Lifter paralimpiade putri Indonesia Ni Nengah Widiasih memetik buah kesabaran. Walau sempat kecewa batal tampil di ASEAN Para Games 2020, dia tetap menjaga semangat dan berbuah perak 41 kg di Paralimpiade Tokyo 2020.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lifter paralimpiade putri Indonesia Ni Nengah Widiasih menjadi salah satu atlet yang urung tampil di ASEAN Para Games 2020 Filipina menyusul pembatalan ajang itu karena pandemi Covid-19. Namun, atlet asal Bali ini tak patah arang. Semangat ini menjadi salah satu kunci keberhasilannya meraih perak angkat berat kelas 41 kilogram Paralimpiade Tokyo 2020, sekaligus medali pertama untuk kontingen Indonesia pada ajang tersebut.
”Saya senang dan bangga dengan prestasi ini. Hasil ini sesuai target pribadi saya. Semoga medali ini bisa menjadi motivasi untuk kawan-kawan yang lain, agar Merah-Putih bisa berkibar sebanyak-banyaknya di Tokyo kali ini,” ujar Widia, sapaannya, usai perebutan medali di Tokyo International Forum, Jepang, Kamis (26/8/2021).
Widia adalah atlet yang memiliki keterbatasan pada tubuh bagian bawah. Ketika berusia tiga tahun, tubuhnya dihantam polio sehingga kakinya tidak berkembang sempurna. Seperti atlet lainnya, cabang angkat berat nomor bench press ini dilakukan sambil berbaring dengan tiga kali kesempatan.
Lifter kelahiran 12 Desember 1992 itu merebut perak dengan angkatan terbaik 98 kilogram pada kesempatan ketiga. Emas diraih lifter China Guo Lingling dengan 108 kg, dan perunggu direbut oleh lifter Venezuela Clara Sarahy Fuentes Monasterio dengan 97 kg pada kesempatan kedua.
Dengan hasil ini, Widia melampaui catatan terbaiknya di Paralimpiade, yakni perunggu di Rio de Janeiro 2016 dengan angkatan 95 kg. Dia pun mempertajam rekor terbaiknya, yakni dari 97 kg pada Asian Para Games 2018 Jakarta dan di Piala Dunia 2021 di Dubai, Uni Emirate Arab.
Hasil itu membuat satu-satunya wakil Indonesia di cabang angkat berat Tokyo 2020 bisa menjaga reputasi sebagai lifter peringkat kedua dunia. ”Karena berada di ranking dua dunia, target saya memang meraih perak di Tokyo. Atlet China memang tangguh. Jadi, saya bersyukur bisa mengibarkan Merah Putih, memperbaiki prestasi, dan catatan pribadi. Semoga konsisten sampai ASEAN Para Games 2022 dan Asian Para Games 2022,” katanya.
Sempat kecewa
Sekretaris Jenderal NPC Indonesia Rima Ferdianto mengatakan, Widia bersama atlet paralimpiade Indonesia lainnya sangat kecewa karena gagal berlaga di ASEAN Para Games 2020 Filipina. Mereka menjalani pelatnas jangka panjang sejak awal 2019 untuk tampil pada ajang yang dijadwalkan pada Januari 2020.
Semoga medali ini bisa menjadi motivasi untuk kawan-kawan yang lain, agar Merah-Putih bisa berkibar sebanyak-banyaknya di Tokyo kali ini.
Namun, setelah ditunda ke Mei 2020, tuan rumah akhirnya membatalkan pelaksanaan ajang itu karena pandemi Covid-19. Tak lama kemudian, Paralimpiade 2020 juga ditunda setahun. Akibatnya, para atlet sempat dipulangkan ke daerah masing-masing sebelum dipanggil lagi untuk perlatnas Paralimpiade Tokyo mulai Oktober 2020. ”Waktu itu, atlet amat kecewa karena mereka sudah di puncak performa,” tutur Rima.
Namun, atlet paralimpiade Indonesia punya komitmen luar biasa untuk negara. Selama di daerah, mereka tetap menjaga fisik dan semangat bertanding meski Paralimpiade Tokyo pun masih diliputi tanda tanya.
”Mereka juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tampil di Paralimpiade 2020. Apalagi mereka telah mengumpulkan poin kualifikasi sejak lama, seperti Widia sejak 2017,” ujarnya.
Menurut pelatih angkat berat paralimpiade Indonesia Yanti, Widia adalah atlet yang punya semangat luar biasa. Motivasinya tidak pernah turun di tengah sejumlah hambatan, termasuk pandemi Covid-19. ”Ini yang membuat pelatih tidak kesulitan untuk mengarahkannya terus melakukan yang terbaik dalam latihan maupun pertandingan,” katanya.
Widia menjalani persiapan cukup maksimal sebelum tampil di Paralimpiade. Lifter kelahiran Karangasem, Bali ini sempat mengikuti satu kejuaraan daring pada 2020 dan dua seri Piala Dunia 2021, yakni di Bangkok, Thailand dan di Dubai, UEA.
Di Bangkok, dia merebut medali emas dengan angkatan terbaik 96 kg pada kesempatan ketiga. ”Pemerintah menjanjikan kesetaraan untuk atlet paralimpiade maupun non paralimpiade. Sejauh ini, dukungan pemerintah luar biasa untuk kami. Semoga bisa terus begitu,” terang Widia.
Membuka keran medali
Keberhasilan Widia merebut medali perak diharapkan bisa membuka keran medali Indonesia untuk mengejar target membawa pulang satu emas, satu perak, dan tiga perunggu pada Paralimpiade 2020.
Capaian Widia tergolong melebihi ekspektasi. Sebelumnya, dia ditargetkan merebut perunggu, seperti yang didapat lima tahun lalu. Adapun satu emas dan satu perak diharapkan disumbangkan oleh bulu tangkis, sedangkan dua perunggu lainnya dari tenis meja dan atletik.
Langkah Indonesia mendapatkan prestasi lebih baik cukup terbuka besar. Pada Kamis, dua dari tiga petenis meja Indonesia lolos dari penyisihan grup. Petenis meja kategori TT10 David Jacobs mendapatkan kemenangan kedua di Grup B usai mengalahkan atlet Spanyol Jose Manuel Ruiz Reyes 3-0 (11-9, 11-4, 11-4). Pada kategori TT4 Adyos Astan meraih kemenangan perdana Grup A dengan mengalahkan petenis Polandia Rafal Lis 3-1 (11-5, 12-10, 11-13, 11-8).
Hasil itu membuat David lolos ke delapan besar sebagai juara grup, sedangkan Adyos maju ke 16 besar sebagai runner up grup. David ditargetkan mengulangi capaiannya menyabet perunggu pada Paralimpiade London 2012. ”Saya lega bisa menang dan lolos ke delapan besar. Semoga saya bisa menang lagi dan lolos ke semifinal serta final,” harap David.
Dari cabang balap sepeda, satu-satunya wakil Indonesia Muhammad Fadli Imammuddin menempati posisi ke-17 pada nomor time trial 1.000 meter kategori C4-C5 (keterbatasan kaki) dengan waktu 1 menit 10,423 deti. Fadli masih berpeluang merebut medali jika bisa membuat kejutan pada nomor 4.000 meter individual pursuit kategori C4, Jumat (27/8).