Dua pemanjat tebing yang tampil di PON Papua 2021 menunjukkan tekad baja. Datang dengan sejumlah kendala, mereka mampu melawan keterbatasan untuk jadi yang terbaik. Mereka membuktikan usaha tidak pernah membohongi hasil.
Oleh
Adrian Fajriansyah
·4 menit baca
Tidak ada yang tidak mungkin, tagline populer dari salah satu merek apparel olahraga global itu dibuktikan oleh dua manusia laba-laba yang beraksi dalam cabang panjat tebing Pekan Olahraga Nasional Papua 2021 di Kota Timika, Kabupaten Mimika, Senin (4/10/2021). Datang dengan sejumlah kendala, seperti cedera, mereka menunjukkan tekad melawan keterbatasan untuk menjadi yang terbaik di nomor masing-masing.
Pemanjat Jawa Barat Widia Fujiyanti tak kuasa menahan air mata sebelum dirinya mendarat dari ketinggian sekitar 15 meter seusai waktu enam menitnya dalam final lead perseorangan putri berakhir. Sesampai di darat, atlet kelahiran Bogor, Jawa Barat, 5 Januari 1999, ini membungkuk sambil meneteskan air mata. Setelah beranjak dan menyekah air matanya, dia melambaikan tangan kepada penonton dengan wajah amat haru.
Di belakang dinding panjat, Widia yang menjadi peserta terakhir dalam perlombaan itu langsung dipeluk oleh rekan setim, Salsabila dan sejumlah pesaingnya. Semuanya memberikan selamat karena pemanjat berusia 22 tahun itu keluar sebagai peraih emas seusai mencapai titik poin 46, tertinggi dibandingkan peserta lainnya. Itu medali ketiganya di PON ini sehabis berkontribusi mempersembahkan perunggu di lead tim putri dan boulder tim putri.
Adapun lead adalah nomor panjat tebing yang mengutamakan ketangkasan. Peserta hanya diberikan satu kesempatan untuk mencapai puncak dalam waktu enam menit. Kalau tidak ada yang mencapai puncak, pemenang ditentukan dari siapa pemanjat yang bisa mengapai puncak paling tinggi dari titik pon satu hingga 50.
Namun, bukan prestasi itu yang membuat Widia larut dalam keharuan. Perjuangannya selama tiga bulan terakhir untuk tampil di PON yang lebih berarti. Sekitar April, dia menjalani operasi cukup besar karena sakit bawaan. Setelah operasi, dirinya mesti istirahat total selama dua bulan.
Pada titik itu, Widia mulai putus asa apakah mungkin bisa tampil di PON. Dia mencoba berlatih lagi pada Juli. Nyatanya, itu tidak semudah yang dibayangkan. Di pekan-pekan pertama latihan lagi, dirinya tak sanggup manjat lebih dari dua menit. Habis latihan dua hari, dirinya jatuh demam.
”Kalau melihat saya waktu itu, rasanya tidak mungkin saya bisa berangkat ke Papua dan berlomba di sini, lebih-lebih mendapatkan medali. Ini sangat luar biasa. Makanya, saya tidak pernah berhenti menangis, mulai dari atas pesawat sebelum mendarat di Timika, saat menginjakkan kaki di arena panjat ini, sampai akhirnya saya bisa dapat medali,” ujar Widia dengan mata berkaca-kaca.
Titik balik
Semangat Widia tumbuh lagi karena melihat semangat orang-orang terdekatnya, baik keluarga, sahabat, maupun orang-orang di tim panjat tebing. Mereka sabar mendampingi dan mendukung Widia agar tetap berpartisipasi dalam PON.
”Melihat mereka, saya malu. Orang-orang di sekitar saya saja percaya dengan kemampuan saya. Masak saya sendiri tidak percaya dengan diri saya. Sejak itu, saya mulai percaya diri untuk tetap berangkat ke Papua,” katanya.
Akan tetapi, Widia coba menanggalkan ambisi yang semula ingin memperbaiki prestasi setelah harus puas dengan satu perak dari lead tim putri di PON Jawa Barat 2016, PON pertama untuk dirinya. Dia coba lebih ikhlas dengan dirinya sekalipun tetap berupaya yang terbaik.
Ternyata, keikhlasan itu yang mengantarkan dirinya tampil melebihi batas kemampuan. ”Dua bulan tidak latihan itu sangat berat. Tiga hari tidak latihan saja akan langsung berpengaruh dengan tubuh, apalagi dua bulan. Makanya, saya coba mengatur lagi pikiran saya untuk ikhlas saja menjalani PON ini. Saya bersyukur keikhlasan itu yang membawa saya berhasil mendapatkan emas dan dua perunggu. Semua itu berkat doa orang-orang terdekat dan berkah dari Allah,” tuturnya.
Melihat mereka, saya malu. Orang-orang di sekitar saya saja percaya dengan kemampuan saya. Masak saya sendiri tidak percaya dengan diri saya. Sejak itu, saya mulai percaya diri untuk tetap berangkat ke Papua. (Widia Fujiyanti)
Manajer tim panjat tebing Jawa Barat Sumaryono dan segenap anggota tim menyambut emas Widia penuh sukacita. Selain sebagai emas pertama Jawa Barat di panjat tebing ini, mereka larut dengan capaian luar biasa Widia seusai berjuang bangkit dalam tiga bulan terakhir.
Untuk itu, walau tim Jawa Barat belum bisa menyamai prestasi dua emas, dua perak, dan dua perunggu di PON 2016, emas dari Widia sudah terasa seperti dua emas di PON sebelumnya tersebut. ”Sejak Widia rehat dua bulan setelah operasi, kami tidak mau membebani dia di PON kali ini. Namun, dia ternyata bisa membuat kejutan. Emas ini jadi kemenangan untuk semua tim,” terangnya.
Menahan sakit
Beda lagi dengan pemanjat Jawa Timur, Aan Aviansyah. Atlet berusia 31 tahun ini mengalami cedera lutut kanan pada 12 September yang membuatnya tidak manjat hingga berlomba di PON. Selama menjalani laga PON, cedera itu belum sepenuhnya pulih. Rasa sakit masih dirasakannya hingga tim medis Jawa Timur harus memberi lututnya plester pereda nyeri.
Namun, Aan tidak mau kalah dengan keadaan. Dia coba menantang dirinya untuk mengeluarkan semua kemampuan terbaik. Hasilnya, dirinya sukses merebut dua emas dalam PON ini, yakni dari boulder perseorangan putra dan boulder tim putra.
Dua emas itu menjadi prestasi terbaiknya dibanding tiga PON yang pernah diikutinya. ”Ada rasa ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa sebenarnya saya mampu menjadi yang terbaik walaupun ada cedera,” ungkap pemanjat yang mengoleksi emas boulder perseorangan putra dan perak boulder tim putra di PON Jawa Barat tersebut.
Widia dan Aan menjadi teladan bahwa prestasi tidak didapat dengan cara instan. Dan, setiap kerja keras tidak pernah membohongi hasil.