Perkuat Pembinaan demi Kesejahteraan Atlet
Tanpa pembinaan olahraga yang memadai, akan banyak atlet yang kehilangan peluang untuk berprestasi dan hidup lebih sejahtera.
Beragam kebijakan pembinaan atlet Indonesia yang telah dijalankan selama ini dirasa belum optimal. Membenahi dan meningkatkan kualitas pembinaan atlet mutlak dilakukan untuk mendongkrak prestasi Indonesia dan menyejahterakan para atlet.
Keberhasilan seorang atlet bukan hanya diperoleh dari bakat saja, melainkan juga pembinaan dan pengelolaan atlet yang baik. Dengan kombinasi itu, atlet mampu berprestasi dan mencapai tujuan tertingginya, yaitu menjadi juara di dalam setiap kompetisi.
Tentunya, hal itu tercapai berkat upaya pembinaan dan pengelolaan atlet yang baik oleh pemerintah. Sebab, pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan penyedia dana terbesar pembinaan atlet menentukan ekosistem pembinaan dan pengelolaan atlet di negaranya.
Di sisi lain, prestasi bukan hanya tujuan satu-satunya dari upaya pembinaan dan pengelolaan atlet. Dengan meningkatnya prestasi, peluang atlet hidup sejahtera semakin tinggi. Sebab, sebagai penghargaan atas prestasinya, atlet akan mendapatkan bonus, hadiah, maupun tunjangan dari pemerintah dan pihak-pihak lainnya yang dapat menjadi bekal masa depannya.
Kesadaran akan pentingnya pembinaan dalam menentukan prestasi dan kesejahteraan para atlet ini terekam dalam survei Kompas tentang Kesejahteraan Atlet dan Mantan Atlet Indonesia pada 1-10 September 2021. Sebanyak 21,5 persen responden yang terdiri dari atlet dan mantan atlet mengharapkan perbaikan pembinaan dan peningkatan pendanaan dari pemerintah demi kesejahteraan para atlet.
Harapan tersebut disuarakan bukan tanpa dasar. Melihat pengalaman dan kerabat atlet selama ini, mereka merasa pembinaan yang dilakukan pemerintah belum optimal. Hal ini diungkapkan 55,8 persen responden atlet dan mantan atlet.
Buah dari pembinaan yang kurang optimal itu tidak hanya dirasakan oleh para atlet dan mantan atlet saja. Dampak jangka panjangnya tecermin dari prestasi olahraga Indonesia dalam beberapa ajang kompetisi multi-olahraga internasional yang cenderung stagnan bahkan menurun.
Sebagai contoh, dalam SEA Games yang diikuti negara-negara Asia Tenggara, dominasi Indonesia mulai pudar pada era 1990-an. Sejak 1999, Indonesia melepaskan peringkat dua teratas yang sebelumnya selalu dipertahankan. Hanya pada 2013, Indonesia berhasil meraih peringkat pertama saat menjadi tuan rumah SEA Games 2013.
Demikian pula pada ajang Asian Games. Sejak 1994, Indonesia hampir selalu menempati peringkat 10 ke atas. Hanya pada Asian Games 2018 ketika Indonesia menjadi tuan rumah, tim Indonesia meraih peringkat ke 4. Padahal dalam 11 kali keikutsertaan Indonesia pada Asian Games periode 1951-1990, Indonesia berada di jajaran 10 besar peringkat teratas selama sembilan kali.
Problem laten
Dengan gambaran tersebut, pembenahan dan peningkatan pembinaan atlet tidak dapat lagi ditunda. Meskipun selama ini program pembinaan sudah berjalan, butuh perubahan dan perombakan demi menemukan strategi yang efektif dan optimal. Sebab, permasalahan pembinaan selama ini selalu berkutat pada hal-hal yang sama seolah menjadi siklus yang tidak terputus.
Hal ini dilihat dari hal yang paling mendasar, yaitu penjaringan dan pembinaan bibit-bibit atlet yang berimbas pada terganggunya regenerasi atlet. Selama ini, regenerasi atlet, baik di cabang olahraga prioritas maupun cabang olahraga lainnya tidak dilakukan dengan optimal. Regenerasi cenderung terlambat sehingga terjadi jarak cukup jauh antara atlet senior dan yunior. Pada jarak itulah, sering terjadi kemerosotan prestasi.
Dalam hal ini Indonesia sebenarnya sudah modal untuk mencetak atlet-atlet penerus melalui pusat-pusat latihan, sekolah atlet, maupun klub olahraga. Tidak hanya pemerintah, pihak swasta juga membuka peluang talenta-talenta muda untuk dididik dan dibina menjadi atlet profesional.
Hanya saja tidak setiap pusat pelatihan, sekolah atlet, atau klub tersedia untuk setiap cabang olahraga dan di setiap daerah. Upaya ini pun terkendala sulitnya menemukan atlet penjaringan bibit atlet karena kurangnya kompetisi di beberapa cabor.
Meski tidak dapat dibandingkan, Indonesia dapat mengambil contoh keberhasilan dari sistem pembinaan berjenjang yang dilakukan China. Melalui sekolah-sekolah olahraga, China mampu menjaring dan membina para calon atlet berbakat sejak dini. Dengan sistem yang tidak terputus, para calon atlet tersebut terus dilatih dan dipantau hingga menjadi atlet elite.
Kesuskesan pembinaan dan pengelolaan atlet tidak hanya bergantung pada sistem semata. Ketersediaan sarana dan prasarana serta pelibatan sport science juga menentukan keberhasilan pembinaan. Hal ini juga menjadi harapan 9,1 persen responden survei Kompas untuk kesejahteraan atlet saat ini.
Pusat pelatihan nasional atau Training Camp yang termasuk dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) memang menjanjikan penyediaan sarana prasarana yang lengkap dengan sport science. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa permasalahan sarana dan prasarana olahraga terus menjadi isu laten setiap tahunnya. Di sejumlah daerah, bahkan di wahana olahraga milik pemerintah, sarana prasarana olahraga masih kurang, terbengkalai, atau tidak dilakukan pemeliharaan.
Kondisi tersebut sempat ditemukan di salah satu sudut Stadion Mattoangin, Makassar, yang pernah menjadi tempat latihan lifter kelas 73 kg, Rahmat Erwin Abdullah. Selain itu, kondisi memprihatinkan juga tampak pada asrama Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Dayung Sulawesi Utara.
Dalam pembinaan, Indonesia juga tertinggal dalam hal sport science. Padahal pembinaan berdasarkan data dan keilmuan yang saintifik dapat memetakan kekuatan dan kelemahan atlet. Sport science juga dapat digunakan untuk memonitor pelatihan, perencanaan program, identifikasi bakat dengan lebih efektif dan terukur. Sejumlah negara yang intensif menggunakan sport science, seperti Jerman, China, Korea Selatan, dan Australia, berhasil meningkatkan prestasi olahraganya.
Pendanaan
Banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait pembinaan atlet menuntut dukungan pendanaan lebih besar. Sebab, keberhasilan program pembinaan atlet juga bergantung pada besaran dan alokasi anggaran dari pemerintah. Upaya ini telah terbukti berhasil di sejumlah negara seperti Inggris dan China.
Sementara di Indonesia, dukungan pendanaan bagi pengembangan atlet dan olahraga masih minim. Dilihat dari persentase APBN, anggaran olahraga Indonesia hanya 0,08 persen.
Jangankan dibandingkan dengan China dan Inggris yang menempati panggung olahraga dunia tertinggi, melihat anggaran olahraga negara-negara tetangga saja Indonesia masih kalah jauh. Australia, Thailand, dan Singapura memiliki anggaran olahraga masing-masing 0,1 persen, 0,2 persen, dan 4,2 persen dari pendapatan negara.
Baca juga : Suara Atlet Indonesia Perihal Kesejahteraan
Terkait dengan pendanaan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengelolaannya agar efektif untuk meningkatkan prestasi atlet dan olahraga Indonesia. Mencontoh dari China dan Inggris, strategi pengelolaan pendanaan yang dapat diterapkan adalah dengan memberikan pendanaan pada olahraga-olahraga yang berpotensi meraih prestasi.
Tidak hanya dilihat dari peluang mendapatkan prestasi tertinggi (medali emas), tetapi juga banyaknya medali yang mampu didapatkan. Namun, tentunya pendanaan juga tidak mengabaikan cabang olahraga lainnya.
Demi kesejahteraan
Dari semua itu, dapat disimpulkan bahwa tepat jika suara para atlet dan mantan atlet, yakni memperbaiki dan meningkatkan pembinaan atlet beserta pendanaannya, perlu segera dilakukan. Pemerintah yang telah menyadari problem ini berupaya memperbaikinya melalui Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) dan RUU Sistem Keolahragaan Nasional (RUU SKN).
Melalui DBON ini, pemerintah berjanji akan mengatur peningkatan prestasi dari hulu ke hilir. Para atlet nantinya akan dibina secara berjenjang dan tidak terputus. Selain itu, pembinaan berkelanjutan diharapkan akan menjaring atlet-atlet pelapis untuk regenerasi atlet. Pusat pelatihan di tingkat nasional atau training camp akan dibangun di Cibubur, Jakarta Timur, dengan sarana-prasarana serta sport science lengkap.
Kiranya upaya perbaikan pembinaan itu tidak hanya menjadi rencana tanpa aksi nyata. Tanpa pembinaan baik mulai dari akarnya, yaitu di level daerah, akan banyak atlet yang kehilangan peluang untuk berprestasi. Dengan demikian, makin banyak pula atlet kehilangan peluang untuk hidup lebih sejahtera. (LITBANG KOMPAS)