Pelari Kalteng, Eko Rimbawan, seolah terlahir kembali. Setelah dua tahun terdepak dari pelatnas, ia membuktikan masih mampu bersaing dan merebut perunggu 100 meter dan perak 200 meter di PON Papua.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TIMIKA, KOMPAS - Setelah dua tahun menghilang dari pelatnas atletik, Eko Rimbawan muncul kembali ke permukaan dengan menyabet dua medali, yaitu perunggu lari 100 meter dan perak 200 meter pada Pekan Olahraga Nasional Papua 2021. Dua medali itu sangatlah berharga bagi sang atlet asal Kalimantan Tengah.
”Saya tidak menyangka bisa meraih medali di PON kali ini. Dengan persiapan angat minim, saya hanya berusaha tampil sebaik mungkin di dua nomor yang diikuti (100 meter dan 200 meter),” ujar Eko seusai final lari 200 meter di Stadion Atletik Kompleks Olahraga Mimika PT Freeport Indonesia, Timika, Kabupaten Mimika, Senin (11/10/2021).
Catatan waktunya di lari 200 meter, yaitu 21,51 detik, hanya kalah dari Lalu Muhammad Zohri (Nusa Tenggara Barat). Zohri, sprinter muda andalan Indonesia, meraih emas dengan waktu 21,31 detik. Adapun perunggu diraih I Dewa Made Mudiyasa (Bali) dengan waktu 21,65 detik.
Sebelumnya, pada final 100 meter, Rabu lalu, Eko meraih perunggu dengan waktu 10,70 detik. Ia berada di bawah Zohri, yang meraih emas dengan 10,46 detik; dan Sudirman Hadi, atlet pelatnas asal NTB yang meraih perak dengan 10,68 detik.
Mengingat ia tidak lagi bergabung di pelatnas, capaian Eko itu adalah hal luar biasa. Seperti kebanyakan atlet, ia mengalami pasang surut prestasi. Ia pernah berkontribusi membawa Indonesia merebut perak lari estafet 4x100 meter Asian Games 2018. Saat itu, dia menjadi pelari kedua dalam tim estafet putra yang juga diperkuat Zohri, Fadlin, dan Bayu Kertanegara.
Namun, pada SEA Games Filipina 2019, ia hanya bisa finis kelima di final 200 meter. Sejak itu, sang pelari berusia 26 tahun tidak lagi pernah dipanggil ke pelatns atletik. Selama di daerah, ia mengaku sulit berlatih optimal. Bahkan, dia tidak berlatih sama sekali selama 2020 akibat pandemi Covid-19.
Capaian ini pasti menjadi pertimbangan PB PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) untuk memanggilnya lagi ke pelatnas. (Eni Nuraini)
Dipicu program latihan yang amburadul dan absennya kejuaraan selama pandemi, dia sempat berpikir untuk pensiun dini sebagai atlet. Eko baru mulai berlatih kembali pada April tahun ini menyusul dukungan orang-orang terdekatnya yang tidak berhenti meyakinkannya untuk kembali ke lintasan.
”Melihat perjuangan yang sangat berat untuk bisa bertanding lagi, prestasi ini benar-benar luar biasa bagi saya, apalagi saya tidak dapat apa-apa di PON pertama saya di Jawa Barat 2016,” kata Eko yang finis keenam di final 100 meter pada PON 2016 silam.
Berharap kembali
Tak pelak, dua medali di PON Papua menjadi pelecut motivasi Eko untuk melanjutkan kariernya. Bahkan, ia berharap dua medali itu bisa menjadi ”jembatan” baginya untuk kembali bergabung ke pelatnas.
Ia masih penasaran ingin merebut medali emas di SEA Games. Sebelum gagal di SEA Games 2019, dia sempat membantu tim estafet 4x100 meter Indonesia meraih perak di SEA Games Malaysia 2017.
Eni Nuraini, pelatih kepala lari cepat di pelatnas atletik, terkejut dengan prestasi yang diraih Eko kali ini. Dengan latihan seadanya di daerah, Eko membuktikan masih memiliki mental juara dari pengalaman yang didapatnya sewaktu berstatus atlet nasional.
”Capaian ini pasti menjadi pertimbangan PB PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) untuk memanggilnya lagi ke pelatnas,” tuturnya.
Kendati demikian, lanjut Eni, Eko butuh penyesuaian jika balik ke pelatnas. Dari pengamatan Eni di PON kali ini, teknik berlari Eko sedikit berubah dan daya tahan kecepatannya menurun. Terbukti, catatan waktunya di babak penyisihan maupun final 100 meter dan 200 meter di PON Papua masih di bawah rekor waktu terbaiknya.
Rekor waktu terbaik Eko di 100 meter adalah 10,48 detik yang dicetak dalam kejuaraan di Chingqing, China, pada 7 Juni 2019. Adapun waktu terbaiknya di 200 meter adalah 21,22 detik yang diukir di SEA Games 2019. ”Namun, dengan pengalamannya, tidak sulit bagi Eko untuk kembali ke bentuk penampilan terbaiknya,” ungkap Eni.
Selain Eko, kejutan juga dibuat pelari putri Sumatera Selatan, Sri Mayasari (27). Ia merebut emas 200 meter putri dengan waktu 24,08 detik. Sri menggungguli dua pelari pelatnas, yakni Jeany Nuraini (DKI Jakarta) yang mendapatkan perunggu dengan 24,61 detik dan Alvin Tehupeiory (Maluku), pemegang rekor nasional yang hanya finis keempat dengan waktu 24,69 detik. Pelari Bengkulu, Hasruni, membawa pulang perak dengan 24,11 detik.
”Karena hanya meraih perunggu di 200 meter putri PON 2016, tadinya saya menargetkan merebut medali perak di 200 meter PON kali ini. Ternyata, saya bisa mendapatkan emas. Ini di luar dugaan saya,” ungkap Sri yang ingin mempertahankan emas 400 meter PON yang diraihnya pada 2016 lalu.
Sementara itu, dari final lempar lembing putri, Atina Nur Kamil (Jawa Tengah) meraih emas dengan 51,26 meter sekaligus memecahkan rekor PON milik Ni Ketut Mudiani dengan 47,70 meter pada PON Jawa Timur 2000. Capaian Atina itu juga membuatnya memecahkan rekornas atas namanya sendiri dengan 50,46 meter di Kejuaraan Nasional Atletik 2019 di Cibinong, Jabar.
Pada final loncat galah, Teuku Tegar Abadi (Jatim) merebut emas dengan 5,15 meter. Ia pun memecahkan rekor PON milik Nunung Jayadi dengan 5,10 meter pada PON 2000. Ia lalu juga mencoba memecahkan rekornas milik Idan Fauzan Richsan dengan 5,30 meter pada ASEAN School Games 2018 di Malaysia. Namun, dia gagal melewati mistar setinggi 5,35 meter.