Pelatih asal Portugal, Jose Mourinho, dikenal sebagai pelatih terbaik yang pernah ada. Namun, kini, taktik Mou mulai terbaca. Dirinya pun seolah kehilangan sentuhan Midas yang pernah dilakukannya sebelum melatih AS Roma.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Di awal tahun 2000-an, pelatih asal Portugal, Jose Mourinho, menjadi fenomena dunia sepak bola. Bak Raja Midas dalam mitologi Yunani yang bisa mengubah semua yang disentuhnya menjadi emas, Mourinho bisa mengubah setiap klub yang ditanganinya menjadi juara.
Namun, kini Mourinho mulai kehilangan daya magisnya. Setelah terseok bersama Manchester United dan Tottenham Hotspur di Liga Inggris, pelatih yang biasa disapa Mou itu tertatih bersama AS Roma di Liga Italia.
Mimpi Mou menjadikan AS Roma sebagai batu loncatan untuk mengangkat kembali reputasinya ternyata tak mulus. Pelatih berusia 58 tahun ini harus bekerja keras untuk membangun AS Roma yang tidak memiliki tradisi juara mengakar. Apalagi pepatah menyatakan, Roma tidak dibangun dalam satu malam.
Kami butuh pemain dengan keunggulan fisik dan kepribadian kuat. Tim ini harus keluar dari zona nyaman.
”Saya ingin bekerja di sini (AS Roma) setiap hari selama tiga tahun kontrak saya, tidak kurang sehari pun. Namun, saya butuh bantuan dari klub (manajemen) untuk menyesuaikan potensi kami. Kami butuh pemain dengan keunggulan fisik dan kepribadian kuat. Tim ini harus keluar dari zona nyaman,” terang Mourinho berdalih usai AS Roma kalah 3-4 dari tim tamu, Juventus, dalam pekan ke-21 Liga Italia, Senin (10/1/2022), seperti dilansir Football-Italia.
”The Special One”, begitulah Mou dijuluki. Julukan itu keluar dari mulutnya sendiri yang dikenal arogan atau bermulut besar.
”Tolong jangan anggap saya arogan tetapi saya adalah pelatih dengan gelar juara Liga Champions (bersama FC Porto di musim 2003/2004). Saya pikir saya adalah ’The Special One’,” ujar Mou saat dirinya diperkenalkan sebagai pelatih baru Chelsea kepada awak media pada 2 Juli 2004 dikutip Sky Sports.
Namun, Mou tidak berlebihan. Pelatih kelahiran Setubal, Portugal, ini membuktikan perkataannya prestasi. Selama periode pertama kepelatihannya di Chelsea pada 2004-2007, dia mengangkat derajat klub asal London itu menjadi raksasa baru di sepak bola negeri Ratu Elizabeth. Dirinya mengantarkan Chelsea meraih enam gelar juara, yakni dua Liga Inggris (2004/2005, 2005/2006), satu Piala FA (2006/2007), dua Piala Liga (2004/2005, 2006/2007), dan satu Community Shield (2005).
Mou terus menjaga reputasinya ketika bisa membawa Inter Milan merebut tiga gelar juara dalam satu musim atau treble winner, yakni Liga Italia, Piala Italia, dan Liga Champions di musim 2009/2010. Dia juga sukses membantu Real Madrid mematahkan dominasi Barcelona saat mengantarkan klub berjuluk ”Los Galacticos” itu juara Liga Spanyol 2011/2012.
Mantan anak buah Mou di Inter Milan, penyerang asal Kamerun, Samuel Eto’o, menilai, salah satu keunggulan Mou yang tidak dimiliki pelatih lain, yakni pandai memotivasi pemain untuk mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. ”Dia sangat memahami karakter setiap pemain dan sentimen dari para penggemar. Dia tahu betul bagaimana mengelola kedua hal itu. Itu yang membuatnya sempurna,” ungkap Eto’o dilansir Football-Italia.
Mulai memudar
Namun, sentuhan Midas Mou mulai memudar sejak periode kedua kepelatihan di Chelsea. Selama menangani klub berjuluk ”Si Biru” pada 2013-2015, dia kepayahan untuk bersaing dengan pelatih-pelatih baru lebih visioner walau masih bisa meraih juara Liga Inggris dan Piala FA di musim 2014/2015.
Selepas dari Chelsea, Mou gagal membawa Manchester United merebut trofi Liga Inggris yang dirindukan sejak musim 2012/2013. Selama menakhodai ”Si Setan Merah” pada 2016-2018, dia hanya mempersembahkan Piala Liga 2016/2017, Community Shield 2016, dan Liga Europa 2016/2017. Puncaknya, dirinya tidak meraih gelar apa pun bersama Tottenham selama 2019-2021.
Pudarnya kesaktian Mou tak lepas dari cara melatihanya yang monoton dan mulai terbaca lawan. Dia dikenal sebagai pelatih yang sangat pragmatis. Di banyak laga krusial, dirinya tidak malu untuk memakai strategi parkir bus dan bermain kotor guna merebut kemenangan sekalipun dengan skor tipis.
”Profesionalitas Mou tidak perlu dipertanyakan. Dia sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Namun, sinar terang selalu ada di ujung terowongan,” kata Presiden Kehormatan Inter Milan Massimo Moratti ketika Chelsea memecat Mou pada 17 Desember 2015 dikutip La Gazzetta dello Sport.
Terbuang dari Liga Inggris, Mou pun berlabuh lagi ke ”Negeri Piza” pada musim panas lalu. Dia memilih AS Roma sebagai peraduan. Sama seperti di Inter Milan, AS Roma menjadi semacam tempat untuk mengembalikan kepercayaan diri dan menjaga popularitasnya.
Sayangnya, melatih klub berjuluk ”Serigala Ibu Kota” itu bukan perkara mudah. Di awal musim ini, Mou cukup menjanjikan. Namun, taktik usangnya perlahan terbaca sehingga AS Roma mulai pesakitan menjelang paruh musim.
Kini, AS Roma terpuruk di urutan ketujuh dengan 32 poin dari 21 laga. Mereka mencatat 10 kemenangan, 2 imbang, dan 9 kekalahan. Di dua laga terakhir, klub berjuluk ”Il Giallorossi” ini kalah 1-3 dari tuan rumah AC Milan pada 7 Januari dan kalah 3-4 dari tamunya, Juventus.
Mou bisa dibilang sedang mengalami fase seperti di awal kariernya, yakni kala menukangi Benfica pada 2000 dan Uniao de Leiria pada 2001-2002 di Liga Portugal. Waktu itu, dirinya belum mampu memberikan gelar apa pun kepada dua klub tersebut.
Kendati demikian, Mou pernah menyampaikan setelah tanda tangan kontrak dengan AS Roma bahwa dirinya tidak bisa menjanjikan kesuksesan instan.
”Saya tahu para penggemar, saya tahu kota ini. Namun, jika Anda berpikir bahwa saya tiba besok dan saya menang lusa, maka itu bukan cara yang benar. Ini adalah proyek di mana pemilik ingin meninggalkan warisan. Mereka ingin melakukan sesuatu yang sangat penting bagi klub dengan cara berkelanjutan. Kami ingin Roma sukses di masa depan,” tegasnya dalam Youtube resmi Seri A Liga Italia. (AFP)