Dua atlet para atletik Karisma Evi Tiarani dan Sapto Yogo Purnomo berada dalam atmosfer positif menjelang perburuan medali Paralimpiade Tokyo 2020. Evi juga bisa fokus mempersiapkan diri setelah tetap di klasifikasi T42.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sapto Yogo Purnomo dan Karisma Evi Tiarani sudah tidak merasakan ketegangan seperti sebelum berangkat ke Tokyo, Jepang, untuk menjalani debut di ajang Paralimpiade. Dua atlet atletik paralimpiade andalan Indonesia itu sudah menikmati suasana di wisma atlet serta latihan di Oda Track & Field, Yoyogi Park. Sapto Yogo seperti biasa, tetap ceria dengan humor-humor segar khas anak muda. Sedangkan Kharisma Evi, sudah bisa tenang setelah tim pengklasifikasi tetap menempatkan dirinya di kelas T42.
Sapto dan Evi menjalani latihan start, simulasi lomba, sekaligus adaptasi dengan cuaca musim panas, Senin (23/8/2021). Mereka belum bisa mencoba lintasan lomba di Stadion Olimpiade Tokyo, karena masih steril menjelang pembukaan Paralimpiade, Selasa (24/8/2021). Mereka juga berlatih malam untuk membiasakan diri dengan suasana lomba yang akan berlangung malam hari untuk final. Selesai pemusatan latihan di Solo, Jawa Tengah, mereka tidak pernah berlatih malam hari, sehingga perlu adaptasi. Mereka didampingi oleh kepala pelatih atletik paralimpiade Slamet Widodo serta pelatih muda Purwo Adi Sanyoto.
Sapto Yogo yang akan tampil di nomor lari 100 meter dan 200 meter klasifikasi T37–keterbatasan koordinasi gerak termasuk akibat cerebral palsy–mengaku sudah tidak tegang lagi. Dia pun menikmati cuaca musim panas di Tokyo, yang dia nilai mirip dengan Solo, sehingga proses adaptasi lebih mudah.
"Kalau sebelum berangkat pasti ada rasa khawatir karena belum pernah tampil di paralimpiade. Selain itu juga karena tiap hari tes Covid-19 selama tujuh hari beruntun, jadi ada rasa khawatir. Tetapi setelah sampai di sini tidak tegang lagi, suasananya sama dengan di Solo. Sekarang saya sudah enjoy, adaptasi dengan cuaca tidak ada masalah," ujar Sapto Yogo, peraih medali emas 100 meter dan 200 meter T37 Asian Para Games 2018.
Sapto Yogo merupakan salah satu atlet andalan atletik paralimpiade Indonesia untuk meraih medali di Paralimpiade Tokyo 2020. Atlet berusia 23 tahun dengan gangguan koordinasi gerak pada tangan dan kaki kanan itu memang memiliki target personal untuk bisa berprestasi di Paralimpiade. Dia menjadikan ajang tertinggi itu sebagai tujuan setelah meraih medali perunggu 100 meter T37 pada Kejuaraan Dunia Paraatletik 2019 di Dubai. Waktu itu, Sapto Yogo yang tidak diunggulkan membuat kejutan dengan mencetak waktu 11,41 detik.
Namun, bagi atlet asal Purwokerto itu, pencapaian-pencapaian dia sebelumnya itu tidak bisa menjadi acuan untuk kejuaraan yang akan dia ikuti. Dia selalu berusaha menaikan levelnya dengan berlatih lebih keras dan serius, karena persaingan yang akan dia hadapi adalah level dunia. Selama pemusatan latihan di Solo, dia berlatih bersama sprinter-sprinter normal, karena dia tidak memiliki pesaing di klasifikasi T37. Persaingan dengan atlet normal itu menaikan standar performa yang harus dia capai untuk terus memperbaiki waktunya.
"Paralimpiade itu tujuan saya karena atlet kan tidak mungkin hanya sampai di level yang itu-itu saja. Bagi saya, atlet itu harus sampai level lebih tinggi lagi, terutama dunia. Perjuangannya memang tidak mudah, karena harus latihan lebih keras, harus disiplin. Apalagi di masa pandemi ini, sempat ada sedikit kendala karena ada beberapa hari tidak bisa latihan," ujar Sapto Yogo dihubungi melalui telepon seusai latihan di Yoyogi Park.
Persaingan meraih medali yang dihadapai oleh Sapto Yogo sangat ketat, terutama di nomor elite 100 meter T37. Saat ini, pesaing terberat adalah pemegang rekor dunia asal Amerika Serikat Nick Mayhugh dengan catatan 11,21 detik. Di nomor ini, Sapto Yogo akan berjuang meraih medali perunggu dengan pesaing terdekat Charl Du Toit dari Afrika Selatan yang memiliki rekor personal 11,45 detik.
Sedangkan untuk medali perak, peluangnya tetap terbuka, dengan catatan sprinter Brasil Christian Gabriel Luiz da Costa tidak mencapai catatan waktu terbaiknya 11,29 detik. Pada Kejuaraan Dunia di Dubia, Luiz da Costa di posisi keempat di bawah Sapto Yogo dengan waktu 11,45 detik. Pesaing lainnya adalah peraih emas Dubai 2019 asal Rusia Andrei Vdovin yang dua tahun lalu mencetak waktu tercepat 11,18 detik. Vdovin juga pemegang rekor dunia 200 meter T37 dengan waktu 22,59 detik.
"Saya tidak terlalu memikirkan persaingan, saya ingin menikmati saja. Kalau target personal memecahkan rekor pribadi saya. Pokoknya menikmati dan memberikan yang terbaik," ungkap Sapto Yogo.
Untuk menjaga fokus atlet menghadapi persaingan yang sangat ketat itu, tim pelatih pun selalu mengajak anak-anak asuhnya untuk tidak terlalu memikirkan hasil. Mereka didorong fokus pada diri sendiri, dan berjuang semaksimal mungkin di lintasan lari. Selama proses latihan atlet juga selalu diingatkan bahwa pandemi dan minimnya kejuaraan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengendurkan perjuangan. Ini justru kesempatan yang sangat baik bagi atlet untuk bersiap semaksimal mungkin di masa yang kurang ideal.
Paralimpiade itu tujuan saya karena atlet kan tidak mungkin hanya sampai di level yang itu-itu saja. Bagi saya, atlet itu harus sampai level lebih tinggi lagi, terutama dunia.
"Kuncinya pada memotivasi atlet saja, karena ini ajang terbesar dan ini tujuan mereka latihan keras selama ini. Ini even tertinggi, lebih tinggi dari kejuaraan dunia, dan ini kesempatan yang langka, belum tentu mereka bisa tampil lagi di Paralimpiade. Jadi itu yang selalu diingatkan kepada para atlet untuk berlatih maksimal, tetapi tidak perlu memikirkan hasil, nikmati saja," ungkap Purwo.
Klasifikasi Karisma Evi
Keseimbangan antara aspek teknis dan non-teknis, khususnya mental, juga mendapat perhatian serius dari tim pelatih. Potensi kendala gangguan psikis sebelumnya berpotensi mengganggu konsentrasi sprinter putri klasifikasi T42 Karisma Evi Tiarani. Peraih medali emas 100 meter T42 Kejuaraan Dunia Paraatletik Dubai 2019 itu harus menjalani proses klasifikasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah dirinya masih di kelas T42 atau masuk ke T44 yang keterbatasanya lebih ringan. T42 merupakan klasifikasi untuk amputasi salah satu kaki di atas lutut atau keterbatasan yang setara. Sedangkan T44 adalah klasifikasi atlet dengan amputasi salah satu kaki di bawah lutut atau keterbatasan yang setara.
Proses klasifikasi untuk Karisma Evi dilakukan karena sebelumnya ada protes dari tim klasifikasi World Para Athletics setelah Evi meraih emas sekaligus mencetak rekor dunia nomor 100 meter T42 di Dubai 2019 dengan waktu 14,72 detik. Dia dinilai tidak memenuhi klasifikasi T42 karena saat berlari tidak nampak ada gangguan gerak pada kaki kirinya yang lebih pendek dari kaki kanan.
"Evi kalau lari kencang memang tidak kelihatan ada gangguan karena dia sudah terlatih dan juga tersamarkan oleh kecepatannya larinya. Tetapi, kalau dia berlari pelan kelihatan sekali gangguan pada paha dan pinggulnya. Jadi proses klasifikasi fokus pada aspek itu. Classifier di paralimpiade ini memang sangat teliti," ujar Slamet dihubungi melalui telepon.
"Proses klasifikasi sudah selesai pada Minggu, sehingga Evi bisa fokus mempersiapkan diri untuk lomba. Dia tetap di klasifikasi T42 dan semoga bisa tampil maksimal serta memberikan yang terbaik bagi Indonesia," ungkap Slamet, pelatih senior atletik paralimpiade Indonesia.
Meskipun sudah dinyatakan tetap di kelas T42, Evi akan tetap diobservasi oleh tim pengklasifikasi saat lomba. Ini proses biasa untuk memastikan bahwa atlet memang berada dalam klasifikasi yang tepat. Pengamatan dalam lomba bisa menunjukan gerakan tubuh yang alami karena atlet dalam penampilan maksimal. Jika ada gangguan gerak yang disebabkan oleh gangguan para syaraf, otot, atau dampak amputasi, akan terlihat saat atlet mengerahkan kemampuan terbaiknya.
Namun, pengamatan itu tidak perlu dikhawatirkan oleh Evi, karena dia memang sudah memenuhi kriteria T42. Dalam Paralimpiade, atlet-atlet klasifikasi T42 akan berlomba bersama dengan atlet-atlet klasifikasi T63, di mana atlet menggunakan kaki palsu atau bilah prostetik. Penyatuan klasifikasi T42/T63 ini sudah dimulai sejak Asian Para Games 2018, sehingga menambah ketat persaingan meraih medali.
"Kita perlu mewaspadai dua atlet dari Italia yang sangat bagus. Salah satunya pemegang rekor dunia T63," ujar Slamet.
Kedua atlet Italia itu berada di klasifikas T63, yaitu pemegang rekor dunia Ambra Sabatini dengan 14,59 detik, dan Martina Caironi yang memiliki waktu terbaik 15,01 detik. Keduanya berada di posisi pertama dan kedua peringkat dunia 2021 nomor 100 meter klasifikasi T63. Catatan waktu Evi selama pemusatan latihan tidak jauh dari catatan terbaiknya saat di Dubai 2019 yaitu 14,72 detik yang masih menjadi rekor dunia T42 dalam starting list Paralimpiade Tokyo 2020.
"Evi tetap di jalurnya. Saat pemusatan latihan tidak turun banyak dan tidak naik banyak dari catatan di Dubai. Kami berharap dia bisa tampil stabil dan meraih medali meskipun ada tantangan berat yang harus dia hadapi," ungkap Purwo.
"Kita arahkan Evi, Sapto, dan atlet-atlet lainnya untuk tidak memikirkan medali, fokus saja pada diri sendiri dan menikmati lomba," tegas Slamet.
Sapto Yogo akan bersaing di 100 meter T37 pada 27 Agustus di mana babak pertama berlangsung pagi dan final pada pukul 17.25 WIB. Sedangkan di nomor 200 meter T37 dia akan menjalani putaran pertama pada 3 September dan final pada 4 September pukul 8.27 WIB. Sedangkan Evi akan berjuang di nomor 100 meter T63 pada 4 September diawali dengan putaran pertama pada sesi pagi, dan final pada pukul 19.26 WIB. (ANG)