Merawat Tradisi Prestasi di Pekan Olahraga Nasional
Di setiap penyelenggaraan PON selalu ada pemecahan rekor. PON juga membuka jalan atlet-atlet muda berbakat yang siap membela Merah Putih di ajang kompetisi olahraga dunia.

Tiga olimpian pertama Indonesia, Sudarmodjo (kedua dari kiri), Suharko (keempat), dan Thio Ging Hwie (kanan), di Helsinki, Finlandia pada 1952.
Pembinaan atlet muda dan kompetisi tingkat nasional dibutuhkan untuk menyemai prestasi olahraga Indonesia. Pekan Olahraga Nasional (PON) membawa harapan berlanjutnya tradisi prestasi atlet-atlet Tanah Air.
Pekan Olahraga Nasional XX yang diselenggarakan pada 2-15 Oktober 2021 mendatang akan diikuti oleh 7.066 olahragawan. Jumlah atlet yang berpartisipasi tersebut lebih dari 11 kali jumlah peserta pada PON pertama di Solo, Jawa Tengah pada 1948.
Gelaran olahraga yang akan mempertandingkan 37 cabang tersebut melanjutkan tradisi penyelenggaraan PON yang dilakukan empat tahun sekali. Bukan hanya dari sisi penyelenggaraan, pesta olahraga nasional ini juga menyimpan tradisi prestasi.
Tradisi prestasi atlet-atlet nasional terlihat dari rekor prestasi dan munculnya olahragawan berbakat di setiap gelaran PON. Pada PON pertama, atlet lompat tinggi Sudarmodjo meraih medali emas sekaligus memecahkan rekor nasional setelah mampu melewati mistar setinggi 189 sentimeter. Rekor lompat tinggi sebelumnya adalah 188 sentimeter.

Salah satu pertandingan di Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo, Jawa Tengah (9/9/1948).
Sepanjang sejarah penyelenggaraan PON, rekor-rekor baru selalu hadir mewarnai prestasi atlet-atlet nasional. PON Jakarta 1973 menorehkan 46 rekor baru PON dan 47 rekor nasional. Demikian pula saat PON Jakarta 1985 yang mencatatkan 169 rekor PON, 76 rekor nasional, 5 rekor Sea Games, dan 1 rekor Asia.
Sedangkan PON Kalimantan Timur 2008 ada 115 rekor yang dipecahkan atlet-atlet nasional. Selain itu ada pula 58 rekor nasional plus dua rekor SEA Games serta satu Asian Games. Pemecahan rekor tersebut juga muncul pada PON Riau 2012. Sebanyak 137 rekor PON dengan 11 rekor nasional dan 1 rekor Asia pada cabang selam dipecahkan.
Terakhir, pada PON Jawa Barat 2016 muncul 89 rekor PON, 33 rekor nasional, satu rekor SEA Games, 26 rekor Asia, dan lima rekor dunia. Kelima rekor dunia tersebut dicatat dari cabang angkat besi.

Suasana pembukaan PON I di Stadion Sriwedari Solo, 8 September 1948.
Bersamaan dengan munculnya catatan prestasi tersebut, sejumlah atlet juga bersinar di ajang PON. Nama-nama atlet seperti Lita Liem, Mardi Lestari, Catherine Surya hingga Richard Sam Bera merupakan sebagian atlet sarat prestasi di ajang PON.
Petenis Lita Liem menjadi juara empat kali di nomor tunggal putri PON 1969 sampai PON 1979. Ada pula pelari Mardi Lestari yang memecahkan rekor Asia sekaligus rekor nasional dan rekor PON pada PON Jakarta 1989.
Mardi mencacat rekor 10,20 detik untuk nomor lari 100 meter. Ia menyandang predikat "manusia tercepat Asia" menumbangkan rekor sprinter sebelumnya yang dipegang Sumet Promna dari Thailand dengan 10,36 detik.

Perenang puteri Riau, Anandia Treciel Vanessae meraih medali emas cabang renang nomor 100 meter gaya dada puteri pada PON Jawa Barat 2016 (14/9/2016). Anandia juga memecahkan rekor PON dan rekor nasional.
Di cabang renang, ada Chaterine Surya dan Richard Sam Bera. Catherine meraih tujuh medali emas di PON Jakarta 1993. Selain medali emas, ia juga memecahkan lima rekor nasional dan tujuh rekor PON.
Prestasi lain juga dicatat perenang Richard Sam Bera di PON Jakarta 1996. Pada final renang nomor 100 m bebas, Richard memperbaiki rekor nasional yang dibuatnya di Olimpiade Atlanta dari 51,25 detik menjadi 51,21 detik. Prestasi ini sekaligus melampaui rekor Sea Games.
Prestasi atlet lain yang muncul di PON datang dari Asep Setiawan. Di PON Kalimantan Timur 2008, lifter angkat berat dari Jawa Barat tersebut berhasil melampaui rekor Asia di kelas angkatan 100 kilogram. Asep juga memecahkan empat rekor PON dan empat rekor nasional.

Pembinaan berjenjang
Sebagaimana PON sebelumnya, munculnya rekor-rekor baru dan atlet-atlet berbakat menjadi harapan dari penyelenggaraan PON Papua 2020 nanti. Sukses prestasi menjadi salah satu pilar tujuan Catur Sukses penyelenggaraan PON. Bukan hanya sebagai tolok ukur pembangunan dan pembinaan keolahragaan nasional, pesta olahraga ini juga memiliki tujuan untuk menjaring bibit atlet potensial dan meningkatkan prestasi olah raga daerah.
Dari sini tersirat dua aspek yang menjadi target jangka panjang dari penyelenggaraan PON, yaitu pembinaan atlet muda dan prestasi daerah. Keduanya berjalan beriringan mengingat pembinaan atlet muda berpuncak pada pertunjukan adu prestasi dari hasil latihan di daerah-daerah.
Harapan berlanjutnya prestasi tersebut sejalan dengan semangat kelahiran PON. Pekan Olahraga Nasional pertama yang digelar pada 1948 menjadi titik tolak pengakuan dunia olahraga Indonesia di mata dunia. Keberadaan PON sekaligus menjadi bukti kemerdekaan bangsa Indonesia.
Diplomasi olahraga ini menuntun Indonesia diakui sebagai anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1951 dan dapat tampil perdana di Olimpiade Helsinki 1952. Dari PON pertama ini juga, atlet-atlet terbaik Indonesia dapat tampil di Olimpiade.

Rombongan pembawa bendera PON masuk kota Solo pada 8 September 1948.
Tiga atlet terbaik di PON Solo 1948 mewakili Indonesia ke Helsinki. Mereka adalah Sudarmodjo (lompat tinggi), Thio Ging Hwie (angkat besi), dan Suharko (renang). Hingga Olimpiade Tokyo 2020, atlet-atlet Indonesia mendapat kesempatan berlaga di kejuaraan olahraga dunia tersebut.
Buah dari pembinaan atlet adalah diperolehnya medali pada Olimpiade. Sejarah mencatat di Olimpiade Seoul 1988, tiga pemanah puteri yaitu Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani berhasil meraih medali perak. Perlahan tapi pasti, Indonesia memasuki era medali emas di Olimpiade Barcelona 1992.
Dari sini terlihat, tercapainya prestasi olahraga di tingkat dunia tidak terlepas dari pembinaan berjenjang yang dimulai dari daerah. Karenanya, menyiapkan atlet-atlet berbakat juga harus dimasukkan dalam skema jangka panjang pembiaan dan pengembangan atlet.
Pekan Olahraga Nasional menjadi salah satu pintu masuk seleksi dan pembinaan atlet-atlet muda berbakat di seluruh Indonesia. Sebelum berlaga di PON, atlet-atlet muda daerah diseleksi melalui Porkab dan Porda di masing-masing kabupaten/kota dan provinsi. Dengan sistem ini, harapannya akan muncul atlet-atlet terbaik dari seluruh wilayah di Tanah Air untuk bertanding di level nasional.

Trio pemanah Indonesia (dari kiri) Lilies Handayani, Nurfitriyana, dan Kusuma Wardhani meraih medali perak di Olimpiade Seoul, Korea Selatan (18/9/1988). Indonesia untuk pertama kalinya meraih medali dalam 36 tahun keikutsertaan sejak Olimpiade Helsinki 1952.
Pola seleksi dan pembinaan atlet ini menjadi titik ideal pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Namun, kondisi ideal ini memerlukan syarat dukungan dari berbagai aspek mulai dari fasilitas, manajemen seleksi, rutinitas kompetisi, hingga dukungan pendanaan olahraga. Sayangnya belum semua syarat tersebut terpenuhi.
Webinar tentang Desain Besar Olahraga Nasional pada 9 September 2021 menyebutkan keterbatasan dukungan dana, kurangnya sumber daya manusia bidang olahraga, serta belum optimalnya dukungan regulasi dan pemerintah daerah merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pengembangan olahraga nasional.
Dari aspek fasilitas olahraga, Indonesia belum memiliki sentra latihan nasional berstandar internasional. Sarana dan prasarana yang ada baru semacam Sekolah Olahraga (SKO) dan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP).
Demikian pula dengan dukungan regulasi dan anggaran Negara. Minimnya anggaran ini terlihat dari total anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga yaitu sebanyak 1,18 triliun pada 2020, yang nilainya tidak sampai satu persen dari total anggaran negara.
Indonesia perlu berbenah untuk meningkatkan prestasi olahraga. Pemerintah Indonesia pernah melakukan langkah besar untuk memajukan prestasi olahraga nasional. Presiden Soekarno membangun kompleks olahraga Gelora Bung Karno saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Hal yang sama juga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan membangun Sekolah Olahraga Ragunan.

Kesejahteraan atlet
Warisan pembangunan olahraga ini dapat diteruskan dengan lebih banyak menyediakan sekolah olahraga yang dapat menampung lebih banyak jumlah atlet muda yang dibina termasuk meningkatkan jumlah pelatih dan tenaga olahraga.
Tidak kalah penting adalah menambah kompetisi kejuaraan cabang olahraga. Hal ini perlu dilakukan untuk melengkapi kompetisi multi event seperti PON. Fokus menggelar kejuaraan pada suatu cabang olahraga dapat membantu pemantauan atlet-atlet muda berbakat secara lebih spesifik. Selain itu gelaran kompetisi yang banyak dan teratur dapat membuat prestasi atlet semakin terasah.
Baca juga: PON XX, Momentum Jaga Pertumbuhan Ekonomi dan Olahraga Papua
Di luar penyediaan fasilitas pembinaan dan kejuaraan, faktor kesejahteraan atlet juga merupakan hal dasar yang harus dibenahi. Tanpa dukungan kesejahteraan, pembinaan olahraga berpotensi terjebak pada diktum prestasi yang kemudian hanya bermuara pada adu strategi meraih puncak posisi di PON. Dalam konteks ini, kekhawatiran yang muncul adalah fenomena pembajakan atlet dari satu daerah oleh daerah lain demi mengejar prestasi.
Padahal hakikat penyelenggaraan PON adalah evaluasi terhadap pembinaan keolahragaan nasional. Pembinaan olahraga berjenjang dan kompetitif dapat mengangkat citra bangsa di mata dunia. Kelanjutan pembinaan atlet secara merata dapat menjamin bernjutnya tradisi prestasi dan rekor PON yang dalam jangka panjang menjadi investasi kehormatan bangsa di kancah olahraga dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kesejahteraan Atlet dan Mantan Atlet Tanggung Jawab Siapa?