Kompleksitas Masalah Kesejahteraan Pesepak Bola Indonesia
Meskipun dikontrak dengan gaji tinggi, para pesepak bola Indonesia cemas menghadapi masa depan, terutama saat cedera. Hanya 20 persen dari 42 klub di Liga 1 dan Liga 2 yang memberikan asuransi kesehatan dan kecelakaan.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA
Pemain timnas sepak bola Indonesia U-22, Andy Setyo Nugroho, berlatih secara khusus setelah mengalami cedera, saat latihan menjelang pertandingan final Piala AFF U-22 di Stadion Nasional Olimpiade, Phnom Penh, Kamboja, Senin (25/2/2019). Cedera menjadi momok bagi para pemain sepak bola profesional, apalagi jika mereka tidak dilindungi asuransi kesehatan dan keccelakaan kerja.
JAKARTA, KOMPAS - Di balik ingar-bingar kehidupan mewah para pesepak bola nasional, sejatinya mereka masih dibayangi masalah kesejahteraan ketika gantung sepatu. Profesionalisme klub yang belum ideal dalam memenuhi hak pemain, kesadaran pemain yang buruk dalam memahami pengelolaan finansial, hingga minimnya perhatian pemerintah, menjadi “labirin” yang mengancam seniman lapangan hijau mengalami masalah keuangan di hari tua.
Meskipun memberikan pemain nilai kontrak ratusan juta hingga miliaran rupiah per musim, mayoritas klub di kompetisi profesional Indonesia, yaitu Liga 1 dan 2, belum memberikan hak pemain sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Hal itu utamanya berkaitan dengan asuransi atau jaminan kesehatan. Padahal, pesepak bola adalah profesi yang amat rentan mengalami cedera yang bisa membuat atlet tersebut absen dalam waktu lama.
Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) Firman Utina mengungkapkan, hanya sekitar 20 persen dari 42 tim Liga 1 dan 2 yang peduli dengan keselamatan para pemainnya dengan menyertakan polis asuransi dalam klausul kontrak. Artinya, hanya belasan klub yang melindungi anggota skuadnya apabila mengalami cedera, baik saat latihan atau berlaga di pertandingan. Klub-klub itu, lanjut Firman, adalah tim yang memiliki manajemen baik, di antaranya Borneo FC, Persija Jakarta, dan Persib Bandung.
“Masih banyak pemain yang belum dilindungi asuransi oleh tim yang sejatinya penanggung jawab para pemain itu. Dengan kenyataan itu, kami selalu mengingatkan kepada seluruh pemain untuk cermat dan teliti sebelum menandatangani kontrak. Jangan hanya lihat nilai kontraknya yang besar. Hak-hak mereka juga harus terjamin dengan baik,” ujar Firman, pekan lalu.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Zulham Zamrun, yang pernah membela tim nasional sepak bola Indonesia, menjalani fisioterapi untuk pemulihan cedera ligamen bagian depan saat membela Persib Bandung pada 2016 silam. Cedera dan ketiadaan asuransi dari klub menjadi momok bagi para pemain sepak bola profesional di Tanah Air selama ini.
Selain itu, mayoritas klub profesional di Tanah Air masih mengalami masalah laten dalam sepak bola Indonesia, yakni finansial yang belum mumpuni untuk mengarungi kompetisi. Beberapa tim memang telah memiliki dana yang cukup untuk satu musim, tetapi klub-klub lainnya masih berharap kedatangan sponsor di tengah kompetisi untuk memenuhi kebutuhan operasional tim dalam semusim.
Akibatnya, lanjut Firman, hal itu menjadi awal hadirnya kasus penunggakan gaji pemain yang selalu hadir di setiap tahun.
Jaminan hari tua
Sebagai pemain yang masih aktif, kiper Persija Jakarta, Andritany Ardhiyasa, mengharapkan ada peran pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak para atlet. Ia mengakui, sejumlah rekannya sesama pesepak bola belum memiliki keistimewaan yang didapatkannya dari Persija, yaitu asuransi kesehatan.
Andritany juga meminta para pemangku kepentingan bisa memerhatikan nasib para atlet agar tidak merasa disanjung di puncak karier, kemudian dilupakan ketika telah pensiun. Atas dasar itu, Andritany berharap adanya jaminan hari tua yang bisa membuat para atlet, seperti pesepak bola, memiliki masa pensiun yang sejahtera secara finansial.
KOMPAS/Adrian Fajriansyah
Kiper Andritany Ardhiyasa, yang membela klub Persija Jakarta, beristirahat seusai menjalani program pemusatan latihan timnas sepak bola Indonesia di Stadion Madya Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
“Kami berharap ada aturan mengenai jaminan hari tua kepada atlet agar bisa menjalani kehidupan yang baik dan layak setelah tidak lagi menjadi atlet,” tutur Andritany yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden APPI.
Firman mengungkapkan, beberapa pemerintah daerah (pemda) memerhatikan nasib para pesepak bola dengan menawarkan pemain menjadi aparatur sipil negara di pemerintah kota atau kabupaten asal daerah klub itu. Hal itu, tambah Firman, dialami sejumlah rekan setimnya di Persita Tangerang seusai menjadi finalis di Liga Indonesia 2002.
Kami menginginkan kesejahteraan tidak hanya dirasakan atlet, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Kami juga meminta kepada pemerintah agar kita bisa membekali hari tua atlet. (Hetifah Sjaifudian, Komisi X DPR)
Meski begitu, Firman berharap ada aturan yang baku dan mengikat kepada pemda agar perhatian kepada atlet, terutama pesepak bola, bisa merata dirasakan di seluruh Indonesia.
“Kami mendambakan ada sistem yang dapat membantu pemain mempersiapkan diri jelang pensiun, misalnya pendidikan kepegawaian atau pelatihan wirausaha. Jadi, kami ingin pemerintah melindungi para atlet dengan memberikan kesempatan karier setelah pensiun yang sesuai dengan kemampuan mereka,” ucap Firman yang gantung sepatu usai membela Kalteng Putra di Liga 2 2018.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengungkapkan, pihaknya menjadikan masalah kesejahteraan atlet sebagai salah satu prioritas pembahasan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (RUU SKN). Dalam sejumlah pasal yang diusulkan DPR kepada pemerintah, tambah Hetifah, terdapat aturan mengenai kesejahteraan atlet dan keluarga, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua.
“Kami menginginkan kesejahteraan tidak hanya dirasakan atlet, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Kami juga meminta kepada pemerintah agar kita bisa membekali hari tua atlet, seperti dengan menjadi aparatur sipil negara dan memberikan kesempatan sekolah kepada mereka karena karier atlet berakhir ketika masih berada di usia produktif,” tutur Hetifah.
Demi bisa mewujudkan itu, Panitia Kerja RUU SKN Komisi X DPR mengusulkan agar pemerintah meningkatkan anggaran pembinaan olahraga sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) per tahun. “DPR berharap seluruh pihak, terutama Kementerian Keuangan, untuk memberikan perhatian kepada olahraga. Hal itu demi meningkatkan prestasi olahraga serta menarik minat lebih banyak generasi muda untuk berkarier sebagai atlet,” ucapnya.
Surat Presiden mengenai RUU SKN pun telah diterima DPR. Komisi X DPR menargetkan bisa merampungkan pembahasan RUU SKN pada akhir tahun ini.