Karni Ingin Beli Sapi untuk Hari Tua
Hiruk pikuk apresiasi bagi atlet berprestasi di kancah internasional dewasa ini berbeda dengan puluhan tahun lalu, apalagi untuk cabang olahraga yang tak begitu populer. Perbedaan itu dialami Karni, mantan atlet dayung.
Bulir keringat menempel di wajah Karni (53) sore itu, Jumat (10/9/2021), saat ia baru tiba di rumahnya dengan ukuran sekitar 16 meter x 6 meter di Dukuh Mogo, Desa Purwosari, Kecamatan Blora. Badannya tegap. Mantan atlet nasional dayung itu habis berbincang dengan tetangganya yang meminta merapikan tanaman depan rumah. Ia menyanggupi.
"Buat tambah-tambah pemasukan. Sebab, sekarang ya gali lubang tutup lubang karena ada utang di bank, juga di saudara," ujar Karni yang sejak 1998 menjadi tenaga honorer di bawah Pemerintah Kabupaten Blora sebagai penjaga kolam renang. Selain itu, ia juga masih nyambi menjadi buruh tani.
Baca juga: Dayung Tinggal Berharap dari Rowing
Setiap hari kecuali Senin, yaitu saat libur, Karni bertugas menjaga Kolam Renang Tirtonadi Blora. Hal itu dilakukan dari pagi hingga sore, termasuk menyapu di sekitar kolam renang . Namun, selama pandemi, lantaran kolam renang tutup, ia hanya bertugas dari sekitar pukul 05.00 hingga 06.30. Setelah itu, ia beraktivitas di sawah sebagai buruh tani.
Karni merupakan salah satu anggoa tim Indonesia yang menyumbang 3 medali emas dan perak pada Kejuaraan Perahu Naga Dunia 1996 dan SEA Games 1997 Jakarta. Pada dua event tersebut, Karni menjadi pedayung perahu naga. Sementara pada sempat ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diikutinya, ia memperkuat Jawa Tengah pada nomor kayak.
Namun, pencapaian pada 1996 dan 1997 tidak menjamin masa depan Karni. Gaji yang diterimanya setiap bulan, yaitu Rp 1,3 juta, nyaris semua dipakai untuk membayar utang di bank. Lalu, untuk kebutuhan sehari-hari, ia mengandalkan penghasilan sebagai buruh tani, yakni Rp 50.000 per hari. Itu pun tidak setiap hari.
Karni tak tenang karena lima tahun lagi ia memasuki usia pensiun. Sebagai tenaga honorer, ia dipastikan tak mendapat uang pensiun. "Kalau ada rezeki, saya ingin beli sapi pas sudah pensiun. Sekalian untuk olahraga, cari rumput. Karena saya bisanya ya memang seperti itu atau bertani," kata Karni.
Saat ini, hal yang paling dipikirkannya ialah sisa utang Rp 15 juta kepada saudaranya. Membesarkan anak semata wayang seorang diri sejak lahir, ia kerap meminjam uang untuk segala kebutuhan, termasuk pada saudaranya. Putranya, Mahmud Lo David (22), kini sudah bekerja. Akan tetapi, gajinya tiap bulan juga digunakan untuk menutupi utang di bank.
Tak lulus SD
Karni, yang lahir di Blora, 1 Januari 1968, sudah merasakan hidup sulit sejak kecil. Ayah dan ibunya juga merupakan buruh tani. Ia sempat mengeyam pendidikan hingga kelas 2 SD, tetapi tidak lulus. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja sebagai buruh tani di Tempuran, Blora. Mulai dari menanam benih hingga memanen dikerjakannya.
Ia juga terbiasa memikul gabah dan kayu bakar, lalu berjalan belasan hingga puluhan kilometer. Kondisi fisik yang dinilai bagus itu membuat ia diajak oleh salah satu temannya yang memang sudah menjadi atlet dayung. Adapun Waduk Tempuran di Blora memang menjadi tempat utama latihan cabang di dayung di kabupaten itu.
Awalnya, ia menolak karena masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta pada usia 14-16 tahun. "Baru setelah itu, sekitar usia 17-18 tahun, saya bergabung. Ternyata lanjut terus, mulai dari mewakili Blora, Jateng, hingga terpilih pelatnas pada 1996-1997," ucap Karni.
Medali-medali yang dihasilkannya selama mengikuti berbagai event olahraga dayung, baik nasional maupun internasional, hingga kini masih tersimpan di lemari di rumahnya. Begitu juga sejumlah piagam dan kartu identitas event. Meski karier di pelatnas hanya 1996-1997, ia mengikuti lima edisi PON dan selalu menjadi andalan Jateng.
Karni ingat betul betapa bangganya setelah bisa dipanggil pelatnas. Namun, jika ditanya momen paling berkesan, bukanlah Kejuaraan Dunia Perahu Naga 1996 atau SEA Games 1997, melainkan salah satu ajang PON, tetapi ia lupa tepatnya. "Kalau PON, saya di nomor kayak. Satu perahu berdua. Waktu itu, kami akhirnya meraih perak dan ngalahin Sulawesi Tenggara yang terkenal susah dikalahkan," jelasnya.
Namun, ia menekuni olahraga saat ada panggilan saja, baik dari daerah, provinsi, atau nasional. "Kalau sedang tidak ada apa-apa, ya kembali lagi menjadi buruh tani. Memang dari dulu seperti itu. Memang dari kecil pekerjaannya di sawah. Baru sejak 1998 jadi honorer jaga kolam renang. Tapi, buruh tani tetap untuk sampingan," katanya.
[embed]https://youtu.be/RcpLJw2x_cg[/embed]
Bonus tidak besar
Apresiasi kepada atlet berprestasi, terutama bukan cabang olahraga populer, tidak semegah sekarang. Karni misalnya, yang turut berkontribusi menyumbang tiga emas dan satu perak pada nomor perahu naga di SEA Games 1997, hanya mendapat bonus Rp 5 juta untuk setiap medali emas yang diraihnya. Adapun satu perak dihargai bonus Rp 500.000.
Dari Rp 15 juta (tiga emas), ia awalnya hanya diberi langsung Rp 3 juta. "Rp 12 juta katanya diasuransikan. Jadi, baru saya terima pada 2003, lalu saya belikan tanah," kata Karni.
Pada Kejuaraan Dunia Perahu Naga 1996, menurutnya, ia dijanjikan Rp 1 juta. Namun, yang diterimanya hanya Rp 500.000. Sementara untuk level PON, nilainya lebih rendah lagi. Bahkan ia pernah tidak mendapat sama sekali bonus.
Karni mengaku tidak masalah dengan apresiasi atau bonus yang diterimanya saat ini. "Saat tidak ada bonus, ya memang tidak ada. Mau ke protes ke siapa juga kan tidak bisa. Selain itu, bonus kan bukan tujuan utama. Ikut bertanding dan menang saja sudah senang. Alhamdulillah, saya syukuri berapapun yang didapat," ucapnya.
Satu waktu, Karni juga pernah mendapat bantuan untuk rehabilitasi rumah dari pemerintah pusat sebesar Rp 100 juta. Adapun saat ini beberapa bagian di rumahnya masih perlu perbaikan. Pada genting misalnya. Rumahnya terlihat tanpa langit-langit. Plastik putih dibentangkan untuk menampung hujan karena genting bocor.
Baca juga: Honor Atlet Dayung Terlambat Lima Bulan
Karni memang tidak selesai sekolah. Namun, ia tak ingin hal sama terjadi pada anaknya, Mahmud Lo David (22), sehingga ia menyekolahkan anaknya hingga tamat Sekolah Menengah Kejuruan. Ia juga berpesan kepada para atlet untuk tetap menempuh pendidikan formal, sehingga bisa lebih baik dalam menyiapkan masa depan.
Masalah administrasi
Kepala Dinas Kepemudaan, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Blora, Slamet Pamuji, menuturkan, saat aturan pengangkatan sebagai PNS masih mudah, Pemkab hendak memfasilitasi Karni. Namun, upaya itu terkendala persyaratan administrasi karena ia tak memiliki ijazah. Pemkab lantas menjadikannya tenaga honorer hingga saat ini.
Dalam perkembangannya, Karni mengikuti ujian kesetaraan hingga akhirnya memiliki ijazah SD, sekitar 2008. "Namun, saat itu sudah tak semudah sebelumnya. Terkendala usia dan lainnya. Bagaimanapun, mbak Karni ataupun para mantan atlet, apalagi yang berprestasi, kami perhatikan," ujar Pamuji.
Tenaga honorer, menurut rencana, dihapus pada 2023. Yang diperbolehkan adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Persyaratannya pun mirip dengan PNS. Pamuji menuturkan, belum tahu pasti bagaimana nasib mantan atlet atau atlet yang menjadi honorer ke depan, apakah dijadikan outsourcing atau solusi lainnya.
"Yang jelas, kami sebisa mungkin merekomendasikan atlet berprestasi, misalnya ditampung beberapa BUMD yang mau terima, meski tentu persyaratannya tidak sederhana. Kalau masih muda, kami carikan untuk mendapat sekolah lebih mudah. Kami pasti akan tetap beri reward kepada mereka," lanjutnya.
Pamuji mengatakan, pihaknya mendorong agar atlet bisa mengelola keuangan dengan baik, termasuk dari bonus-bonus yang diterima. Tak kalah penting yakni pendidikan formal. Atlet harus memikirkan juga masa depan atau setelah melewati usia kejayaan. Pemkab Blora terus berupaya mencarikan beasiswa agar atlet menempuh pendidikan formal.
Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Blora Heri Sutiyono menuturkan, masa apresiasi pada setiap atlet berbeda-beda. Ia menilai, apa yang sudah dilakukan Pemkab Blora dengan menjadikan Karni sebagai tenaga honorer sejak 1998 hingga sebenarnya sudah cukup baik. Sejumlah fasilitas dan bantuan lain juga sudah diberikan.
Menurutnya, bagaimanapun, motivasi dalam diri atlet untuk memikirkan masa depan juga sangat menentukan. "Sebab, semua ada masanya. Harus dipikirkan sejak lama. Di sisi pemerintah, mungkin juga mesti pandai-pandai mengarahkan, misalnya berwirausaha. Di samping itu, pendidikan formal juga penting," kata Heri.
Heri mengatakan, apresiasi dan perhatian pada atlet berbeda antara dulu dan sekarang. Tidak hanya dari pemerintah daerah, provinsi, maupun pusat, kini instansi-instansi lain pun turut terbuka memfasilitasi atlet-atlet berprestasi, terlebih yang berhasil membawa nama Indonesia di dunia internasional.
"Dengan banyaknya perhatian seperti itu, sekarang, prestasi itu menjadi profesi. Saya pikir, ini harus tertanam dalam pikiran para atlet sebagai motivasi untuk meraih prestasi. Di samping itu, pembinaan di daerah juga menentukan. Cabang-cabang olahraga yang betul-betul memahami pembinaan untuk para atletnya," ucap Heri.