Mengapa Juve Disebut ”Si Nyonya Besar”, Bukan ”Si Nyonya Tua”?
Julukan ”Si Nyonya Besar” dan ”Si Nyonya Tua” sama-sama bisa digunakan untuk menggambarkan Juventus. Namun, dua sebutan ini mengarah pada makna berbeda.
Oleh
KelvIn Hianusa
·3 menit baca
Tulisan Kompas berjudul ”Si Nyonya Besar Merelakan Ronaldo ke MU” mengundang cukup banyak tanya di kolom komentar Instagram. Warganet mempertanyakan penggunaan julukan Juventus sebagai ”Si Nyonya Besar”, bukan ”Si Nyonya Tua”.
Juve punya beberapa julukan, tetapi yang paling melekat adalah ”La Vecchia Signora”. Julukan itu diterjemahkan sebagai ”The Old Lady” dalam bahasa Inggris, yang kalau diartikan langsung ke bahasa Indonesia akan menjadi ”Si Nyonya Tua”.
Menurut berbagai sumber, salah satunya media sepak bola ternama Metro, asal-muasal julukan ini berawal dari sekadar lucu-lucuan. Julukan ”Tua” diambil dari nama klub, Juventus, yang dalam bahasa Latin berarti muda. Padahal, Juve sendiri merupakan salah satu tim tertua di ”Negeri Pizza” (sejak 1897).
”Nyonya” merujuk pada sosok wanita yang dicintai pria. Sama seperti wanita, sepak bola sudah dianggap belahan jiwa oleh para pendukung yang mayoritas pria tersebut. Julukan ”Si Nyonya Tua” pun muncul dan mulai populer pada era 1930-an.
Karena itu, komentar warganet tentang penyebutan julukan ini sama sekali tidak salah. Pada dasarnya, transisi umum dari tiga bahasa tersebutlah yang membuat Juve lebih dikenal sebagai ”Si Nyonya Tua” di Indonesia.
Namun, Kompas punya pilihan kata sendiri yang dinilai lebih tepat untuk menerjemahkan julukan tersebut, yaitu ”Si Nyonya Besar”. Sebutan itu pertama kali diperkenalkan oleh Anton Sanjoyo, mantan wartawan harian Kompas yang juga dikenal sebagai pengamat dan komentator sepak bola skala nasional.
Bung Joy, sapaan akrabnya, pertama kali menyebut Juve sebagai ”Si Nyonya Besar” pada 27 Februari 2000 dalam tulisan berjudul ”Juve Diancam AS Roma”. Setelah tulisan itu, sampai hari ini penggunaan kata ganti ”Si Nyonya Besar” nyaris selalu dipakai dalam setiap tulisan tentang Juve.
”La Vecchia Signora” tidak hanya diterjemahkan mentah-mentah. Namun, digabung dengan pemberian makna dan konteks dalam situasi terbaru sehingga menjadikan julukan itu lebih cocok dan bermakna dalam bahasa Indonesia.
Bung Joy sempat menjelaskan pemilihan ”Si Nyonya Besar” dibandingkan dengan ”Si Nyonya Tua”. Dia menuliskannya dalam segmen Kolom Olahraga berjudul ”Kembalinya Si Nyonya Besar” pada 10 Mei 2012.
Entah kenapa, klub hebat itu di sini sering salah dijuluki ’Si Nyonya Tua’. Barangkali karena sebagian orang Indonesia memang suka asal-asalan.
”Entah kenapa, klub hebat itu di sini sering salah dijuluki ’Si Nyonya Tua’. Barangkali karena sebagian orang Indonesia memang suka asal-asalan. Juventus memang dijuluki ’La Vecchia Signora’, yang dalam bahasa Inggris-nya, ’The Old Lady’. Terjemahan ke bahasa Inggris inilah yang kemudian dipakai acuan sebagian penggemar sepak bola kita. Secara tradisi, Juventus sebagai klub tersukses dalam sejarah sepak bola Italia, julukan mereka lebih tepat diterjemahkan dengan ’Si Nyonya Besar’, yang lebih berarti juragan atau penguasa jagat sepak bola Italia,” tulisnya.
Julukan ”Si Nyonya Tua” kurang tepat dipakai karena tidak sesuai konteks. Juve, yang merupakan tim tersukses di Italia hingga saat ini (36 gelar Liga Italia dan 14 gelar Piala Italia) tidak cocok digambarkan sebagai sosok wanita tua yang sudah usang dan lapuk.
Adapun dalam penulisan di dunia olahraga, penggunaan julukan selalu dipakai untuk menggambarkan identitas kehebatan salah satu sosok atlet ataupun klub. Karena itu, sebutan ”Si Nyonya Besar” justru lebih dapat menggambarkan Juve sebenarnya meskipun bukan arti sebenarnya dari terjemahan langsung bahasa Italia.
Misalnya saja, Mike Tyson, sosok mantan petinju kelas berat yang terkenal karena prestasi sekaligus kontroversi. Dia selalu dikenal dengan julukan ”Si Leher Beton” ataupun ”Si Manusia Besi” yang melambangkan kehebatan, bukan ”Si Pembuat Onar”.
Julukan ”Si Nyonya Tua” atau ”Si Nyonya Besar” sama-sama bisa digunakan, tinggal kembali lagi mana yang lebih kontekstual. Seperti yang diucapkan pejuang bahasa Indonesia, Ivan Lanin, dalam tulisan artikel Sosok di Kompas, kata-kata adalah konsensus manusia, tidak ada hukum Tuhan di dalamnya.