PON semestinya menjadi wadah mematangkan atlet daerah sebelum berkembang menjadi atlet nasional dan mengejar prestasi internasional. Realitasnya, PON justru kerap menjadi panggung atlet elite demi pestasi instan daerah.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·3 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tim sepak takraw putri Provinsi Sulteng berlatih tanding dengan salah satu klub takraw putra di gelanggang olahraga di Palu, Sulteng, Kamis (10/9/2021). Latihan itu bagan dari persiapan mereka menghadapi PON Papua.
JAKARTA, KOMPAS - Pekan Olahraga Nasional (PON) sejatinya harus menjadi bagian integral dalam pengembangan olahraga di Indonesia. Namun, tujuan itu mulai melenceng seiring tidak adanya penegasan fungsi ajang tersebut dan banyaknya daerah yang ingin cara instan dalam mengejar prestasi demi gengsi.
PON semestinya menjadi wadah mematangkan atlet daerah sebelum berkembang menjadi atlet nasional dan merangkak mengejar prestasi internasional. Hal itu disampaikan Richard Sam Bera, mantan perenang nasional sekaligus olimpian, pada diskusi daring menyambut PON Papua, Jumat (17/9/2021).
”Dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), Menpora (Zainudin Amali) sudah menetapkan target prestasi tertinggi Indonesia adalah di Olimpiade. Maka, PON seharusnya menjadi titik awal untuk mengejar target tersebut,” ujar Richard.
Namun, sejauh ini, Richard menganggap PON masih belum menunjang program elite pembinaan olahraga nasional. Pada beberapa momen, PON justru menghambat program elite itu. Sebagai contoh, PON digelar di tahun yang sama dengan Olimpiade. Jadi, tak sedikit atlet nasional dihadapkan pilihan antara mengikuti PON atau Olimpiade.
Akan tetapi, dengan adanya tawaran insentif finansial dari daerah, tak sedikit atlet nasional lebih memilih fokus tampil di PON. Padahal, Olimpiade adalah gelaran paling bergengsi bagi semua atlet sejagat. ”Maka, perlu diatur ulang agar PON bisa menjadi bagian penting dalam pengembangan prestasi olahraga Indonesia, terutama menuju Olimpiade,” kata Richard.
Agar PON menjadi bagian anak tangga atlet menuju prestasi internasional, lanjut Richard, ajang olahraga nasional itu mesti memberikan kesempatan lebih banyak kepada atlet muda atau yang belum bergabung dengan pelatnas. Caranya, antara lain, melakukan pembatasan usia atau partisipasi atlet.
”Misalnya, kalau ada atlet yang telah dua kali tampil di PON, mereka tidak usah lagi ikut di PON selanjutnya. Intinya, kalau atlet sudah juara internasional atau juara dunia, tidak usah lagi mereka ikut PON karena tidak lagi relevan,” tuturnya.
Richard berharap paradigma itu dimiliki semua pengurus cabang olahraga yang ikut serta di PON. Tujuannya agar PON menjadi wadah regenerasi atlet dari cabor masing-masing.\'
KOMPAS/IDA SETYORINI
Richard Sam Bera, mantan perenang nasional sekaligus olimpian.
Adapun Kurniawan, atlet karate Papua, berharap PON bisa menjadi batu loncatannya ke pelatnas dan tampil di kejuaraan internasional. Maka, di PON Papua, ia bakal berusaha meningkatkan prestasinya, yaitu mengejar medali emas.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal II Bidang Hukum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat Othniel Mamahit berkata, spirit PON sebagai akar rumput pembinaan olahraga nasional mulai memudar seiring maraknya daerah merekrut atlet-atlet elite dari daerah lain. Tujuannya adalah untuk mengejar prestasi instan demi gengsi antardaerah.
Kalau atlet sudah juara internasional atau juara dunia, tidak usah lagi mereka ikut PON karena tidak lagi relevan. (Richard Sam Bera)
Bak gayung bersambut, tak sedikit atlet yang tertarik pindah daerah karena alasan pembinaan dan kesejahteraan yang tidak terpenuhi di daerah asalnya. Secara tak langsung, fenomena itu menghambat pembinaan atlet. Otoritas olahraga di daerah cenderung mengandalkan atlet elite ketimbang atlet muda.
”Selama ini, daerah kurang perhatian ke pembinaan atlet di daerahnya. Mereka baru mau menggelontorkan anggaran jelang PON. Tak ingin itu sia-sia, mereka mengambil atlet yang sudah punya rekam jejak prestasi dari daerah lainnya. Otomatis, perkembangan atlet muda jadi terhambat,” ujar Othniel.