Setelah nyaris dua dekade PON rutin digelar di luar Jawa, pemerataan pembinaan ataupun prestasi olahraga Indonesia belum terwujud. Ternyata, warisan infrastruktur PON tidak serta-merta bisa menjadi pendongkrak prestasi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah nyaris dua dekade Pekan Olahraga Nasional mulai intensif diselenggarakan di luar Pulau Jawa, pemerataan pembinaan dan prestasi olahraga di Indonesia belum juga terwujud. Tanpa komitmen dari pemerintah ataupun pemangku kepentingan olahraga di daerah, warisan infrastruktur PON tidak bisa otomatis mendongkrak prestasi daerah mantan tuan rumah pesta olahraga empat tahunan tersebut.
Setelah PON Jawa Timur 2000, ada empat provinsi di luar Jawa yang terpilih menjadi tuan rumah ajang olahraga paling bergengsi di Indonesia tersebut. Kecuali Jawa Barat 2016, empat daerah itu adalah Sumatera Selatan 2004, Kalimantan Timur 2008, Riau 2012, dan Papua 2021.
Sebagai tuan rumah, prestasi daerah langsung terdongkrak ke prestasi tertingginya. Sumsel melesat ke peringkat kelima dengan 30 emas, 41 perak, dan 40 perunggu saat menjadi penyelenggara pada PON 2004. Kaltim berada di posisi ketiga dengan 116 emas, 111 perak, dan 115 perunggu pada PON 2008. Riau di urutan keenam dengan 43 emas, 39 perak, dan 51 perunggu pada PON 2012, dan Papua di peringkat keempat dengan 93 emas, 66 perak, dan 102 perunggu pada PON 2021.
Namun, seusai menjadi tuan rumah, prestasi daerah menjadi tidak stabil dan sulit untuk bersaing dengan daerah-daerah asal Jawa. Lihat saja Sumsel, mantan tuan rumah PON yang prestasinya terjun bebas sehabis menjadi penyelenggara, yakni di urutan ke-14 (12 emas, 11 perak, 17 perunggu) pada 2008, di urutan ke-13 (10-14-29) pada 2012, di peringkat ke-21 (6-11-14) pada 2016, dan di tempat ke-17 (8-4-17) pada 2021.
Sejauh ini, Kaltim dan Riau masih stabil berada di 10 besar perolehan medali di setiap PON setelah menjadi tuan rumah. Akan tetapi, secara jumlah medali emas, mereka tidak seperkasa ketika berstatus sebagai pelaksana kegiatan tersebut.
Padahal, Sumsel, Kaltim, dan Riau memiliki warisan infrastruktur PON yang berkualitas. Sumsel, misalnya, tak hanya memiliki warisan PON. Mereka pun mempunyai warisan arena yang juga digunakan menjadi tuan rumah SEA Games 2011 dan Asian Games 2018.
Butuh komitmen kuat
Sekretaris Umum Pengurus Provinsi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia Sumsel Zulfaini M Ropi di sela perlombaan atletik PON Papua di Timika, Kabupaten Mimika, Minggu (10/10/2021), mengatakan, fakta itu menunjukkan bahwa keberadaan infrastruktur yang dibangun dengan biaya mahal tidak cukup untuk menderek pembinaan atau prestasi olahraga di suatu daerah. Yang paling utama yakni komitmen kuat dari pemerintah atau pemangku kepentingan olahraga di daerah.
Contohnya, atletik Sumsel, meski ada stadion atletik yang layak di Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, arena itu justru tidak bisa dioptimalkan untuk pembinaan. Stadion atletik malah lebih sering dipakai untuk latihan atau pertandingan sepak bola.
Hal itu membuat lintasan sintetis rusak oleh pul sepatu sepak bola. Atlet atletik menjadi tidak bisa berlatih dengan leluasa, aman, dan nyaman.
”Mirisnya, karena fasilitas olahraga di Jakabaring sudah diserahkan kepada pihak ketiga, pelatda yang ingin latihan di sana malah disuruh bayar uang sewa. Bagaimana kami bisa bayar, sedangkan uang pelatda saja minim,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Zulfaini, pembinaan di Sumsel cuma terfokus kepada atlet senior atau yang meraih medali di PON sebelumnya. Hal itu membuat regenerasi sulit diwujudkan. Dengan jumlah atlet pelatda yang minim, penyaluran honor dan biaya peralatan latihan ataupun tanding nyaris selalu terlambat. Puncaknya, sekitar dua bulan sebelum PON Papua, sejumlah atlet Sumsel menggalang dana dengan meminta bantuan dari warga di jalanan.
”Ini semua akibat petinggi dan pengurus olahraga di Sumsel bukan orang yang kompeten. KONI Sumsel, misalnya, 80 persen diisi orang yang tidak paham olahraga, yakni dari LSM, parpol, PNS tanpa jabatan, sampai tokoh masyarakat yang tidak produktif lagi. Akibatnya, pengelolaan anggaran KONI Sumsel menjadi tidak profesional. Sekitar 75 persen anggaran untuk administrasi dan operasional. Hanya 25 persen untuk pembinaan, itu pun hanya sekitar 10 persen yang terealisasi,” terang Zulfaini.
Keprihatinan serupa turut disampaikan pelari putri Sumsel di PON Papua, Sri Mayasari. Pelari yang meraih emas 200 meter dan 400 meter sekaligus memecahkan rekor nasional 400 meter di PON 2021 itu menuturkan, sejak bergabung ke Pelatda Sumsel beberapa tahun lalu, perhatian pemangku olahraga Sumsel untuk menyiapkan kontingen ke PON sangat minim dibandingkan dengan daerah lain, terutama di Jawa.
Contohnya, menjelang PON Papua, kontingen Sumsel baru melakukan pelatda terpusat sekitar tiga bulan sebelum ajang itu dilaksanakan. Padahal, di Jawa, rata-rata daerah melakukan pelatda terpusat dua-tiga tahun sebelum gelaran tersebut.
”Dengan pelatda yang singkat, honor atlet masih sering dirapel. Untuk atlet yang punya pekerjaan tetap mungkin tidak masalah, tapi untuk atlet yang bergantung pada honor itu pasti susah dan konsentrasinya terganggu,” ujar Sri.
Konsistensi Jabar
Walau bukan perbandingan yang setara, Jabar menjadi salah satu contoh ideal daerah bekas tuan rumah PON yang konsisten menjaga prestasinya. Setelah menjadi juara umum (217 emas, 157 perak, 157 perunggu) tatkala menjadi penyelenggara PON 2016, mereka bisa mempertahankan gelar itu dengan mengoleksi 133 emas, 105 perak, dan 115 perunggu pada PON Papua.
Asisten Manajer Tim Atletik Jabar Eva Nurafifah Latief mengutarakan, keberhasilan Jabar mempertahankan predikat sebagai juara umum PON itu karena pemerintah berkomitmen terus menjalankan pelatda tanpa putus seusai PON 2016. Mereka juga fokus kepada regenerasi atlet. Akibatnya, performa atlet senior terus terjaga dan atlet muda atau yunior potensial bermunculan.
Di atletik, misalnya, sebagian besar atlet Jabar merupakan anggota pelatnas. Tak heran, pada PON kali ini, Jabar bisa menjadi juara umum atletik dengan perolehan 11 emas dan 5 perak. Mereka sukses mengudeta DKI Jakarta yang menjadi juara umum atletik pada PON sebelumnya.
”Ini mungkin masa emas atlet atletik Jabar. Atlet mudanya sangat termotivasi menjadi yang terbaik, sedangkan atlet seniornya masih bisa mempertahankan prestasi sebagai yang terbaik di nomornya masing-masing,” kata Eva.
Keberhasilan Jabar ataupun provinsi lain dari Jawa terus menguasai dunia olahraga Indonesia tak lepas pula dari keberadaan komunitas olahraga yang mengakar sangat kuat di sana. Mereka terus konsisten membina atlet dari akar rumput hingga nantinya direkrut daerah untuk mengikuti PON.
Dalam diskusi daring sebelum PON Papua, mantan perenang nasional yang pernah ikut tiga Olimpiade, Richard Sam Bera, mengingatkan agar warisan infrastruktur PON Papua tidak senasib dengan infrastruktur PON di beberapa daerah sebelumnya.
Bukan hanya rutin dirawat dan konsisten menggelar kejuaraan nasional hingga internasional, keberadaan infrastruktur itu juga harus ikut berkontribusi mendongkrak prestasi olahraga daerah terkait dan menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya atlet-atlet nasional. Caranya, dengan memaksimalkan fasilitas itu sebagai pusat pembinaan. (DRI)