Atlet-atlet yang berkompetisi di Olimpiade Tokyo mengingatkan kita semua tentang arti kegembiraan dari hidup berdampingan, meskipun berbeda negara, ras, dan agama. Spirit itu menghadirkan optimisme di tengah pandemi.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·5 menit baca
Ajang multievent terbesar dunia, Olimpiade Tokyo 2020, resmi berakhir Minggu (8/8/2021) malam. Selama sekitar 17 hari penyelenggaraan, atlet-atlet yang berlaga di arena Olimpiade menyuguhkan sejumlah kisah kemanusiaan yang menyentuh. Deretan kisah-kisah itu menjadikan Olimpiade Tokyo lebih dari sekadar "pesta" olahraga, melainkan juga panggung kemanusiaan.
Olimpiade Tokyo melibatkan 11.091 orang atlet dari 5 benua dan 206 negara. Ratusan atlet tersebut berkompetisi satu sama lain, membawa nama baik dan harga diri negara masing-masing. Meskipun terlibat rivalitas sengit, nyatanya para atlet tersebut tidak mengenyampingkan semangat kemanusiaan.
Sejak pertama kali dihelat pada era modern, yaitu tahun 1896 di Athena, Yunani, Olimpiade mengusung cita-cita serta gagasan luhur bahwa olahraga mampu mewadahi, bahkan menciptakan gerakan kemanusiaan dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih layak untuk hidup.
Namun, seiring berjalannya waktu, gagasan luhur itu menjadi jargon semata. Olimpiade perlahan hanya menjadi wadah sejumlah negara untuk menghitung perolehan medali, eksistensi peringkat, dan rekor dunia.
Namun, Olimpiade Tokyo 2020 kali ini terasa sedikit berbeda. Para atlet yang berkompetisi di sana mengingatkan kita semua tentang arti kegembiraan dari hidup berdampingan meski berbeda negara, ras, dan agama. Kegembiraan macam itu sangat langka, yang tercermin dari sulitnya masyarakat dunia membayangkan manisnya hidup berdampingan dan saling menolong.
Pelari Amerika Serikat, Isaiah Jewett, telah mempertontonkan semangat menjunjung tinggi sportivitas serta menolong sesama, meskipun berbeda latar belakang. Ketika berlomba di semifinal lari nomor 800 meter putra, Jewett--yang berpeluang besar meraih medali--di tikungan terakhir tersandung oleh pelari Botswana, Nijel Amos.
Jewett berhak marah terhadap Amos. Impiannya meraih medali sirna seketika, hancur karena tersandung kaki Amos di detik-detik paling krusial sepanjang kariernya tersebut. Alih-alih berang dan memaki-maki, Jewett justru menghampiri dan merangkul Amos. Ia terenyuh melihat Amos yang terpukul.
“Hei kawan, ayo kita selesaikan balapan ini, kita belum selesai. Ayo kita selesaikan bersama," bisik Jewett kepada Amos, seperti dikutip USA Today.
Keduanya kemudian tertangkap kamera saling berangkulan sembari berjalan menuju garis finis. Medali pada akhirnya memang tak menjadi milik Jewett. Akan tetapi, dia mendapatkan hal yang lebih berharga, yaitu membuktikan rasa kemanusiaan itu masih ada dan tersisa.
Jewett memang kehilangan kesempatan mencatatkan namanya sebagai peraih medali. Namun, dia akan dikenang sepanjang masa sebagai atlet berjiwa besar yang rela membantu pesaing yang telah menghancurkan mimpinya.
Sembari berjalan bersama menuju garis finish, Amos berbisik meminta maaf atas kesalahannya. Jewett pun dengan senang hati memaafkannya. Bagi Jewett, menunjukkan sportivitas jauh lebih penting daripada memenangkan medali.
Meski memamerkan sederet kisah-kisah kemanusiaan, Olimpiade Tokyo juga tidak melupakan esensi dari semboyannya, yaitu untuk menjadi lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius), dan lebih kuat (fortius).
Lalu, di arena selancar, peselancar Jepang, Kanoa Igarashi, harus merelakan medali emas kepada pesaing utamanya, Italo Ferreira (Brasil). Igarashi sedari awal sangat berhasrat mempersembahkan medali emas. Lebih-lebih arena pertandingan selancar dilaksanakan di Pantai Tsurigasaki yang memiliki ikatan batin dengan keluarga Igarashi.
Kendati kalah, Igarashi pada akhirnya tetap membantu Ferreira sebagai penerjemah ketika ia diwawancarai oleh staf panitia Olimpiade. Tidak ada rasa sakit hati atau gengsi dari Igarashi ketika menolong Ferreira yang memang tidak begitu fasih berbahasa Inggris.
"Ya, terima kasih sudah membantu saya, Kanoa," kata Ferreira berseri-seri.
Ganda putri bulu tangkis Indonesia, Greysia Polii dan Apriyana Rahayu, juga memperlihatkan spirit yang sama. Walaupun berbeda agama, suku, dan usia, mereka saling bahu membahu dan berjuang habis-habisan di lapangan. Mereka pun menghadirkan emas pertama Indonesia dalam sejarah nomor ganda putri di Olimpiade.
Rekor dunia
Meski memamerkan sederet kisah-kisah kemanusiaan, Olimpiade Tokyo juga tidak melupakan esensi dari semboyannya, yaitu untuk menjadi lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius), dan lebih kuat (fortius). Semangat untuk menjadi lebih cepat, tinggi, dan kuat mendorong para olympians untuk tampil seoptimal mungkin dan meraih prestasi yang belum pernah terwujud di Olimpiade edisi sebelumnya.
Setidaknya ada 24 rekor dunia dari sejumlah cabang olahraga terukir di Olimpiade Tokyo. Cabang-cabang yang mencatatkan rekor dunia itu antara lain atletik, balap sepeda,menembak, panjat tebing, renang, dan angkat besi.
Di arena atletik nomor lari gawang 400 meter putri misalnya, pelari Amerika Serikat, Sydney McLaughlin, memecahkan rekor dunia atas namanya sendiri dengan waktu 51,46 detik. McLaughlin tiba di Tokyo sebagai pemegang rekor dunia dengan waktu 51,90 detik yang diraihnya saat mengikuti seleksi tim atletik AS untuk Tokyo 2020 pada Juni 2021.
”Tujuan saya sekarang berbeda. Pada hampir sepanjang hidup, saya selalu mencoba membuktikan sesuatu. Namun, itu selalu berakhir dengan rasa tidak puas pada diri saya. Sekarang, ketika berdiri di podium (di Tokyo), saya mempersembahkan keberhasilan saya kepada Tuhan,” katanya dikutip dari The Guardian.
Munculnya rekor-rekor dunia itu membuktikan situasi sulit karena pandemi Covid-19 tidak menghalangi atlet untuk mengasah kemampuan. Sejumlah atlet sebelumnya menyebut pandemi telah menghilangkan kesempatan mereka untuk melakukan serangkaian uji coba atau mengikuti kejuaraan internasional.
Semangat untuk menjadi lebih cepat, tinggi, dan kuat, juga tercermin dari ketatnya persaingan di beberapa cabor, salah satunya renang. Kekuatan cabor renang yang sejak dulu dimonopoli Amerika Serikat mulai goyah di Tokyo. Australia mulai mengganggu dominasi Amerika Serikat seiring munculnya perenang-perenang mereka di atas podium juara.
Perenang Australia, Ariarne Titmus, memenangkan duel bergengsi di nomor 400 meter gaya bebas atas "ratu" renang Amerika Serikat, Katie Ledecky. Amerika Serikat tidak bisa seleluasa dulu ketika memonopoli perolehan medali emas dari arena renang.
Australia kini mulai muncul sebagai kekuatan baru renang seiring keberhasilan mereka meraih 9 medali emas. Sedangkan Amerika Serikat hanya mengoleksi 11 medali emas di Tokyo. Padahal, pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016, mereka bisa mengamankan 16 medali emas.
Pecahnya rekor-rekor dunia dan munculnya kekuatan baru di sejumlah cabor menunjukkan Olimpiade Tokyo juga tidak kehilangan ruhnya sebagai tempat atlet-atlet terbaik dunia mengukir prestasi, namun tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Maka, Olimpiade Tokyo menjadi momentum bagi kita untuk merayakan rasa kemanusiaan.