piala Afrika ke-10 saat menghadapi Senegal. Tiada tim lainnya yang bisa menyaingi jumlah penampilan mereka di partai puncak kejuaraan tersebut. Koleksi tujuh gelar juara yang dimiliki Mesir saat ini pun adalah yang terbanyak di Piala Afrika.
Maka itu, Salah ingin menegaskan statusnya sebagai pesepak bola terbaik di ”Negeri Sungai Nil” dengan raihan trofi Piala Afrika. Terakhir kali mereka juara pada 2010 lalu.
”Tentu saya ingin memenangi trofi dengan negara saya. Itu adalah hal yang paling saya inginkan sejak pertama kali membela timnas,” kata Salah dikutip Evening Standard.
Jika bisa membawa Mesir meraih trofi kedelapan di Piala Afrika, Salah kian layak menjadi sosok panutan di negara itu. Kisah Salah kini masuk kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan menegah di Mesir. Kurikulum itu berlaku mulai tahun ajaran 2021-2022.
Selain ingin mengakhiri puasa gelar selama lebih dari satu dekade, Mesir memiliki motivasi berlipat ganda untuk menjadi juara karena merasa diperlakukan tidak adil oleh CAF. Hal itu seiring hukuman larangan dua pertandingan kepada Pelatih Mesir Carlo Quieroz karena memprotes wasit di akhir babak kedua pada laga semifinal kontra Kamerun.
Tak hanya Quieroz, Roger de Sa, asisten pelatih Mesir, juga dipastikan tidak bisa berada di sisi lapangan pada laga final karena dijatuhi sanksi berupa larangan mendampingi tim selama empat laga. De Sa dijatuhi hukuman itu karena melakukan protes ke wasit di laga perempat final menghadapi Maroko.
”CAF tak menghormati Mesir mulai dari penentuan waktu laga yang merugikan kami hingga kualitas lapangan yang buruk. Terlebih lagi kualitas wasit yang amat mengecewakan,” kata mantan pelatih Real Madrid itu dilansir laman Asosiasi Sepak Bola Mesir (EFA).
Diaa el-Sayed, asisten pelatih Mesir, akan mendampingi skuad Mesir di lapangan pada laga final itu. (AFP/REUTERS)