Sepulang dari Tokyo, beberapa olimpian menunjukkan taringnya di PON Papua. Peningkatan performa itu cukup menggembirakan, terlepas dari kontroversi keikutsertaan mereka.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Bertarung dengan atlet elite dunia di Olimpiade Tokyo 2020 ternyata meninggalkan atmosfer kompetitif dalam diri atlet nasional. Atmosfer itu terbawa sampai ke PON Papua 2021. Performa mereka meningkat di Papua meskipun level persaingan jauh lebih rendah.
Perenang nasional Aflah Fadlan Prawira (24) baru saja bertarung dengan atlet dunia di Tokyo sekitar dua bulan lalu. Sekarang, dia membela Jabar untuk bertarung dengan para perenang daerah di Papua.
Namun, semangat kompetitifnya tidak surut. Hingga hari kedua renang berlangsung, Minggu (10/10/2021), di Arena Akuatik Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Papua, dia sudah mengoleksi satu emas (individu) dan satu perak (beregu).
Sumbangan emas itu berasal dari penampilan menjanjikannya di nomor 400 meter gaya ganti pada Sabtu malam. Dia mencatatkan waktu 4 menit 25,74 detik, meninggalkan jauh pemenang kedua Farrel Armando Tangkas (Papua/4 menit 34,48 detik).
Fadlan sempat terbengong menatap layar besar berisi hasil lomba setelah menyentuh garis finis. Dia sama sekali tidak menyangka bisa mencapai catatan waktu terbaik selama dua tahun terakhir sejak dia memecahkan rekor nasional di SEA Games Manila 2019 (4 menit 21,90 detik)
”Persiapan saya sangat terbatas karena terganggu karantina setelah pulang dan masalah internal. Tetapi saya senang karena ini waktu terbaik saya sejak SEA Games terakhir,” ucap Fadlan yang baru saja meraih emas di nomor 10 kilometer renang perairan terbuka, Selasa lalu.
Fadlan mengatakan masih terbawa semangat Olimpiade. Di Tokyo, dia banyak belajar dari mentalitas atlet-atlet elite, terutama soal menghargai lawan. Para atlet top selalu tampil semaksimal mungkin tanpa melihat lawan.
Dalam pikiran saya saat lomba, semua yang masuk PON punya kans sama. Ada yang lebih unggul mungkin, tetapi kita berenang di atas air, bukan di atas kertas. Jadi, siapa pun yang paling siap di PON, dia yang juara.
Fadlan pun membawanya ke Papua. ”Dalam pikiran saya saat lomba, semua yang masuk PON punya kans sama. Ada yang lebih unggul mungkin, tetapi kita berenang di atas air, bukan di atas kertas. Jadi, siapa pun yang paling siap di PON, dia yang juara,” ucapnya.
Sang olimpian juga merasa punya tanggung jawab yang lebih besar dalam tim. Sebagai perenang yang baru saja bertarung di panggung tertinggi, dia harus bisa menjadi contoh bagi semua rekannya meskipun dia satu tim dengan perenang senior nasional Triadi Fauzi (30).
Terbukti, Fadlan sempat membuat tim Jabar unggul dalam final estafet 4 x 200 meter gaya bebas, Minggu malam. Dia, sebagai perenang pertama, mengungguli tim DKI (peraih emas) sampai selisih nyaris dua detik. Namun, tim Jabar harus puas meraih perak karena perenang lain, Erick Ahmad Fathoni, Triadi, dan Reza Bayu Prasetyo, kurang maksimal.
Walaupun rekan-rekannya tertinggal, Fadlan terus memberikan dukungan kepada perenang terakhir, Reza. Dia menyemangati rekannya dari belakang balok start dengan berteriak sambil memukul-mukul balok tersebut.
”Saya belajar di Olimpiade untuk bisa membawa euforia dan semangat tim. Ini memang olahraga individu, tetapi kekompakan tim sangat berpengaruh. Saya melihat kekompakan tim Amerika Serikat dan Australia. Mereka sangat menyatu,” tuturnya.
Dari cabang angkat besi, lifter nasional Nurul Akmal (28) juga memperlihatkan perkembangan sepulang dari Tokyo. Dia meraih emas PON dari nomor +87 kg dengan total angkatan 258 kg (snatch 116 kg, clean and jerk 142 kg). Angkatan itu 2 kg lebih baik dibandingkan di Olimpiade (total 256 kg, snatch 115 kg dan clean and jerk 141 kg).
Nurul menyebutkan, dirinya terpicu rasa penasaran karena gagal meraih medali Olimpiade. Dia hanya menempati peringkat ke-5 saat itu. Hal tersebut memberikannya motivasi lebih untuk berlatih saat sepulang dari Tokyo.
”Alhamdulillah lagi berada dalam kondisi terbaik. Sejak di Olimpiade karena sudah tahu lawan-lawannya, latihan jadi lebih gereget, lebih semangat. Sangat penasaran bisa berada di Olimpiade lagi,” kata lifter asal Aceh tersebut yang menjadikan PON sebagai batu loncatan.
Atlet rowing nasional Melani Putri (22) juga merasakan perkembangan berkat Olimpiade. Di Papua, dia memboyong tiga emas sekaligus untuk tim Jabar, masing-masing dari double sculls putri (W2X), lightweight double sculls putri (LW2X), dan quadruple sculls putri (W4X).
Jiwa kompetisi Melani masih membara karena hanya menempati peringkat ke-17 dalam nomor LW2x bersama Mutiara Putri. Dia melihat para pesaing terutama dari Eropa masih terlalu jauh untuk digapai. Karena itu, dia bertekad untuk mendekatkan jarak timpang tersebut.
”Saya mendapatkan pengalaman berharga. Pengalaman selama di sana saya jadikan pacuan untuk lebih keras lagi dalam latihan. Modal itu yang akan saya bawa untuk SEA Games tahun depan,” ucapnya.
Pelatih rowing nasional M Hadris berkata, kedisiplinan anak asuhnya memang terasa sangat meningkat sejak dari Tokyo. Mereka jadi lebih profesional, seperti atlet-atlet elite dunia level Olimpiade.
Ketika merasa kurang maksimal, misalnya, mereka menambah waktu latihan sendiri. Saat berlaga di Papua, atlet juga sudah siap 30 menit sebelum lomba. Panitia tidak perlu lagi memanggil nama mereka jelang lomba dimulai. ”Mungkin karena dia tahu membawa status olimpian, jadi ingin menunjukkan yang terbaik,” ucap Hadris.
Namun, Hadris berharap momentum positif ini bisa diteruskan setelah PON. Salah satu caranya, para atlet ini tetap harus dikirim ke pertandingan internasional ataupun pemusatan latihan di luar negeri.
”Mereka bisa lebih fokus saat di luar. Apalagi di sana akan berlatih bersama atlet-atlet lain. Jadi insting kompetisinya juga terbangun. Paling tidak, performa pasti meningkat. Kalau tidak ada program itu, saya sanksi kita bisa berbicara banyak di SEA Games,” tuturnya.
Perkembangan performa para olimpian ini menjadi berita yang menggembirakan. Jangan sampai momentum tersebut berhenti karena persoalan nonteknis. Contohnya, problem pencairan dana pelatnas dari pemerintah yang berulang nyaris setiap awal tahun. Problem seperti itu sering kali merusak ritme berlatih dan bertanding atlet.