Perjuangan tanpa kenal lelah Leani Ratri dan rekan-rekannya di tim bulu tangkis Indonesia sukses mengantarkan kontingen Indonesia menciptakan prestasi bersejarah di Paralimpiade Tokyo 2020.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kontingen Indonesia bisa tersenyum lebar pada akhir pesta Paralimpiade Tokyo 2020. Total 23 atlet disabilitas yang membawa panji “Merah Putih” berhasil menembus target prestasi sekaligus memberi inspirasi. Di antara pencapaian itu, terdapat kontribusi besar dari tim bulu tangkis yang bersinar terang lewat perjuangan hebat atlet-atletnya.
Sebelum ajang disabilitas terbesar dimulai, Komite Paralimpiade Indonesia (NPC) menargetkan setidaknya 1 emas, 1 perak, dan 2 perunggu. Dengan raihan itu, tim “Merah Putih” diharapkan bisa menembus peringkat 60 besar.
Atlet-atlet terbaik Tanah Air nyatanya melampaui target itu. Setelah 41 tahun berpuasa medali emas Paralimpiade sejak Arnhem 1980, Indonesia meraup dua emas di Tokyo. Ditambah koleksi 3 perak dan 4 perunggu, Indonesia pun finis di peringkat ke-43 pada klasemen akhir negara-negara peraih medali Paralimpiade Tokyo.
“Kita lihat perjuangan dari para atlet meraih medali. (Mereka) tak kenal lelah. Mereka berhasil mencapai hasil yang maksimal. Ini bukan prestasi semata, melainkan juga sejarah untuk Indonesia,” kata Andi Herman, Ketua Kontingen Indonesia di Paralimpiade Tokyo, dalam konferensi pers virtual pada Minggu (5/9/2021).
Terlepas dari pujian ke seluruh atlet, Andi mengapresiasi khusus perjuangan tim bulu tangkis. Dari cabang yang baru pertama kali dipertandingan di Paralimpiade itu, Indonesia sukses mendulang 2 emas, 2 perak dan 2 perunggu. Bahkan, 6 dari total 7 atlet yang dikirimkan ke Tokyo mampu meraih medali.
Leani Ratri Oktila (30), pebulu tangkis putri kelas SL4 (disabilitas tubuh bawah lebih ringan), menjadi yang paling bersinar. Dia menyumbang 2 emas (ganda putri dan campuran kelas SL3-SU5) serta 1 perak (tunggal putri SL4) dalam tiga nomor yang dimainkan berturut-turut.
Perjuangan heroik
Leani meraih prestasi itu bak mengorbankan jiwa dan raganya. Perjuangan heroik itu tergambar di Stadion Yoyogi, Minggu. Dia harus menjalani dua final (tunggal dan ganda campuran) setelah bertanding empat kali pada hari sebelumnya, termasuk meraih emas ganda putri bersama Khalimatus Sadiyah.
“Saya merasakan badan yang benar-benar drop waktu di final (Minggu) karena kurang istirahat. Pulang larut malam karena doping control, juga main beberapa kali dalam sehari,” kata Leani yang total bermain 12 kali dalam 5 hari di Tokyo.
Akibat tes doping, Leani baru bisa sampai di perkampungan atlet di Tokyo pada pukul 02.00 waktu setempat. Padahal, dia sudah harus menjalani final tunggal pada pukul 09.00. Waktu istirahat itu pun membebani punggungnya.
Pada final tunggal melawan wakil China, Cheng He Fang, dia jauh dari kondisi terbaik. Saat jeda antargim, Leani berkata kepada pelatih tim bulu tangkis, Sapta Kunta Purnama, bahwa tubuhnya seakan “melayang” ketika di lapangan. Hal itu adalah efek akibat kurang tidur.
Spirit berjuang membat kontingen Indonesia bisa mencapai prestasi tertinggi sepanjang keikutsertaannya di Paralimpiade.
Namun, Leani tetap berjuang meski tertatih-tatih di lapangan. Dia sampai terduduk selonjoran dengan napas memburu pada jeda di antara gim kedua menuju gim ketiga. “Sebelum pertandingan, dia sudah bilang, mau mati di lapangan juga tidak apa-apa,” ucap Sapta yang mendampingi Leani dari pinggir lapangan.
Meskipun kalah, Leani memaksa Cheng bertarung ketat dalam tiga gim, 19-21, 21-17, 16-21, selama 50 menit. Kekalahan itu memacu motivasinya dalam final ganda campuran yang berlangsung sekitar tiga jam kemudian.
Leani, bersama Hary Susanto (46), tampil penuh tenaga menghadapi pasangan Perancis, Lucas Mazur/Faustine Noel. Sempat tertinggal di interval gim pertama, mereka mampu bangkit dan meraih medali emas dengan kemenangan dua gim langsung, 23-21, 21-17.
Kata Sapta, laga itu bukanlah penampilan terbaik Leani/Hary. Kegigihan mereka itulah yang menjadi kunci meraih emas. Leani berjuang mengambil bola di posisi sesulit apa pun meski menyadari "tangki" staminanya sudah hampir habis. Hary juga sampai terjatuh membuang badan beberapa kali agar bisa menjangkau kok.
“Betul-betul ngotot tadi mereka berdua. Mungkin juga karena ajang ini sangat besar. Apalagi, dengan umur Hary, ini mungkin bisa jadi ajang Paralimpiade terakhir dia. Untuk jalan saja, kakinya sudah sering sakit. Kalau pulang, tasnya kadang saya yang bawa,” ucap Sapta kemudian.
Kalah muda
Dari segi fisik, Hary tertinggal di bawah Mazur (23) yang lebih muda setengah dari usianya. Namun, dia berusaha sebisa mungkin mengimbangi permainan menyerang agresif lawan. Prinsipnya, yang penting bola masuk terlebih dulu.
“Motivasi saya sangat besar karena ini yang pertama kalinya (tampil di Paralimpiade). Jadi, saya sebisa mungkin berjuang maksimal untuk bangsa dan negara. Masalah usia nomor dua. Hal terpenting kita berjuang dulu,” ucap Hary yang bersama Leani juga meraih juara Asian Para Games Jakarta 2018 dan Kejuaraan Dunia Basel 2019.
Perjuangan tim bulu tangkis inilah yang menutup manis perjuangan atlet-atlet lain yang sudah bertarung sebelumnya. Berkat itu, kontingen Indonesia bisa mencapai prestasi tertinggi sepanjang keikutsertaannya di Paralimpiade.