Dominasi tim estafet 4 x 100 meter putra NTB selama sewindu terakhir telah berakhir. Tim bertabur bintang itu takluk dari Jatim dan DKI Jakarta pada final nomor tersebut di PON Papua.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TIMIKA, KOMPAS — Selama sewindu terakhir, tim estafet 4 x 100 meter putra Nusa Tenggara Barat sangat mendominasi kejuaraan di level nasional. Namun, kejayaan mereka berakhir di Pekan Olahraga Nasional Papua 2021. Walaupun punya pelari bernama besar, NTB tidak kuasa menandingi tim Jawa Timur yang mengakhiri 13 tahun puasa emas estafet putra PON.
Tim NTB, yang terdiri dari Sapwaturrahman, Lalu M Zohri, Fadlin, dan Iswandi, hanya meraih perunggu dengan waktu 40,87 detik pada final nomor itu di Stadion Atletik Kompleks Olahraga Mimika, Timika, Kabupaten Mimika, Rabu (13/10/2021).
Mereka jauh tertinggal dari tim Jatim (Moch Bisma Diwa Abina, Geraldo Yehezkiel, Muhammad Rozikin, Yudi Dwi Nugroho) yang finis pertama dengan waktu 40,22 detik. Tim DKI Jakarta (Wahyu Setiawan, Bayu Kertanegara, Dedy Prawira, Raushans Alghiffari) finis kedua dengan waktu 40,26 detik.
Dalam final itu, Sapwaturrahman memulai start dengan lambat. Perpindahan tongkat antara Sapwan dan Zohri pun kurang mulus. Hal itu membuat Zohri lantas kesulitan mengejar ketertinggalan awal timnya.
Sebaliknya, pelari-pelari Jatim dan DKI Jakarta begitu kompak. Sejak pelari pertama hingga keempat, teknik perpindahan tongkat yang ditunjukkan kedua tim itu begitu mulus. Dengan kekuatan yang lebih merata, Jatim bisa mengungguli DKI Jakarta. Padahal, pelari terakhir DKI Jakarta telah habis-habisan berupaya menjadi yang tercepat, sampai melompat dan menjatuhkan diri saat berupaya menjangkau garis finis.
Tak heran, catatan waktu antara Jatim dan DKI Jakarta sangat tipis, yakni berselisih 0,04 detik.
”Kunci keberhasilan kami adalah kekompakan. Kami sudah saling mengenal di dalam dan di luar lintasan. Hampir semua aktivitas kami lakukan bersama agar bisa saling mengerti satu sama lain. Maka, kami bisa memindahkan tongkat estafet dengan mulus,” ujar Bisma, pelari Jatim.
Kegagalan NTB meraih emas tiga kali beruntun sejak PON Riau 2012 cukup mengejutkan mengingat mereka punya banyak bintang. Sapwan adalah mantan pelari 100 meter dan andalan Indonesia di lompat jauh saat ini. Adapun Zohri adalah pelari terbaik Indonesia saat ini dan memegang rekor nasional 100 meter (10,03 detik).
Lalu, Fadlin adalah legenda tim estafet Indonesia. Ia menjadi kapten ketika tim estafet 4 x 100 meter Indonesia meraih perak Asian Games Jakarta-Palembang 2018. Sementara Iswandi pernah dijuluki sebagai ”Usain Bolt” Indonesia. Keduanya membawa NTB merebut emas PON 2016 sekaligus rekor PON dengan waktu 39,78 detik yang bertahan hingga kini.
Tidak sebaik yang lalu
Namun, menurut Fadlin, tim NTB saat ini tidak sebaik lima tahun lalu. Usia Fadlin dan Iswandi tak lagi muda, yaitu masing-masing 31 dan 30 tahun. Selain itu, ungkap Fadlin, ia baru intensif berlatih dua bulan terakhir.
”Karena ikut membantu tim mendapatkan tiket ke PON (Papua) sejak jelang pensiun, mau tidak mau, saya turun lagi,” kata Fadlin yang sempat ingin pensiun dan beralih menjadi pelatih seusai Asian Games 2018.
Jadi, yang benar-benar siap berlomba di tim ini adalah Zohri. Namun, ini nomor tim, bukan individu. Untuk itu, Zohri saja tak cukup membantu tim meraih emas. (Fadlin)
Selain itu, Sapwan juga tidak lagi sebaik dulu karena pernah mengalami cedera hamstring, beberapa tahun lalu. Adapun Sapwan sempat lama tidak berlatih 100 meter karena fokus ke lompat jauh. Pada saat yang sama, pelari cadangan, Sudirman Hadi, tidak bisa turun karena kurang bugar.
Padahal, di PON lima tahun lalu, Sudirman jadi pelari pertama NTB. ”Jadi, yang benar-benar siap berlomba di tim ini adalah Zohri. Namun, ini nomor tim, bukan individu. Untuk itu, Zohri saja tak cukup membantu tim meraih emas,” ujar Fadlin.
Bukan kejutan
Henny Maspaitella, pelatih tim estafet Jatim, berkata, kegagalan NTB meraih emas bukan kejutan. Ia menilai tim itu tidak punya barisan pelari dengan kemampuan merata. Tak heran, di sejumlah kejuaraan nasional sejak 2017 hingga 2019, yaitu sebelum pandemi Covid-19 hadir mengakibatkan vakumnya kejuaraan, Jatim selalu mengungguli NTB.
Menurut dia, yang mengejutkan sebetulnya tim DKI Jakarta. Dengan komposisi pelari yang sebagian besar belum memiliki nama besar, mereka bisa bersaing sengit dengan Jatim. ”Tadi, saya cukup khawatir dengan performa DKI. Penampilan mereka di luar dugaan. Untungnya, strategi penempatan pelari mereka kurang baik,” ujar Henny.
Sementara itu, tim estafet 4 x 100 meter putri Jawa Barat (Raden Roselin, Tyas Murtiningsih, Erna Nuryanti, Ulfa Silviana) meraih emas dengan waktu 45,57 detik sekaligus memecahkan rekor PON milik tim DKI Jakarta dengan 45,93 detik pada PON Kalimantan Timur 2008. Tim putri Jatim merebut perak dengan 46,36 detik dan tim DKI Jakarta meraih perunggu dengan 46,58 detik.
Jabar cukup diuntungkan karena semua pelari mereka adalah anggota pelatnas dan spesialis lari cepat. Sebaliknya, tim lain, terutama DKI Jakarta, diperkuat oleh pelari yang bukan spesialis di nomor lari cepat. ”Hari ini, semua pelari di tim ini juga tampil habis-habisan,” ujar Ulfa, salah satu pelari Jabar.