Meredupnya performa Manchester United akhir-akhir ini, banyak dipengaruhi politik kantor di klub berjuluk "Setan Merah" itu. Bagaimana kasih akhir Ralf Rangnick?
Oleh
Timo Scheunemann
·3 menit baca
Kita semua pasti sudah pernah merasakan ketidaknyamanan suasana kerja, gara-gara panasnya politik internal di kantor. Manajer Manchester United Ralf Rangnick, kini ibarat sedang merasakan panasnya politik kantor MU.
Terbatasnya wewenang yang diberikan kepada Rangnick membuat suasana internal MU tidak sehat. Bintang-bintang top seperti Paul Pogba dan Edinson Cavani mengeluh karena tidak menjadi pilihan utama. Sang pemain ternama kelas dunia Cristiano Ronaldo, membanting kostum saat digantikan. Tak ketinggalan, Anthony Martial bahkan menuduh Rangnick berbohong terkait pernyataan dirinya menolak bermain. Kacau. Panas.
Legenda MU, Gary Neville sampai berkata bahwa ada yang salah di ruang ganti MU. Sepertinya para pemain tidak menyukai satu sama lain. Ada apa dengan MU?
Politik kantor yang tidak sehat tentu berpengaruh terhadap performa karyawan. Demikian juga dengan pemain sepak bola di sebuah klub. Suasana ruang ganti begitu berperan dalam meraih kesuksesan. Kekompakan di luar lapangan berpengaruh terhadap kekompakan di dalam lapangan. Keduanya saat ini, sialnya, tak terlihat di MU.
Kritik dan saran dari para legenda MU, baik yang diutarakan dengan sopan maupun keras, justru terkesan menambah kekeruhan dan membebani tim. Kritikan Roy Keane yang super pedas kepada Harry Maguire dan beberapa pemain lainya tidak berimbas positif.
Kritik dan saran dari para legenda MU, baik yang diutarakan dengan sopan maupun keras, justru terkesan menambah kekeruhan dan membebani tim.
Demikian juga pernyataan Paul Scholes yang terkesan menyudutkan Rangnick, juga tidak banyak membantu. Menurut Scholes, walau Rangnick sangat dihormati, bahkan sebagai guru dari banyak pelatih top Jerman, ia tidak banyak meraih trofi. Pernyataan-pernyataan seperti itu semakin mengembuskan hawa panas ke "dapur" MU.
Namun yang paling berperan dalam situasi ini menurut saya adalah kebijakan para policy maker MU. Merekrut Ragnick namun hanya sebagai manajer interim hingga akhir musim terbukti kontraproduktif. Petinggi MU memilih untuk wait and see. Apabila Rangnick berhasil membawa MU masuk empat besar di Liga Inggris dan meraih hasil lumayan di kancah Liga Champions dan Piala FA, ia akan dipertahankan. Andai tidak, Mauricio Pochettino, yang kini melatih PSG, dikabarkan sudah siap merapat ke Old Trafford.
Rangnick sendiri walau berharap dirinya dipertahankan, telah memberikan rekomendasi kepada pengurus untuk merekrut Erik Ten Hag yang kini sedang menebar pesona bersama Ajax Amsterdam. Politik kantor kembali terlihat. Dengan merekomendasikan Erik Ten Hag, Rangnick balik berharap paling tidak bisa memperkuat posisinya dalam klub walau tidak lagi berfungsi sebagai pelatih.
Dengan mengambangkan posisi Rangnick, petinggi MU, tanpa sadar, menciptakan kekosongan kekuasaan. Tidak ada "alpha dog" di ruang ganti MU.
Tanpa power Rangnick sulit meredakan suasana negatif di ruang ganti pemain. Selain itu, pelatih yang dijuluki maha guru sepak bola modern di Jerman ini, tidak mendapatkan dukungan amunisi guna meraih kesuksesan. Rangnick tidak diperbolehkan aktif di bursa transfer, mengingat pemain yang direkrutnya belum tentu diinginkan pelatih berikutnya.
Alhasil, Rangnick harus puas dengan pemain yang ada sambil terus berusaha memenangkan hati para pemain untuk merealisasikan gaya bermain pressing ketat sesuai keinginannya. Tanpa tipikal pemain yang pas untuk bermain high pressing, dan tanpa status "alpha dog" di ruang ganti MU, sangat sulit bagi Rangnick meraih kesuksesan di Old Trafford.
Yang menarik, sebenarnya pencapaian Rangnick saat ini sudah lebih baik ketimbang Solksjaer yang meraup rata-rata 1,4 poin per pertandingan. Walau dari segi hasil pencapaian Rangnick hingga saat ini lumayan (rata-rata 1,9 poin per pertandingan, dan hanya kalah sekali dalam 8 pertandingan), nasibnya sangat bergantung pada pencapaian MU di kancah Liga Champions dan Piala FA. Di Piala FA kans MU cukup besar meraih sukses, namun di babak 8 besar UEFA Liga Champions, Atletico Madrid sudah menunggu.
Berat.
Kita perhatikan bersama perkembangan sinetron politik kantor MU pada hari-hari ke depan.