Panitia Tepis Dugaan Olimpiade Jadi Penyebab Lonjakan Kasus Covid-19 di Tokyo
Para atlet dan delegasi dari negara luar ditengarai membawa virus varian baru dan berpotensi menularkannya kepada penduduk Tokyo. Namun, panitia menepis dugaan itu.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Jumlah kasus positif Covid-19 di Jepang dilaporkan meningkat menjelang penutupan Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (8/8/2021) malam. Sebagian pihak menduga Olimpiade Tokyo 2020 menjadi salah satu penyebabnya. Perwakilan panitia penyelenggara Olimpiade menepis dugaan tersebut.
Kantor Berita Jepang, Kyodo News, Senin (9/8), melaporkan, ada penambahan 4.066 kasus Covid-19 baru di hari terakhir pertandingan atau pada hari penutupan Olimpiade Tokyo 2020. Jumlah tersebut melampaui 4.000 kasus yang tercatat selama lima hari berturut-turut sebelum penutupan Olimpiade.
Menjelang dimulainya Olimpiade, otoritas Kota Tokyo menyebut jumlah penambahan kasus harian berkisar 1.359 kasus. Sejak itu, jumlah kasus baru dilaporkan terus meningkat.
Kekhawatiran terhadap melonjaknya kasus harian Covid-19 sudah muncul beberapa bulan sebelum Olimpiade dimulai. Masyarakat Jepang khawatir Olimpiade yang menyedot lebih dari 50.000 orang mulai dari pejabat, media, dan atlet bakal menularkan virus varian baru sehingga pasien baru akan membanjiri fasilitas kesehatan setempat.
”Memang benar saya sedikit khawatir terkait ancaman penyebaran virus,” kata Reita Goto (21), salah seorang warga Tokyo.
Olimpiade dimulai pada 23 Juli 2021 saat Kota Tokyo dan sejumlah prefektur lain di Jepang dinyatakan dalam keadaan darurat Covid-19. Selain itu, kekhawatiran masyarakat kian bertambah karena cakupan vaksinasi di Jepang tergolong masih rendah. Ancaman varian Delta yang lebih mudah menular juga awalnya mendorong sebagian masyarakat menentang perhelatan Olimpiade.
Pelaksanaan Olimpiade dinilai dapat mereduksi kewaspadaan masyarakat Jepang. Sebab, ada paradoks kebijakan yang diambil pemerintah setempat. Di satu sisi, mereka memperbolehkan ribuan warga negara asing untuk masuk ke Jepang, tetapi masyarakat luas diminta tetap di dalam rumah.
”Kepercayaan nasional sekarang sedang dalam keadaan rapuh,” kata Nobuko Kobayashi, konsultan dari Ernst & Young, yang secara teratur menulis tentang masalah sosial di Jepang.
Peneliti senior di Universitas Tokyo, Kei Sato, menjadi orang yang menduga Olimpiade bakal menyebabkan lonjakan kasus baru di Tokyo. Para atlet dan delegasi dari negara luar ditengarai membawa virus varian baru dan berpotensi menularkannya kepada penduduk Tokyo. Namun, setelah Olimpiade berlangsung, Sato menyangsikan dugaan awalnya itu.
Argumentasi Sato didasarkan pada tingkat vaksinasi para Olimpian, panitia penyelenggara, dan media mencapai lebih dari 70 persen. Selain itu, penyelenggara menerapkan protokol kesehatan ketat dengan sistem gelembung (bubble).
Dalam sistem tersebut, seluruh pihak yang terlibat dalam Olimpiade wajib untuk menjalani tes Covid-19 harian. Olimpiade Tokyo juga bebas dari penonton domestik ataupun internasional.
Di dalam gelembung, wartawan, harus melaporkan suhu dan kondisi mereka setiap hari. Mereka diharuskan mengunduh aplikasi pelacakan kontak dan dilarang menggunakan transportasi umum. Masker pun wajib dikenakan ketika berada di pusat media.
”Tidak ada peluang bagi virus untuk bermutasi,” ucapnya.
Tidak ada kasus Covid-19 yang serius di Kampung Atlet.
Penasihat Utama Penyelenggara Olimpiade Brian McCloskey mengemukakan, sistem gelembung yang diterapkan berjalan efektif. Penyelenggara Olimpiade mencatat ada 404 kasus infeksi Covid-19 di lingkungan Olimpiade sejak 1 Juli. Penyelengara melakukan hampir 600.000 tes penapisan dengan tingkat infeksi sebesar 0,02 persen.
”Tidak ada kasus Covid-19 yang serius di Kampung Atlet,” kata McCloskey. Ada lebih dari 10.000 atlet yang tinggal di Kampung Atlet selama Olimpiade berlangsung.
Beberapa ahli, seperti Profesor Kesehatan Masyarakat di Universitas Kesehatan dan Kesejahteraan Internasional Tokyo, Koji Wada, mengatakan, terlalu dini menarik kesimpulan tentang dampak langsung Olimpiade terhadap penyebaran virus di Tokyo.
Wada dan yang lainnya mengamini bahwa Olimpiade telah merusak kepercayaan publik. Sebab, di satu sisi, Pemerintah Jepang meminta warga untuk taat dan disiplin protokol kesehatan, termasuk berdiam diri di rumah untuk meminimalisasi kontak dengan orang lain. Namun, di sisi lain, para atlet berteriak, berpelukan, dan saling menepuk punggung selama kompetisi.
McCloskey menyampaikan, data kesehatan yang dikumpulkan selama dua pekan penyelenggaraan Olimpiade, termasuk di dalam Kampung Atlet, akan dianalisis dan diterbitkan sehingga negara-negara dapat menggunakannya untuk membantu merencanakan tanggapan mereka terhadap virus Covid-19. (AFP/REUTERS)