Ilmu fisika adalah elemen penting dalam cabang atletik. Karena itu, pelatih maupun atlet mesti paham minimal teori dasar fisika agar tahu apa yang perlu diperbuat untuk memperbaiki prestasi.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
”Hukum percepatan, Newton 2, semakin cepat kita berlari saat awalan, akan semakin jauh kita didorong ke depan,” tertulis di papan tulis putih yang ada di pinggir lintasan lari pemusatan latihan nasional (pelatnas) atletik Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) di Stadion Madya Senayan, Jakarta, Kamis (2/9/2021).
Tulisan di papan itu adalah makna yang terkandung dalam Hukum ke-2 Newton yang lengkapnya, yakni percepatan sebuah benda akan berbanding lurus dengan gaya total yang bekerja padanya serta berbanding terbalik dengan massanya. Arah percepatan bakal sama dengan arah gaya total yang bekerja padanya.
Hukum itu ditemukan oleh ilmuwan besar asal Kensington, Middlesex, Inggris, Sir Issac Newton, pada abad ke-17. Selain Hukum Newton 2, fisikawan kelahiran 25 Desember 1642 itu pun memublikasi Hukum Newton 1 dan Hukum Newton 3. Ketiga hukum itu dikenal pula dengan sebutan Hukum Gerak Newton yang erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di bidang olahraga cabang atletik.
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung mengatakan, ilmu fisika merupakan elemen penting untuk peningkatan prestasi olahraga atletik. Seperti pada lari 100 meter, ada lima bagian penting yang harus diperhatikan guna memperbaiki catatan waktu pelari. Kelimanya, yakni reaksi papan start, meluncur dari papan start, mengembangkan kecepatan, memelihara kecepatan, dan meminimalkan perlambatan menjelang finis.
Teori semacam itu sejatinya wajib dipahami oleh para pelatih meskipun ada ahli masing-masing yang disediakan oleh pengurus cabang. Hal ini kunci kesuksesan Amerika Serikat menjadi kiblat atletik dunia, di mana calon atlet ataupun pelatih mesti mempelajari ilmu fisika di bangku perguruan tinggi untuk dipraktikan dalam pelatihan.
Namun, hal penting itu banyak yang diabaikan oleh para pelatih di Indonesia. ”Sebenarnya, ini turut disampaikan dalam kursus-kursus kepelatihan, seperti yang diselenggarakan Federasi Atletik Dunia. Sayangnya, sehabis pelatihan, ilmunya tidak dipraktikan. Belum lagi, banyak pelatih terutama di daerah yang kerjanya rangkap,” kata Tigor.
Untuk membumikan sport science di atletik, minimal dimulai dari pelatnas, PB PASI mendatangkan pelatih atletik terbaik dunia 2016 asal Amerika Serikat (AS) Harry Marra sebagai konsultan untuk membagi ilmu dan pengalamannya kepada para pelatih mulai 20 Juni hingga pengujung tahun ini. Marra adalah anak didik dari pelatih legendaris AS, Tom Tellez.
Adapun Tellez ialah pelatih yang ”melahirkan” pelari dan pelompat jauh legendaris AS Carl Lewis, salah satu atlet atletik tersukses di dunia sebelum era pelari Jamaika Usain Bolt. ”Marra punya aliran kepelatihan sama dengan Tellez, yakni sangat memegang teguh science. Bagi mereka, tidak ada teknik yang tidak berbasis science,” tutur Tigor.
Tak hanya melalui teori, Marra juga berbagi ilmu dan pengalaman dengan praktik langsung di lapangan. Itu disaksikan langsung oleh pelatih pelatnas maupun para atletnya, terutama nomor sprint atau lari cepat yang menjadi induk semua nomor pertandingan atletik.
Postur tubuh atlet adalah salah satu hal yang sering diingatkan Marra. Pelatih kelahiran New York, AS, 13 Agustus 1947, ini coba meluruskan pemahaman yang salah di antara pelatih maupun atlet selama ini. Dalam lari, tubuh atlet mesti tegak tepat di pusat gravitasi dan kaki melangkah ke depan dengan jatuh ke bawah secara tegap. Lewat ayunan pinggang dan tangan, tubuh otomatis terbawa ke depan.
Itu merupakan teori fisika yang benar untuk menepis pemahaman sebagian pelatih ataupun atlet bahwa kaki mesti melangkah lebar dan segera menarik tubuh ke depan. Tak jarang, tapak kaki seolah mencakar lintasan untuk menarik tubuh ke depan. Ini tidak memperbaiki kecepatan, tetapi bisa memicu cedera. ”Nantinya, ilmu yang diserap dari Marra diharapkan bisa ditularkan para pelatih pelatnas kepada rekan-rekan pelatih di daerah. Apalagi bibit atlet berasal dari daerah,” terang Tigor.
Marra mengingatkan bahwa pelatih dan atlet Indonesia mesti melakukan perubahan ke arah lebih baik agar prestasi menjadi lebih baik. ”Seperti kata Albert Einstein (fisikawan), kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda,” ujar mantan pelatih Ashton Eaton, atlet AS yang meraih emas dasalomba Olimpiade London 2012 dan Rio de Janeiro 2016 tersebut.
Pelatih sprint PB PASI Eni Nuraini mengakui bahwa Marra banyak memberikan pemahaman baru untuk pelatih dan atlet. Itu sangat penting untuk memperbaiki teknik atlet Indonesia agar bisa menjadi lebih baik, terutama bagi pelari andalan Indonesia Lalu Muhammad Zohri supaya bisa mencapai mimpi menembus waktu di bawah 10 detik.