Paralimpiade Tokyo 2020 Jadi Capaian Terbaik Indonesia
Paralimpiade Tokyo 2020 menjadi tonggak kebangkitan Indonesia. Namun, perlu dukungan kuat pemerintah daerah agar lonjakan perstasi itu bisa terus dijaga, bahkan ditingkatkan.
JAKARTA, KOMPAS – Selang 41 tahun, kontingen Indonesia kembali meraih emas di Paralimpiade. Bahkan, prestasi di Paralimpiade Tokyo 2020 menjadi yang terbaik sejak pertama ikut pada Paralimpiade Toronto 1976.
Namun, kebangkitan dari tidur panjang ini jangan sampai membuai. Regenerasi atlet harus menjadi perhatian utama agar prestasi terus bertahan dan meningkat, bukan malah terlelap lagi.
”Ini kabar yang sangat, sangat, sangat, sangat menggembirakan. Sangat membanggakan kita semuanya. Setelah 41 tahun, kita bisa kembali meraih emas di Paralimpiade dan langsung dapat dua emas. Saya tidak bisa banyak komentar, sebab luar biasa sekali penampilannya baik ganda putri dan ganda campuran (dua nomor yang dapat emas),” ujar Presiden Joko Widodo saat berbicara dengan tim Indonesia melalui sambungan video, Minggu (5/9/2021).
Baca juga : Untaian Apresiasi Presiden Kepada Para Atlet
Indonesia mengumpulkan dua emas, tiga perak, dan empat perunggu dari Paralimpiade Tokyo. Rinciannya, dua emas dari ganda putri bulu tangkis SL3-SU5 Leani Ratri Oktila/Khalimatus Sadiyah dan ganda campuran SL3-SU5 Leani/Harry Susanto. Lalu, tiga perak dari tunggal putri SL4 Leani, tunggal putra SU5 Dheva Anrimusthi, dan angkat berat putri 41 kg Ni Nengah Widiasih.
Adapun empat perunggu didapat dari tunggal putra bulu tangkis SL4 Fredy Setiawan, tunggal putra SU5 Suryo Nugroho, tenis meja C10 individu David Jacobs, dan lari 100 meter T37 Sapto Yogo Purnomo.
Hasil itu membuat Indonesia berada di urutan ke-43 dunia. Capaian itu melebihi target yang dicanangkan Komite Paralimpiade (NPC) Indonesia, yakni satu emas, satu perak, tiga perunggu, serta berada di peringkat 60 besar dunia.
Secara keseluruhan, kontingen "Merah-Putih" mengakhiri paceklik emas usai terakhir diraih pada Paralimpiade Arnhem 1980. Kala itu, Indonesia mengumpulkan dua emas dan empat perak, serta berada di peringkat ke-28 dunia. Bahkan, raihan kali ini melebihi capai terbaik di Toronto, 45 tahun silam, yakni dua emas, satu perak, dan tiga perunggu, serta berada di urutan ke-26 dunia.
Pemerintah mendorong semua daerah untuk tidak lagi membedakan perhatiannya kepada olahraga disabilitas dan non-disabilitas. (Gatot Dewa Broto)
Ketua NPC Indonesia Senny Marbun ketika dihubungi, Minggu, mengatakan, prestasi itu menjadi bukti bahwa mereka memang manusia yang terbatas, tetapi selalu maksimal untuk mengharumkan nama bangsa dan negara. Capaian itu sekaligus buah dukungan penuh pemerintah pusat terkait kesetaraan atlet disabilitas dan non-disabiltas, mulai dari dukungan pelatihan, mengikuti kejuaraan internasional, bonus, dan pengangkatan menjadi PNS mulai 2016.
”Kami berharap semangat kesetaraan dari pusat itu bisa didengar dan diikuti oleh pemerintah daerah. Sampai sekarang, masih banyak daerah yang belum memberikan perhatian penuh kepada kelompok disabilitas, terutama akses dalam pembinaan olahraga. Kalau pembinaan di daerah optimal, regenerasi atlet pasti lancar dan kami lebih mudah mencari bibit baru,” kata Senny.
Masih ada disparitas
Senny menuturkan, saat ini, masih ada disparitas dalam pembinaan atlet di sebagian besar daerah. Para pemimpin daerah masih menganggap sebelah mata keberadaan atlet disabilitas. Dari 34 provinsi di Indonesia, baru 12 provinsi yang mengakui keberadaan NPC di daerahnya. Sisanya, 22 NPC lain, belum diakui. Mereka terancam tidak bisa mengikuti Pekan Paralimpiade Nasional (Perparnas) di Papua tahun ini.
Jika terus terjadi, hal itu bisa menghambat roda pembinaan atlet disabilitas. Dari 11 atlet peraih medali di Paralimpiade Tokyo, mayoritas sudah berusia di atas 30 tahun pada Paralimpiade Paris 2024. Tiga tahun lagi, Leani berusia 33 tahun, Hary 49 tahun, Ni Nengah 31 tahun, Fredy 32 tahun, dan David 47 tahun.
”Kami juga punya potensi untuk berkembang, sama dengan saudara-saudara non-disabilitas. Hanya saja, sering kali, kesempatan kami mengembangkan diri tidak diberikan. Sebagai contoh, akses kepada fasilitas umum, terutama di olahraga, belum tersedia untuk (penyandang) disabilitas. Belum lagi, masih banyak masyarakat yang meremehkan dan meledek kami. Ini sangat menghambat kami untuk muncul ke permukaan, termasuk bibit atlet baru,” tutur Senny.
Baca juga : Emas dari Hary dan Leani Menutup Kisah Manis Tim Indonesia
Menurut Senny, jika dukungan penuh pemerintah pusat bisa diimplementasikan merata di semua daerah, prestasi tinggi Indonesia di Paralimpiade bisa terus dipertahankan, bahkan menjadi lebih baik. Selain dari bulu tangkis, angkat berat, atletik, dan tenis meja, NPC Indonesia memiliki potensi besar merebut medali dari cabang olahraga menembak dan renang.
”Yang jelas, kami berkomitmen untuk menjaga prestasi ini dan tidak menyia-nyiakan kepercayaan pemerintah. Terbukti, walau kalah start pembinaan dari Thailand (meraih lima emas, lima perak, dan delapan perunggu di Paralimpiade Tokyo) dan Malaysia (tiga emas dan dua perak), kami yang mulai serius sejak 2011 (sejak terpisah dari KONI dan KOI) pelan-pelan mengejar mereka. Bahkan, sempat mengalahkan mereka di ASEAN Para Games 2014 dan 2017 (Indonesia menjadi juara umum),” tegasnya.
Perluas cakupan regenerasi
Menurut pengamat olahraga, Fritz E Simanjuntak, cakupan regenerasi atlet disabiltas perlu diperluas. Jadi, tidak cukup sebatas dilakukan di pusat, terutama di pemusatan latihan nasional di Solo, Jawa Tengah. Indonesia perlu sentra-sentra olahraga disabilitas yang tersebar di daerah. Jika pun bukan dalam bentuk sentra, minimal fasilitas olahraga umum bisa mudah diakses untuk kaum disabilitas.
Hal itu butuh penekanan dari pemerintah pusat ke daerah. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah pusat memberikan perhatian yang setara kepada pembinaan atlet disabilitas dan non-disabilitas. Tetapi, itu belum diikuti oleh sebagian pemda.
Terbukti, selain kurangnya perhatian kepada atlet, masih banyak fasilitas umum di daerah yang tidak ramah akan kaum disabilitas. ”Prestasi Indonesia di Paralimpiade Tokyo patut menjadi momentum untuk menggerakan semua lapisan masyarakat agar lebih adil kepada kaum disabilitas dalam segala aspek, terutama olahraga,” ujar Fritz.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto mengutarakan, lewat Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang direncanakan terbit pada peringatan Hari Olahraga Nasional, 9 September 2021 mendatang, pemerintah mendorong semua daerah untuk tidak lagi membedakan perhatiannya kepada olahraga disabilitas dan non-disabilitas.
”Dengan begitu, nantinya, tidak boleh ada lagi ketimpangan pembinaan atlet disabilitas dan nondisabilitas,” katanya.
Bagi Gatot, pola pembinaan atlet disabilitas justru bisa menjadi contoh atlet umum. Sejauh ini, NPC Indonesia melakukan pelatnas semua cabang secara terpusat di Solo yang terbukti efektif dalam kontrol dan evaluasi pengembangan atlet. Mereka pu bisa menggapai puncak di Paralimpiade Tokyo.
”Pola seperti inilah yang ideal. Untuk itu, dalam DBON, kami meniru pola itu (DI NPC) dengan membuat pelatnas untuk 14 cabang yang terpusat di Cibubur, Jakarta Timur (mulai beroperasi dua tahun lagi),” pungkasnya.