Iga Swiatek mengalami tekanan psikologis setelah menjuarai Perancis Terbuka 2020. Tekanan itu membuatnya tak bisa tampil lepas. Kini, dia mengasah fokusnya dan hanya memikirkan laga yang dihadapi supaya bisa menang.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Setahun setelah menjuarai Perancis Terbuka, petenis Polandia, Iga Swiatek, bercerita tekanan sebagai juara Grand Slam. Tekanan yang dirasakan itu membuatnya hampir tersingkir pada babak kedua Amerika Serikat Terbuka.
Kekalahan itu hampir terjadi saat Swiatek berhadapan dengan Fiona Ferro di Lapangan 5 Flushing Meadows, New York, Kamis (2/9/2021). Petenis unggulan ketujuh itu kehilangan set pertama, lalu tertinggal 0-2, sebelum akhirnya bisa memfokuskan diri kembali dan menang, 3-6, 7-6 (3), 6-0.
Upaya Swiatek untuk mengembalikan fokus dan mengurangi rasa gugupnya terlihat, salah satunya, melalui unforced error yang berkurang. Pada dua set pertama, dia membuat 28 unforced error, lalu berkurang menjadi hanya tiga pada set ketiga.
Swiatek, yang selalu jujur berbicara tentang performanya, tak menutupi apa yang dirasakan saat tampil di lapangan. Dia merasakan tekanan lebih besar setelah menjuarai Perancis Terbuka 2020, gelar pertamanya di arena Grand Slam.
”Ada kendala dari luar dan dari dalam diri sendiri. Dari dalam, saya masih berjuang keluar dari tekanan. Faktor itu membuat saya kehilangan beberapa kesempatan, salah satunya di Roland Garros tahun ini,” ujar Swiatek dalam laman tennismajors.com.
Petenis peringkat kedelapan dunia itu gagal melalui pengalaman pertamanya mempertahankan gelar Grand Slam. Dia kalah dari Maria Sakkari pada perempat final di Roland Garros, Juni.
Dari dalam, saya masih berjuang keluar dari tekanan. Faktor itu membuat saya kehilangan beberapa kesempatan, salah satunya di Roland Garros tahun ini.
Di sela-sela Grand Slam di lapangan tanah liat itu, Swiatek bercerita tentang kehidupan yang dilaluinya setelah meraih trofi Suzanne Lenglen, lambang juara tunggal putri Perancis Terbuka. ”Ketika Anda menjuarai Grand Slam, orang akan selalu mengingat hal itu. Banyak hal yang mengganggu pikiran, apalagi saya sepertinya sulit beradaptasi dengan kesuksesan dibandingkan ketika kalah,” tuturnya dalam BBC.
Besarnya tekanan yang dirasakan petenis berusia 20 tahun itu, bahkan, membuatnya menangis di tengah laga melawan Ferro. Hal yang sama juga terjadi setelah tersingkir pada babak kedua Olimpiade Tokyo 2020 karena kalah dari Paula Badosa. Bagi Swiatek, terlalu banyak mimpinya yang hancur akhir-akhir ini.
Namun, di Flushing Meadows, Swiatek bisa mengingatkan diri sendiri untuk mengalihkan fokus hanya pada pertandingan. Dia juga mengingat kembali alasannya bermain tenis. Cara itu setidaknya bisa menyelamatkannya dari kekalahan yang begitu dini.
”Saya sangat menyukai tenis dan berusaha untuk menikmati pertandingan. Sebab, adakalanya saya merasa bermain untuk orang lain dan jika itu terjadi, hasilnya selalu buruk,” katanya.
Saya sangat menyukai tenis dan berusaha untuk menikmati pertandingan.
Saat melawan Ferro, Swiatek tak memulai laga dengan baik. Dia bercerita, kakinya seperti sulit untuk digerakkan. Selain menenangkan diri, dia juga mencoba mengubah taktik. Memiliki karakter bermain yang selalu ingin menyerang lawan dengan cepat, kali ini dia lebih sabar dalam menjalani reli yang lebih panjang.
”Saya tak begitu senang dengan penampilan tadi karena seharusnya bisa bermain solid sejak awal. Saya benar-benar merasakan tekanan. Entahlah, saya harus belajar hidup dengan itu. Namun, setidaknya saya masih bisa memenangi laga itu,” kata juara Wimbledon yunior 2018 itu.
Upaya Swiatek untuk mengubah rasa panik menjadi tenang hanya dalam waktu singkat, setelah tertinggal 0-2, menjadi bagian dari resolusinya di lapangan. Saat ini, cara itu bisa membawanya ke babak ketiga, hasil terbaiknya di AS Terbuka sejak debut pada 2019.
Pada babak ketiga, Sabtu, Swiatek akan berhadapan dengan petenis Estonia, Anett Kontaveit. Meski menang pada pertemuan terakhir, pada babak ketiga Perancis Terbuka, Swiatek kalah dari Kontaveit pada dua pertemuan sebelumnya di lapangan keras, jenis lapangan seperti di Flushing Meadows.
Jika bisa mengalahkan petenis peringkat ke-28 dunia itu, Swiatek akan bertemu Jessica Pegula atau peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Belinda Bencic, pada babak keempat. Pada laga berikutnya, kandidat terkuat yang akan dihadapinya adalah petenis yang difavoritkan juara, Ashleigh Barty. Petenis nomor satu dunia itu akan berhadapan dengan Shelby Rogers pada babak ketiga.
Sebagai sosok yang selalu percaya pada proses, menjaga emosi menjadi target utama Swiatek untuk menjaga konsistensi permainannya. ”Saya ingin konsisten melakukan itu dan melihat perkembangannya dalam dua tahun ini. Menurut saya, itulah yang membedakan juara sejati dengan yang lain. Mereka hanya fokus dan menikmati apa yang mereka lakukan,” kata Swiatek. (REUTERS)