Beda Turnamen, Beda Pula Kualitas Kok yang Digunakan
Lain turnamen, lain pula kok yang digunakan. Bahkan, untuk produk kok dari jenama yang sama, terdapat beberapa jenis kok, yang dibedakan berdasarkan kecepatannya saat digunakan.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Sebagian besar atlet peserta Festival Bulu Tangkis Indonesia di Bali berbicara bahwa kok yang ”berat” menjadi tantangan tersendiri di tengah kelelahan, apalagi setelah mengikuti rangkaian turnamen di Eropa selama dua bulan. Meski memiliki bentuk yang sama, termasuk di antara kok yang berbeda jenama, kok yang digunakan dalam setiap turnamen bisa memiliki jenis berbeda.
Peraturan internasional memiliki standar berat kok yang bisa digunakan dalam pertandingan antara 4,74 gram dan 5,50 gram. Namun, ada faktor lain yang membedakan kategori ”berat” atau ”ringan” berdasarkan versi atlet, yaitu tingkat kecepatan kok.
Setiap produsen kok memiliki angka tersendiri untuk menentukan kok berkategori sangat lambat, lambat, rata-rata, cepat, dan sangat cepat. Yonex, seperti dikatakan Perwakilan Yonex di Indonesia, Barry Tamba, tingkat kecepatan kok yang diproduksi perusahaan asal Jepang ini diberi angka 1 hingga 5. Semakin tinggi angka, semakin tinggi tingkat kecepatan.
”Kami pernah membuat edisi khusus, yaitu dengan kecepatan -1, 0, dan 1 untuk Kejuaraan Dunia di Hyederabad, India, pada 2009 saking panasnya di sana,” kata Barry.
Jenis kok dengan kecepatan tertentu itu dipilih untuk digunakan dalam turnamen berdasarkan beberapa faktor, yaitu temperatur, tingkat kelembaban, termasuk ketinggian lokasi tempat pertandingan dari permukaan laut. Dikatakan Barry, faktor utama yang paling menentukan adalah temperatur.
”Saat udara makin dingin, kok yang dipakai adalah yang berkecepatan tinggi. Logikanya, jika suhu dingin, benda akan menjadi padat, jadi dibutuhkan kok dengan laju tinggi. Sebaliknya, semakin panas, kok yang digunakan adalah yang kercepatan rendah. Bulu dan gabus yang digunakan untuk membuat kok dengan kecepatan berbeda sebetulnya sama saja, yang berbeda hanya di lem yang digunakan,” kata Barry.
Yonex memproduksi kok dengan kecepatan 1-7. Namun, kok dengan kecepatan 6-7 jarang digunakan.
Dalam setiap turnamen, Barry menjelaskan, harus disediakan kok dengan tiga kecepatan sebagai alternatif pilihan. Untuk Indonesia Masters (16-21 November), Indonesia Terbuka (23-28 November), dan Final BWF (1-5 Desember), tiga ajang dalam Festival Bulu Tangkis Indonesia di Nusa Dua, Bali, tiga kecepatan yang disediakan adalah 3-5.
Setiap hari kok yang digunakan bisa berbeda, tergantung dari pilihan referee turnamen. Ini ditentukan setelah kok diuji coba setiap hari, sekitar 30 menit sebelum pertandingan pertama dimulai.
Bulu sayap kiri
Ada hal unik mengenai bulu angsa, yang menjadi salah satu bahan utama kok. Bagian terbaik dari bulu yang biasanya dimanfaatkan adalah pada bagian sayap, terutama bagian kiri.
Namun, belum ditemukan penjelasan ilmiah yang mendasari hal tersebut. Laman sebuah produsen kok dari China hanya menjelaskan bahwa bulu dari sayap kiri lebih tahan lama dibandingkan dengan yang dari sayap kanan. Namun, ini bukan berarti bulu dari sayap kanan angsa tak digunakan.
Saat udara makin dingin, kok yang dipakai adalah yang berkecepatan tinggi. Logikanya, jika suhu dingin, benda akan menjadi padat, jadi dibutuhkan kok dengan laju tinggi. Sebaliknya, semakin panas, kok yang digunakan adalah yang kercepatan rendah.
Yonex, misalnya, menggunakan sayap bulu kiri, terutama dari bagian dalam yang mendekati tubuh angsa untuk memproduksi kok berkategori terbaik. Kok ini, menurut Barry, hanya digunakan untuk ajang besar, seperti Final BWF, Kejuaraan Dunia, Olimpiade, Piala Sudirman, serta Piala Thomas dan Uber. Adapun kok dari bagian lain sayap angsa digunakan untuk turnamen BWF World Tour.
Dalam laman resminya, Yonex menyebutkan, setiap kok yang mereka buat terdiri atas 16 helai bulu, hanya dari sayap kanan atau hanya sayap kiri. Tidak ada kombinasi dari kedua sayap agar tidak memengaruhi laju, arah, dan ketinggian saat digunakan.
Sementara itu, gabus yang dipakai adalah jenis gabus yang sama yang dipakai untuk membuat tutup sampanye. Hal ini karena jenis gabus tersebut dinilai kuat dan tahan lama dibandingkan dengan gabus yang lebih lembut.
Saat permainan bulu tangkis pertama kali dikenal, kok yang digunakan tidak berbentuk seperti yang saat dini dikenal. Ketika orang-orang di China mengenal permainan mirip bulu tangkis yang bernama jianzi, sekitar 2.000 tahun lalu, kok terbuat dari sekeping koin yang dilengkapi dua helai bulu agar bisa terbang.
Pada abad ke-14 di Jepang, dalam permainan yang bernama obiane, kok terbuat dari buah (tak disebutkan jenis buahnya) yang diberi bulu-bulu. Supaya menarik, tiap helai bulu diberi warna berbeda. Ketika bulu tangkis berkembang hingga ke Meksiko, orang-orang di negara ini menggunakan karet untuk menempelkan bulu yang terbuat dari bulu burung.
Di Benua Eropa, kok untuk bulu tangkis, yang dikenal dengan nama picandeu, terbuat dari gabus dan bulu ayam. Agar lebih jelas terlihat saat dimainkan, yang dipakai tidak hanya bulu ayam berwarna putih, tetapi juga bulu yang berwarna hitam. Lama-kelamaan bulu angsa dinilai lebih berkualitas daripada bulu ayam.
Kok sintetis
Namun, saat ini, seperti dikatakan Barry, muncul kekhawatiran suplai bulu angsa yang semakin sedikit. Maka, muncullah ide menggunakan kok sintetis. Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), bahkan, pernah merilis penggunaan kok sintetis ini pada Januari 2020.
”Visi kami adalah mengurangi ketergantungan pada materi dari alam. Apalagi, dari beberapa uji coba terbukti menurunkan penggunaan jumlah kok dalam setiap turnamen, yaitu sekitar 25 persen. Performa kok sintetis dan dari bahan alam juga sama,” kata Sekretaris Jenderal BWF Thomas Lund.
Uji coba pernah dilakukan dalam tiga turnamen BWF berlevel rendah, salah satunya Berkat Abadi International Challenge di Surabaya, Jawa Timur, pada 2018. Setelah itu, uji coba belum banyak dilakukan, apalagi ketika pandemi Covid-19 membuat tak banyak turnamen digelar.