Cederanya pemain muda NBA Ja Morant menggambarkan betapa rentannya atlet bola basket dengan permainan eksplosif. Mereka bagaikan guci mahal, yang indah dilihat, tetapi mudah retak.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Point guard Memphis Grizzlies, Ja Morant (22), tergeletak di lapangan sambil memegangi lutut kirinya. Pemain NBA musim ketiga yang selalu tampil energik ini tampak lesu dengan wajah khawatir. Seketika, masa depan cerahnya berubah menjadi temaram, penuh ketidakpastian.
Kekhawatiran itu sangat nyata. Morant terpincang-pincang pada awal laga Grizzlies versus Atlanta Hawks di Arena Fedex Forum, Memphis, pada Sabtu (27/11/2021) pagi WIB, tanpa kontak fisik dengan pemain lain. Reaksi itu mengindikasikan cederanya berasal dari dalam yang biasanya lebih parah.
Banyak orang memperkirakan peraih Rookie of The Year NBA 2020 ini menderita robek otot ligamen lutut atau anterior cruciate ligament (ACL). Jenis cedera itu sangat horor karena banyak mengorbankan karier pebasket, seperti Derrick Rose yang kariernya merosot tajam seusai terdampak ACL.
Tidak pelak, Morant hanya bisa berserah saat menunggu hasil pemeriksaan cederanya, selama beberapa jam setelah cedera. ”Semua bergantung di tangan Tuhan saat ini. Yang bisa dilakukan hanyalah berdoa,” tulisnya di media sosial Twitter yang diikuti dukungan dari sekitar 81.000 akun.
Jika divonis ACL, karier Morant di ujung tanduk. Dia hampir dipastikan tidak akan bermain lagi di sisa musim ini. Hal itu akan sangat disesalkan. Mengingat, kandidat All-Star itu merupakan bintang muda paling berkembang musim ini. Dia memimpin Grizzlies pada seperempat musim reguler dengan catatan impresif rata-rata 25,3 poin, 5,8 rebound, dan 7,1 assist.
Dukungan kepada atlet yang beragbung ke NBA pertama kali pada musim 2019-2020 itu pun datang dari berbagai kalangan. Termasuk dari pengamat NBA yang nyaris selalu bersikap ketus terhadap pemain bintang, yakni Skip Bayles.
”Saya berharap cederanya tidak parah. Dia adalah anak yang baik dan pemain muda hebat. Kehadirannya sangat penting untuk liga ini,” ucap Bayles.
”Dewi fortuna” menyelamatkan Morant kali ini. Beruntung, dia ternyata mengalami keseleo di bagian lutut. Cedera jenis ini hanya membutuhkan waktu pemulihan sekitar satu bulan. Dia bisa melanjutkan sisa musim ini, sekaligus mengejar kesempatan pertama kali tampil di laga All-Star.
Dua sisi
Bagi pemain eksplosif seperti Morant, risiko cedera tinggi sudah menjadi hal yang harus dihadapi sejak awal karier. Dia berpotensi cedera lebih besar karena mengoptimalkan kemampuan atletiknya dengan kecepatan, kekuatan fisik, dan lompatan tinggi.
Dengan bakat fisik itu, Morant memiliki gaya main agresif dalam penetrasi ke dekat keranjang. Pemain yang terhitung pendek untuk skala pemain NBA ini, 1,9 meter, sering kali harus bertabrakan dengan pemain tinggi dan besar saat penetrasi. Belum lagi, dia harus melompat lebih tinggi untuk menghindari blok saat melakukan gerakan favoritnya, lay-up dan dunk.
Saya berharap cederanya tidak parah. Dia adalah anak yang baik dan pemain muda hebat. Kehadirannya sangat penting untuk liga ini.
Kakinya menjadi sangat rentan cedera. Engkel dan lutut bisa mengalami masalah karena salah tumpu, tabrakan, ataupun keletihan. Bukti kerentanan itu terlihat pada cederanya kemarin. Dia mengalami keseleo di lutut kiri. Lutut sebelah kiri paling sering dipakai untuk tumpuan lepas landas selama memainkan 19 gim musim ini.
Di sisi lain, risiko itu datang dengan hadiah setimpal. Permainan eksplosif menjadikan Morant sebagai pencetak poin terbanyak di area berwarna atau dekat keranjang. Dia menghasilkan rata-rata 15 poin musim ini, mengungguli pemain forward atau center bertubuh di atas 2 meter, seperti Giannis Antetokounmpo dan Nikola Jokic.
Morant pun menghadapi pedang bermata dua. Gaya eksplosifnya mengancam pertahanan lawan, tetapi juga kesehatan diri sendiri. Dia tidak punya pilihan lain. Sebab, Morant hanyalah salah satu dari sekian banyak pemain kulit hitam kelahiran Amerika Serikat. Biasanya, mereka mengandalkan bakat fisik yang berasal dari turunan genetik.
Pebasket AS tidak seperti pemain Eropa yang punya teknik tinggi, tetapi kurang diberkahi kemampuan atletik yang cemerlang. Pemain Eropa seperti Jokic dan Luka Doncic bisa mencetak poin dengan gerakan yang terlihat lambat, tetapi efektif. Mereka mengutamakan fondasi teknik dasar.
Rose merupakan contoh pebasket eksplosif yang bernasib buruk. Ketika masih membela Chicago Bulls, dia menderita cedera ACL setelah meraih gelar Most Valuable Player pada musim sebelumnya. Cedera itu membuatnya tidak maksimal dalam tiga musim beruntun. Setelah sembuh, dia kehilangan eksplosivitasnya.
Kata Rose, permainan dengan penetrasi agresif memang berpengaruh terhadap cederanya. Namun, dia mungkin bisa terhindar dari cedera jika mendapat pengaturan menit bermain lebih baik. Adapun sebelum cedera, Rose nyaris bermain dalam seluruh laga reguler dengan rata-rata 37 menit. Sebagai pembanding, Morant hanya bermain rata-rata 32 menit musim ini.
Pengaturan menit itu, menurut Rose, bisa menjadi jawaban pemain untuk menghindari cedera. Apalagi, sekarang pengaturan menit bermain sudah lebih dimaklumi di NBA.
”Sekarang mereka sudah terbiasa dengan absennya pemain. Tidak harus bermain di 82 pertandingan lagi. Tidak seperti dulu,” ucap Rose seperti dikutip situs resmi NBA.
Pebasket eksplosif yang sukses bertahan lama di liga adalah LeBron James (36), megabintang Los Angeles Lakers. Dia sudah menjalani musim ke-19 di NBA tanpa cedera serius dalam perjalanannya. ”Tetap sehat adalah hal terpenting di liga ini,” ucapnya, yang sempat menderita cedera beberapa pekan pada musim ini.
James jarang tersentuh cedera karena sangat detail menjaga kondisi dengan diet ketat, pemulihan, dan perawatan tubuh yang menghabiskan sekitar 1,5 juta dollar AS atau Rp 21,5 miliar setiap tahun. Selain itu, dia memang seakan dilahirkan dengan keistimewaan fisik yang unggul. Keistimewaan itu yang tidak banyak dimiliki pebasket lain di bumi. (AP/REUTERS)