Mutasi atau perpindahan atlet dari satu daerah ke daerah lain masih marak terjadi menjelang PON Papua. Fenomena yang berulang setiap menyambut PON itu tidaklah sehat dalam upaya kaderisasi atlet yang sistemik di daerah.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Pekan Olahraga Nasional XX di Papua pada 2-15 Oktober, mutasi atau perpindahan atlet dari satu daerah ke daerah lainnya masih marak terjadi. Fenomena klise itu dipicu disparitas atau timpangnya pembinaan dan dukungan kesejahteraan untuk atlet di daerah-daerah.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto, saat dihubungi, Minggu (22/8/2021), mengatakan, ada sekitar 20 persen atau 1.300 atlet yang berpindah daerah atau provinsi pada PON 2020 dari PON edisi sebelumnya. Data itu hampir sama dengan jumlah atlet yang berpindah daerah dari PON Riau 2012 ke PON Jawa Barat 2016.
Umumnya, perpindahan atlet itu melibatkan atlet-atlet elite nasional. Lifter Eko Yuli Irawan, misalnya, pernah berpindah daerah dari Kalimantan Timur pada PON 2012 ke Jawa Timur pada PON 2016. Adapun perenang I Gede Siman Sudartawa hijrah dari Riau pada PON 2012 ke DKI Jakarta pada PON 2016. Lalu, atlet menembak putri, Vidya Rafika Rahmatan Toyyiba, yang kelahiran dan bermukim di Depok, Jawa Barat, justru membela Kalimantan Timur pada PON 2016.
Fakta itu menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang memilih cara instan mengejar prestasi. Sejumlah daerah tidak mampu melakukan pembinaan dengan baik untuk melahirkan atlet berprestasi yang bisa membela daerah asalnya di PON.
”Fenomena ini sangat tidak sehat untuk kaderisasi atlet yang sistemik di daerah. Sebab, atlet yang seharusnya bisa membela daerahnya justru terganjal oleh kehadiran atlet yang direkrut dari daerah lain. Ini tidak sesuai semangat ataupun tujuan utama PON, yakni sebagai tempat mematangkan ataupun melahirkan bibit-bibit atlet baru,” ujar Gatot.
Enam syarat bisa pindah
Agar tujuan utama PON itu bisa terwujud, fenomena mutasi atlet tidak bisa terus dibiarkan. Maka itu, Kemenpora mendorong KONI Pusat mempertegas aturan perpindahan atlet. Merujuk Surat Keputusan Ketua Umum KONI Pusat Nomor 22 Tahun 2016 tentang Peraturan Mutasi Atlet dalam Rangka PON, mutasi atlet dapat dilakukan jika atlet terkait berpindah domisili ke daerah atau provinsi lain karena enam alasan.
Fenomena perpindahan atlet ini pun disebabkan gengsi daerah. Selain tidak mau uang yang digelontorkan sia-sia, mereka juga tidak mau malu dengan daerah-daerah lain. (Othniel Mamahit)
Keenam alasan itu, yaitu mengikuti kepindahan orangtua, suami/istri, pindah tugas/mutasi kepegawaian, mendapatkan pekerjaan di provinsi tujuan, diterima di sekolah/perguruan tinggi di provinsi tujuan, dan meningkatkan prestasi. Atlet dapat melakukan sekali mutasi dalam kurun waktu lima tahun. Mutasi diajukan tertulis minimal dua tahun sebelum PON.
Nyatanya, ada atlet yang berpindah daerah, tetapi tidak berdomisili di daerah itu. Ada pula atlet yang berpindah dalam tempo kurang dari lima tahun. ”Jika ada pelanggaran, KONI Pusat berhak menjatuhkan sanksi. Itu bisa berupa atlet tidak boleh bertanding dalam PON atau KONI provinsi yang menerima atlet tersebut tidak boleh ikut berpartisipasi pada cabang olahraga atlet bersangkutan,” kata Gatot.
Wakil Sekretaris Jenderal II Bidang Hukum KONI Pusat Othniel Mamahit mengutarakan, maraknya mutasi atlet adalah karena pembinaan dan kesejahteraan yang tidak terpenuhi di daerah asalnya. Hal itu dipicu ketimpangan anggaran untuk olahraga di daerah-daerah.
Mirisnya, tak sedikit daerah justru menggunakan anggaran persiapan PON untuk merekrut atlet yang sudah matang dari daerah lain. Mereka tidak mau mengambil risiko telah mengeluarkan uang banyak, tetapi belum tentu meraih prestasi di PON. Untuk itu, mereka mengambil atlet matang dari daerah lainnya yang kemungkinan besar bisa menyumbangkan medali.
Praktik perpindahan atlet itu umumnya dilakukan oleh tuan rumah PON. Sebab, tuan rumah mendapatkan wild card untuk mengikuti semua cabang olahraga tanpa menjalani babak kualifikasi. Namun, tuan rumah belum tentu memiliki atlet di semua cabang. Akibatnya, tuan rumah merekrut atlet dari daerah lain.
”Fenomena perpindahan atlet ini pun disebabkan gengsi daerah. Selain tidak mau uang yang digelontorkan sia-sia, mereka juga tidak mau malu dengan daerah-daerah lain. Gayung bersambut karena atlet-atlet tergiur dengan iming-iming bonus yang ditawarkan, apalagi mungkin atlet-atlet itu tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan dari daerah asalnya,” jelas Othniel.
Menurut pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak, fenomena itu ikut dipicu tidak adanya sistem pembinaan yang jelas di daerah ataupun pusat. Sejauh ini, pembinaan olahraga hanya berorientasi pada hasil, bukan proses. Maka itu, banyak daerah memilih cara instan dengan ”membajak” atlet daerah lain.
”Jadi, biarkan atlet berpindah daerah dengan syarat memenuhi aturan. Ini justru menjadi pengingat untuk daerah asal atlet bahwa mereka belum bisa memberikan jaminan pembinaan dan kesejahteraan bagi atletnya. Lagi pula, tidak ada daerah yang bisa mencetak atlet berkualitas dunia. Semuanya dilakukan pelatnas,” ujar Fritz.