Di tengah persaingan sengit, sejumlah pelatih atletik PON Papua 2021 mesti membagi perhatiannya. Karena berstatus pelatih pelatnas, mereka pun mesti memperhatikan atlet kontingen daerah lain sekaligus pelatnas.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TIMIKA, KOMPAS — Ada pemandangan unik dalam nomor lintasan lari cepat atau sprint cabang atletik Pekan Olahraga Nasional Papua 2021 di Stadion Atletik Kompleks Olahraga Mimika PT Freeport Indonesia, Kota Timika, Kabupaten Mimika. Meskipun berbeda bendera daerah, sejumlah pelatih sprint justru memperhatikan atlet dari daerah lain.
Itu tak lepas dari tugas rangkap yang mereka miliki, yakni sebagai pelatih daerah sekaligus pelatih pelatnas. Akibatnya, tak hanya mengurusi atlet sedaerah, mereka pun harus mengawasi atlet pelatnas yang tidak sedaerah dengannya.
Jiwa saya terbelah di PON kali ini. Selain memperhatikan pelari DKI Jakarta, saya mesti mengurusi juga pelari dari daerah lain, seperti dari Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Sebab, mereka semua atlet saya di pelatnas.
”Jiwa saya terbelah di PON kali ini. Selain memperhatikan pelari DKI Jakarta, saya mesti mengurusi juga pelari dari daerah lain, seperti dari Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Sebab, mereka semua atlet saya di pelatnas,” ujar pelatih kepala sprint pelatnas atletik sekaligus DKI Jakarta Eni Nuraini sehabis final 200 meter putra, Senin (11/10/2021).
Sejak hari pertama penyelenggaraan atletik PON, Rabu (5/10/2021), Eni mungkin salah satu orang paling sibuk di antara ratusan orang atlet, pelatih, ataupun ofisial kontingen peserta PON ke-20 ini. Kendati sudah berusia 74 tahun, Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019 ini tetap lincah bergerak dari tribun, ke pinggir lintasan, dan mengecek atlet di ruang medis.
Seperti Senin ini, seusai mendampingi pelari DKI Jakarta sekaligus pelatnas Jeany Nuraini melakukan tes doping seusai meraih peruggu lari 200 meter putri, Eni lincah menuju pinggir lintasan untuk memastikan pelari NTB sekaligus pelatnas Lalu Muhammad Zohri baik-baik saja pasca merebut emas lari 200 meter. ”Semuanya anak didik saya di pelatnas. Jadi, walau berbeda bendera daerah, saya harus memastikan semuanya berprestasi dan tetap sehat,” terang pelatih asal Ciamis, Jawa Barat, ini.
Mengalami dilema
Tak jarang, Eni mengalami dilema ketika atlet sedaerahnya gagal mendapatkan medali, sedangkan atlet daerah lain tetapi anggota pelatnas justru meraih medali. Dalam final 100 meter, Rabu (6/10/2021) contohnya, pelari DKI Jakarta Wahyu Setiawan harus puas finis keempat dengan waktu 10,70 detik, sedangkan Zohri sukses merebut emas dengan 10,46 detik.
Eni cukup kecewa Wahyu tidak meraih medali tetapi turut bahagia Zohri bisa mempertahankan konsistensinya sebagai pelari terbaik di Indonesia. ”Kadang bingung juga harus bahagia saat pelari daerah lain yang juara karena mereka juga anak didik saya,” kata pelatih kelahiran 29 November 1947 itu sambil tertawa.
Pengalaman serupa dialami pelatih sprint pelatnas sekaligus anggota tim estafet 4 x 100 meter NTB, Fadlin. Di sela persiapannya mengikuti perlombaan, atlet yang kembali aktif setelah memutuskan pensiun seusai memimpin tim estafet 4 x 100 meter Indonesia merebut perak Asian Games 2018 ini sibuk mengurusi pelari putri Jabar, Tyas Murtiningsih, yang berhasil membawa pulang emas 100 meter putri, Rabu (6/10/2021).
Dengan jaket kontingen berwarna kuning, atlet asal Pulau Sumbawa, NTB, ini berada di antara rombongan berjaket biru gelap bertuliskan Jawa Barat di punggungnya. Pria berusia 31 tahun ini tampak bersiap merekam perlombaan final 100 meter putri, padahal tidak ada pelari NTB dalam lomba tersebut.
Tatkala Tyas finis pertama, Fadlin ikut berbahagia dan merayakan kemenangan tersebut. Ternyata sejak awal tahun ini, pria kelahiran 28 Oktober 1989 itu adalah pelatih Tyas di pelatnas. Makanya, dia wajib memperhatikan performa pelari putri berusia 24 tahun tersebut.
”Sebenarnya, di PON kali ini, saya fokus untuk membantu tim estafet 4 x 100 meter NTB mempertahankan emas yang didapat di PON Jawa Barat 2016. Tapi, karena ada beberapa atlet yang saya tangani di pelatnas turun di PON ini, saya mesti turut mengawasi penampilan maupun kondisi mereka,” ungkapnya.
Totalitas dalam pengabdian
Apa yang ditunjukkan oleh Eni ataupun Fadlin merupakan bentuk totalitas dalam pengabdian. Di tengah persaingan sengit antardaerah untuk menjadi yang terbaik, para pelatih itu tetap tidak melupakan tanggung jawabnnya sebagai pelatih nasional yang perlu memantau perkembangan atletnya di pelatnas.
Zohri mengakui perhatian yang diberikan oleh Eni sangat luar biasa. Tak cuma di lintasan, perhatian pun diberikan di luar lintasan. Eni, misalnya, tak henti memastikan kondisi kebugaran pelari asal Lombok Utara, NTB, tersebut. Eni selalu mengingatkan agar atlet berusia 21 tahun itu menjaga kesehatan karena Papua daerah endemi malaria dan ada pandemi Covid-19.
”Selepas ibu (Saeriah meninggal 2015) dan ayah (Lalu Ahmad Yani meninggal 2017) saya meninggal, Ibu Eni adalah orangtua saya. Dia sangat berjasa di awal karieer saya. Selama di Jakarta, perhatiannya luar biasa, baik di dalam maupun luar lapangan. Di PON kali ini, Ibu pun sangat memperhatikan saya padahal kami berbeda kontingen,” tutur pelari kelahiran 1 Juli 2000 tersebut.