Nurul Akmal "Terbit" di Ujung Barat, Bersinar di Penjuru Timur
LIfter putri, Nurul Akmal, tidak pernah menyangka hidupnya berubah lewat angkat besi. Mulanya sebagai anak petani di Aceh, ia kini menjelma lifter terbaik 87 kg putri di PON Papua.
Oleh
Kelvin Hianusa
·4 menit baca
Bendera kontingen Aceh terpampang di layar besar Auditorium Universitas Cendrawasih, Kota Jayapura, tempat berlangsungnya ajang angkat besi Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021. Beberapa sentimeter di atas bendera, terdapat logo PON Papua. Aceh dan Papua, dua provinsi yang terpisah di ujung barat dan timur Indonesia, terasa dekat pada Sabtu (9/10/2021).
Bendera itu dipajang berkat Nurul Akmal (28) yang meraih emas dari kelas + 87 kg. Lifter asal Aceh ini berada di podium tertinggi setelah mendominasi lomba lewat total angkatan 258 kg (snatch 116 kg dan clean and jerk 142 kg).
Saking perkasanya, lifter nasional ini juga memecahkan rekor nasional angkatan snatch, yaitu rekor lama atas namanya sendiri lewat angkatan 113 kg yang diukir di Qatar 2019. Angkatan snatch-nya di Papua lebih baik 3 kg dibandingkan di Qatar.
Penampilan itu sukses menggunggah hati ratusan penonton yang mayoritas warga asli Papua. Meskipun bukan mewakili kontingen tuan rumah, penonton tetap memberikan tepukan dan sorakan terhadap atlet yang berasal dari provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Nurul tidak menyangka momen ajaib ini bisa terjadi di hidupnya. Pada 2009, dia hanyalah anak seorang petani di sebuah desa bernama Serba Jaman Tunong, Tanah Luat, Aceh Utara. Anak petani itu kini meninggikan nama Aceh di penjuru “Timur” Indonesia. “Mungkin ini sudah garis takdir,” katanya.
Lifter yang sempat tampil di Olimpiade Tokyo 2020 tersebut pun tak mampu membendung gejolak emosinya, antara bahagia, haru, dan tidak percaya. Dia mencoba tegar dengan menenangkan peraih perak, Riska Oktaviana (Kalbar) yang menangis di podium saat seremoni juara. Tetapi, setelah itu, justru giliran Nurul yang tak berhenti mengusap air mata di pipinya.
“Enggak pernah terbayang bisa berada di titik ini. Perasaannya sih bangga banget, apalagi bisa kasih yang terbaik untuk masyarakat Aceh. Emas ini saya persembahkan untuk masyarakat Aceh. Saya hanya bisa terus bersyukur saat ini,” tambahnya.
Lifter Aceh yang berjaya di Papua ini tidak hanya menggambarkan rentang jarak yang sangat jauh, melainkan juga perjuangan panjangnya untuk menjadi salah satu lifter kebanggaan “Merah Putih” di kelas berat.
Kisah indah itu bermula dari sosok yang selalu mendampinginya di Uncen, yaitu pelatih angkat besi Aceh, Effendi Aria. Sang pelatih merupakan penemu bakat Nurul pertama kali pada 2009. Kala itu, Nurul sedang beranjak dari bangku SMP ke SMA.
Effendi bercerita, pertama kali tak sengaja melihat Nurul di sebuah kebun. Saat itu, lifter yang kerap disapa Amel tersebut sedang membantu orangtuanya di sawah. Sang pelatih melihat ada potensi besar dalam badan berisi Nurul.
“Kami selalu melihat anatomi tubuh saat mencari lifter. Kebetulan, kami melihat ia adalah anak yang bagus. Karakter dan anatomi tubuhnya sesuai. Setelah itu, kami melakukan pendekatan ke orangtuanya,” kata Effendi.
Tantangan pelatih
Tantangan pertama dihadapi. Effendi dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh membujuk orangtua Nurul untuk melepas anaknya. Tentu ini tidak mudah karena sang anak merupakan salah satu tulang punggung untuk membantu di sawah. Sampai akhirnya, kegigihan mereka berbuah restu dari Nurul.
Tak sampai di situ. Effendi juga harus melatih Nurul dari nol. Dia membentuk anak asuhannya yang tidak punya riwayat berolahraga itu, selain beraktivitas di sawah. Rasa letih dan sakit berlatih pun sudah berteman akrab dengan tubuh Nurul.
Sejak Olimpiade Tokyo, saya jadi lebih greget dan semangat lagi untuk lebih baik. Saya sangat penasaran untuk kembali bersaing di Paris. (Nurul Akmal)
Tetapi, Nurul tidak menyerah. Lifter yang masuk pemusatan latihan nasional 2018 itu tidak mau mengecewakan kepercayaan orangtuanya. Dia pun berhasil melewati masa-masa berat tersebut.
“Untungnya, dia lincah. Jadi, tidak terlalu sulit melatihnya. Hasilnya, inilah Nurul saat ini, yang telah menyumbangkan emas dua kali untuk Aceh (PON Jabar 2016 di kelas 75 kg dan PON Papua 2021). Ia juga sudah mewakili Indonesia pada Olimpiade lalu,” tutur Effendi.
Dendam Olimpiade
Setelah menguasai kelas berat angkat besi di Indonesia, Nurul masih belum puas. Dia masih termotivasi untuk mendominasi lifter-lifter dunia. Dia ingin kembali ke Olimpiade, tepatnya di Paris 2024.
Adapun dia gagal meraih medali dalam debutnya di Tokyo 2020. “Sejak Olimpiade, saya jadi lebih greget dan semangat lagi untuk lebih baik. Saya sangat penasaran untuk kembali bersaing di Paris,” kata lifter kelahiran 1993 tersebut.
Motivasi itu terlihat dalam performa puncaknya di PON Papua. Hanya dua bulan setelah tampil di Tokyo, dia mampu memperbaiki catatan angkatannya. Total angkatannya naik 2 kg dibandingkan di Tokyo (total 256 kg, snatch 115 kg dan clean and jerk 141 kg).
Demi menggapai Paris, Nurul telah menatap “tangga” kejuaraan yang akan dilalui. Setelah PON, dia akan langsung berangkat ke Kejuaraan Dunia Angkat Besi di Uzbekistan pada Desember 2021. “Semoga di sana saya bisa kembali memperbaiki catatan di PON,” pungkasnya.
Itulah kisah seorang Nurul. Dari seorang anak petani di ujung barat, dia terbit dan bersinar di penjuru timur. Kisah ini belum berakhir karena dia masih bermimpi menggenggam dunia. Nurul menyebut perjalanan hidupnya sebagai takdir. Tetapi, di olahraga tidak ada kata takdir. Semua itu datang berkat bakat dan kerja keras.