"Periode Gila" Bulu Tangkis Memicu Kelelahan dan Permainan Lambat
Padatnya turnamen membuat pebulu tangkis dunia harus menjalani setiap laga dalam kondisi lelah. Kondisi itu membuat laga cenderung berjalan lambat. Maraknya atlet yang cedera dan mengundurkan diri pun tidak terhindarkan.
Jadwal padat bulu tangkis dimulai pada pekan terakhir September lalu di Eropa, lalu ke Indonesia, yang akan ditutup dengan Kejuaraan Dunia di Huelva, Spanyol, pada 12-19 Desember. Kepadatan jadwal ini terjadi karena terdapat limpahan kejuaraan yang batal digelar pada 2020 lalu, yaitu Olimpiade Tokyo serta Piala Thomas dan Uber.
Sebagian besar turnamen dalam agenda tersebut berlevel tinggi, yaitu BWF World Tour Super 750, 1000, hingga kejuaraan yang tergolong major tournament dalam struktur turamen BWF, yaitu Piala Sudirman, Piala Thomas dan Uber, Final BWF, dan Kejuaraan Dunia.
Tak pelak, atlet-atlet papan atas memaksakan diri bersaing, meskipun dalam kondisi tubuh lelah. Apalagi, mereka memiliki kewajiban untuk mengikuti turnamen dengan jumlah yang ditentukan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF).
BWF mengatur hal itu dalam statuta yang mengatur tentang komitmen atlet.
Baca juga : Momen Ajaib di Bali
Berdasarkan daftar peringkat dunia setiap pekan ketiga November, yang berlaku untuk tahun berikutnya, atlet nomor tunggal berperingkat 15 besar dunia dan pemain ganda peringkat 10 besar dunia memiliki kewajiban mengikuti semua turnamen Super 1000, yang terdiri atas tiga kejuaraan, semua (lima) turnamen Super 750, dan empat dari tujuh turnamen Super 500 setiap tahunnya.
Turnamen Final BWF juga wajib diikuti oleh mereka yang lolos. Ini adalah turnamen yang diikuti delapan wakil terbaik dari setiap nomor berdasarkan poin yang dikumpulkan dari turnamen BWF World Tour sepanjang tahun.
Masa pandemi Covid-19 juga membuat sebagian besar atlet, di antaranya atlet Indonesia, mengikuti semua turnamen di Eropa agar bisa langsung ke Bali. Jika tidak, mereka harus menjalani karantina terlebih dulu di hotel di Jakarta tanpa bisa berlatih. Ditambah kewajiban tiba di kota penyelenggara lebih awal, untuk tes Covid-19 dan karantina, para bintang bulu tangkis melakukan perjalanan selama 13 pekan beruntun, hingga selesai Kejuaraan Dunia nanti, ke enam negara.
Latihan tak berjalan
Pelatih ganda putri, Eng Hian, bahkan menyebut padatnya rangkaian turnamen itu sebagai ”periode gila”. ”Dengan jadwal sangat padat, periodisasi latihan tidak bisa dilakukan,” katanya di sela-sela turnamen Indonesia Terbuka di Bali.
Cedera mulai bermunculan setelah atlet mencurahkan fokus terbesar dan tenaga dalam Piala Sudirman serta Piala Thomas dan Uber. Pemain-pemain putra Indonesia, misalnya, sangat fokus pada Piala Thomas sehingga akhirnya juara. Mereke sebelumnya kehilangan kesempatan menjuarai Piala Sudirman karena tersingkir pada perempat final.
Baca juga : Tim Piala Thomas 2020 Akhirnya Mendapat Bonus
Pada Denmark Terbuka, ajang individu pertama setelah kejuaraan beregu, 10 wakil mengundurkan diri di tengah turnamen karena cedera. Hal itu salah satunya dialami tunggal putri Korea Selatan, An Se-young. Pemain berusia 19 tahun itu mengalami kram paha kanan hingga tidak dapat menyelesaikan final melawan Akane Yamaguchi (Jepang). An mundur pada skor 21-18, 23-25, 5-16.
Lebih tragis
Tunggal putra Jepang, Kento Momota, mengalami nasib lebih tragis pada Perancis Terbuka. Meski berusaha menahan sakit akibat cedera punggung, ia kehilangan poin dari turnamen level Super 750 tersebut karena mengundurkan diri saat melawan rekan senegaranya, Kanta Tsuneyama, pada skor 26-24, 11-21, 0-1.
Pelatih ganda putri, Eng Hian, bahkan menyebut padatnya rangkaian turnamen itu sebagai ”periode gila”.
Statuta BWF tentang Sistem Peringkat Dunia bagian 4.4 menyebut, pemain yang mundur dari pertandingan melawan rekan senegara tak berhak mendapat poin. Hal itu berlaku untuk Kejuaraan Dunia, turnamen BWF World Tour Super 1000, 750, dan 500, serta kejuaraan individu dan multiajang kontinental, seperti Kejuaraan Asia dan Asian Games.
Peraturan ini mendapat sorotan dari Anthony Sinisuka Ginting saat menjadi tamu dalam podcast pemain Denmark, Anders Antonsen. Anthony menjawab kasus cedera Momota ketika ditanya seandainya bisa mengubah peraturan bulu tangkis. Antonsen dan pemain Denmark lainnya, Hans-Kristian Vittinghus, bahkan sependapat dengan Anthony.
”Dulu, peraturan itu dibuat saat banyak pemain China mundur pada pertandingan dengan rekan senegara mereka. Saat ini, aturan itu rasanya tidak adil lagi,” kata Antonsen.
Baca juga : Kekalahan yang Sulit Bagi Greysia dan Apriyani
Gillian Clark, mantan pemain Inggris, yang jadi komentator bagi BWF untuk Indonesia Masters, Indonesia Terbuka, dan Final BWF, beberapa kali menyebut bulu tangkis harus mencontoh peraturan kompetisi tenis profesional. Clark menyoroti persaingan Final BWF tahun ini yang diwarnai mundurnya lima wakil pada babak penyisihan grup karena cedera. Hal itu, lagi-lagi, adalah dampak dari padatnya agenda turnamen.
Dua wakil yang mundur adalah Momota dan Rasmus Gemke, bagian dari empat pemain yang bersaing di tunggal putra Grup A. Maka, dua wakil lain, Viktor Axelsen dan Lakshya Sen, otomatis maju ke babak semifinal sebagai dua peringkat teratas.
Perlu meniru tenis
Final BWF dimulai dengan babak penyisihan yang dibagi ke dua grup pada setiap nomor. Setelah melalui persaingan dengan format round robin, dua peringkat teratas masing-masing grup bersaing pada semifinal.
”Final BWF seharusnya meniru Final ATP dan Final WTA, mengganti pemain cedera di penyisihan grup. Loh Kean Yew dan dan Chou Tien Chen masih ada di Bali sehingga bisa menggantikan dua tunggal putra yang mundur,” kata Clark.
Sangat melelahkan. Tetapi, setiap masuk lapangan, rasa lelah itu langsung hilang. (Sapsiree Taerattanachai)
Seperti disebutkan Clark, ATP dan WTA menentukan pemain cadangan untuk Final ATP dan WTA, turnamen serupa Final BWF. Mereka diharuskan hadir di tempat turnamen, seperti delapan petenis terbaik yang lolos berdasarkan peringkat terbaik. Maka, tak ada pemain yang dirugikan karena penghapusan hasil pertandingan melawan pemain yang mundur.
Selain mundur dari turnamen, kondisi lelah dan cedera membuat atlet top yang menjalani agenda padat tersingkir pada babak-babak awal. Axelsen, yang mundur pada babak pertama Perancis Terbuka, tersingkir di babak kedua Indonesia Masters. Adapun Momota kalah pada babak kedua Indonesia Terbuka.
”Sulit menjaga fokus dalam kondisi sangat lelah,” kata Momota setelah dikalahkan Loh.
Laga berjalan lambat
Kondisi lelahnya para atlet juga membuat banyak pertandingan berirama lambat. Tak pelak, laga-laga itu berlangsung dalam durasi panjang. Nomor ganda putra, yang biasanya berlangsung dengan tempo cepat, juga tidak terhindarkan dari situasi itu.
”Kalau saya nilai, kondisi pemain ganda putra Indonesia hanya sekitar 60-70 persen dari kondisi terbaiknya. Ditambah kok yang agak berat, tidak jarang permainan ganda putra menjadi mirip ganda putri karena memang sulit untuk mendapat poin dalam sekali serang,” ujar Herry I Pierngadi, pelatih ganda putra Indonesia.
Baca juga : Beda Turnamen, Beda Pula Kualitas Kok yang Digunakan
Pada babak pertama Indonesia Terbuka, terdapat 14 laga dengan durasi satu jam atau lebih, termasuk tiga tunggal putra dan tiga ganda putra. Pertandingan ganda putra, Satwiksiraj Rankireddy/Chirag Shetty melawan Kang Min-hyuk/Seo Seung-jae, menjadi salah satu yang terlama pada babak kedua Indonesia Terbuka, yaitu berdurasi hingga satu jam 15 menit.
Kami bermain benar-benar dengan sisa tenaga. Senang akhirnya bisa melewati laga ini. (Kevin Sanjaya)
Tidak heran, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon melakukan selebrasi bak juara seusai mengalahkan Choi Sol-gyu/Kim Won-ho, 12-21, 21-19, 21-18, di babak kedua selama satu jam. Sehari sebelumnya, mereka melewati babak pertama dalam laga satu jam 15 menit.
”Kami bermain benar-benar dengan sisa tenaga. Senang akhirnya bisa melewati laga ini,” kata Kevin.
Sisa tenaga
Meski hanya mengandalkan sisa tenaga, Kevin/Marcus akhirnya selalu menembus final dalam tiga turnamen di Bali. Mereka selalu bermain dalam laga perebutan juara dalam lima turnamen terakhir, meskipun kalah pada tiga laga di antaranya.
Pemain ganda campuran Thailand, Sapsiree Taerattanachai, bahkan menjadi pemain dengan pertandingan terbanyak setelah Olimpiade, yaitu 50 laga dalam rentang 71 hari. Hal itu karena Taerattanachai bermain dalam ganda campuran dan putri pada hampir setiap turnamen.
”Sangat melelahkan. Tetapi, setiap masuk lapangan, rasa lelah itu langsung hilang,” kata pemain yang menyapu bersih gelar ganda campuran Indonesia Masters, Indonesia Terbuka, dan Final BWF, bersama Dechapol Puavaranukroh itu. Motivasi dan semangat juang jadi bekal tersisa semua atlet saat berlaga.