Perenang top nasional masih belum mampu menunjukkan tajinya di PON Papua 2021. Mereka dibayangi oleh persiapan minim saat pandemi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Hiruk-pikuk ratusan penonton di Arena Akuatik Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, bertolak belakang dengan kondisi pertarungan dalam kolam. Kehebatan para perenang top di PON Papua 2021 masih belum terdengar hingga setengah jalan kompetisi. Aksi mereka di bawah standar akibat persiapan yang terganggu pandemi Covid-19.
I Gede Siman Sudartawa (27), perenang nasional, masih belum tergantikan sebagai ”raja” nomor gaya punggung 100 meter. Perenang wakil DKI Jakarta ini meraih emas PON lewat catatan waktu 56,18 detik, pada Senin (11/10/2021).
Siman tersenyum lepas setelah menyentuh garis finis. Dia gembira karena meraih emas kedua, sehari setelah memenangi estafet 4x200 meter gaya bebas bersama tim DKI. Di tengah kebahagiaan itu, dia ternyata masih memikirkan catatan waktunya. ”Yang pasti belum puas,” ucapnya.
Catatan di Papua masih jauh dari waktu terbaiknya, 54,94 detik, yang juga rekor nasional (SEA Games Kuala Lumpur 2017). Waktu Siman juga lebih lambat daripada ajang multicabang yang terakhir diikuti, SEA Games Manila 2019, dengan catatan waktu 55,68 detik.
Kata Siman, situasi pandemi cukup berdampak pada persiapannya di pelatnas. Kondisi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat pusat kebugaran dan kolam renang ditutup selama beberapa bulan.
”Jadi bingung juga karena gym sempat ditutup lama. Untuk tim sprinter seperti saya otomatis kan susah untuk menyesuaikan badannya. Belum lagi kolam juga sempat tidak bisa. Kami sempat latihan sekali sehari, padahal idealnya dua kali. Jadi istilahnya terombang-ambing lah,” ucap Siman.
Belum lagi, atlet kelahiran Bali ini juga masih beradaptasi dengan pelatih baru pelatnas asal Australia, Michael Piper. Sang pelatih baru menukangi tim sekitar 5 bulan terakhir. Mereka belum bisa mengevaluasi gerakan dan teknik baru karena belum ada perlombaan sebelum PON.
Situasi serupa juga dialami mayoritas perenang pelatnas. Adinda Larasati Dewi (21) dan Glenn Victor (32) sama-sama mampu meraih emas, tetapi belum bisa mendekati waktu terbaik pribadi. Adapun Triadi Fauzi Sidiq (30) harus puas meraih perunggu dalam nomor andalannya, 100 meter kupu-kupu, kalah dari perenang muda Joe Aditya (20) yang menyabet perak. Dia hanya mencatatkan waktu 54,50 detik, jauh dari catatan rekornas miliknya 52,77 detik (2016).
Minimnya kompetisi, menurut Glenn, jadi problem paling utama dari penurunan performa. ”Kami hanya latihan-latihan, tidak ada lombanya. Bisa dibilang jadi bosan sih. Jujur saya belum puas dengan catatan ini, masih jauh dari waktu terbaik saya. Berenang saya parah banget tadi,” ucap peraih emas 100 meter kupu-kupu tersebut.
Hingga hari ketiga cabang renang melombakan 20 nomor, baru sekali rekornas pecah. Perenang Jatim, Patrisia Yosita Hapsari, memecahkan rekornas 100 meter gaya bebas lewat catatan 56,95 detik, saat berlomba di nomor estafet 4x100 meter. Dia memperbaiki rekornasnya sendiri, 57,71 (2017).
Tanpa kompetisi
Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI), Harlin Rahardjo, penurunan performa tidak bisa dipungkiri. Tanpa kompetisi sejak pandemi, perenang tidak punya tempat untuk mengukur kemampuan mereka.
Perenang kalau berlatih di darat, feeling-nya hilang. Jadi kami membangun setengah mati, begitu dia tidak latihan di kolam seminggu malah bisa lebih jelek dari sebelum latihan. Renang harus di kolam terus.
”Perlombaan itu memacu motivasi dan untuk mengukur. Itu yang tidak ada. Paling adanya time trial, tetapi itu berbeda dengan kompetisi biasanya. Padahal dulu (sebelum pandemi), hampir setiap bulan ada lomba di luar. Kami juga bisa undang orang datang. Sekarang tidak bisa,” ucap Harlin.
Kata Harlin, persiapan perenang juga baru maksimal dua bulan terakhir sebelum PON. Mereka baru bisa berlatih menggunakan kolam renang lagi dari pagi hingga sore, pada Agustus setelah PPKM darurat berakhir.
”Perenang kalau berlatih di darat, feeling-nya hilang. Jadi kami membangun setengah mati, begitu dia tidak latihan di kolam seminggu malah bisa lebih jelek dari sebelum latihan. Renang harus di kolam terus. Itulah, Covid memang pengaruhnya lumayan berat. Kami tidak seperti pemain bola yang bisa tetap berlatih tanpa lapangan,” jelasnya.
Pelatih renang tim Jatim Chusaini Matleq menilai, inovasi jadi kunci untuk bisa tetap berlatih maksimal di tengah pandemi. Tim Jatim sempat mengisolasi atletnya di dalam kolam renang milik KONI. Mereka menyulapnya jadi tempat tinggal sekaligus latihan.
Inovasi itulah yang menjadikan tim Jatim menguasai cabang renang saat ini dengan 9 emas, 6 perak, dan 2 perunggu. Mereka unggul dari dua rivalnya, DKI (6 emas, 3 perak, 3 perunggu) dan Jabar (2 emas, 4 perak, 4 perunggu). ”Inovasi penting agar anak-anak tetap bisa berlatih, tetapi juga sambil menaati protokol kesehatan,” ungkapnya.
Di sisi lain, “kesunyian” ini bisa diobati dengan penampilan menawan dari atlet baru pelatnas, Joe. Setelah mengalahkan Triadi, perenang asal DKI ini juga meraih emas dari nomor 200 meter gaya bebas, pada Senin malam. Dia lewat catatan waktu 1 menit 51,05 detik, sukses mengalahkan olimpian Aflah Fadlan Prawira, yang harus puas dengan perak, 1 menit 51,39 detik.
Begitu juga dengan Patrisia yang sukses memecahkan rekornas pertama di PON Papua. Perenang yang sempat didegredasi dari pelatnas ini memperlihatkan peningkatan performa signifikan. ”Dia calon yang akan promosi masuk lagi ke pelatnas,” kata Harlin.