Olimpiade Tokyo 2020 telah memenangi gerilya melawan Covid-19 berkat kuatnya spirit kemanusiaan yang diperlihatkan para atlet. Kemenangan penting itu bisa menjadi inspirasi warga dunia melawan pandemi.
Oleh
AGUNG SETYAHADI dan I Gusti AB Angga Putra
·4 menit baca
TOKYO, KOMPAS - Olimpiade Tokyo 2020 ditutup sederhana, Minggu (8/8/2021) di Jepang. Selain mematahkan pesimisme, satu-satunya Olimpiade yang digelar di masa pandemi itu memunculkan harapan bersama lewat kentalnya spirit kemanusiaan dan daya lenting para atlet peserta.
Di tengah ancaman Covid-19, khususnya varian delta yang sangat mudah menular, sebanyak 339 nomor pertandingan dari 33 cabang olahraga di Tokyo 2020 telah selesai digelar. Bahkan, setidaknya 24 rekor dunia telah tercipta meskipun Olimpiade tahun ini digelar dalam kondisi tak lazim, yaitu tanpa keriuhan penonton dan wajib mengikuti protokol kesehatan rumit serta ketat, seperti tes Covid-19 rutin.
Sejak 1 Juli lalu, Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 (TOCOG) telah melakukan lebih dari 600.000 tes usap atau PCR. Tercatat 404 jumlah kasus positif Covid-19 hingga Sabtu (7/8). Namun, kasus-kasus itu tidak sampai mengganggu jalannya pertandingan.
Terciptanya 24 rekor dunia di Tokyo menjadi penegas bahwa 11.091 atlet dari 206 negara telah berupaya menjaga semboyan Olimpiade, yaitu lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat. Kekhawatiran bahwa Covid-19 bakal menurunkan performa dan kualitas daya saing atlet tidaklah sepenuhnya terbukti.
”Kalian, para atlet, telah melalui tantangan yang tak terkira lewat kerja keras dan ketekunan. Kalian adalah Olimpian sejati,” ujar Presiden Olimpiade Tokyo 2020 Seiko Hashimoto dalam upacara penutupan seperti dilaporkan wartawan Kompas Agung Setyahadi di Tokyo, Jepang.
Kerja keras dimaksud antara lain terlihat dari perjuangan para atlet Amerika Serikat. Mereka menyalip China di puncak daftar perolehan medali berkat kemenangan tim putri mereka di basket dan voli, Minggu. AS mengoleksi 39 medali emas, sementara China 38 emas.
Padahal, tim AS sempat terpukul ketika salah satu bintang mereka, Simone Biles, mundur dari sejumlah nomor unggulan pendulang medali emas di cabang senam artistik. Biles mundur akibat kesehatan mental yang menjadi masalah klise sebagian atlet di masa pandemi.
Di masa yang sulit ini, kalian semua telah memberikan dunia hadiah yang paling berharga, yaitu harapan. (Thomas Bach, IOC)
Namun, Biles lantas menaklukkan kecemasannya itu dengan tampil dan meraih medali perunggu di nomor balok keseimbangan putri. ”Kalian telah menunjukkan keberanian di sana. Terima kasih untuk kegembiraan, kebanggaan, dan harapan yang telah kalian berikan,” ujar Presiden AS Joe Biden dalam wawancara virtual dengan para atlet AS dikutip CNN.
Kegembiraan yang dimaksud Biden terlihat pula dari kuatnya spirit kemanusiaan di Tokyo. Di tengah tingginya tuntutan prestasi, pelari AS, Isaiah Jewett, memperlihatkan bahwa medali bukanlah segala-galanya.
Saat berlomba di nomor lari 800 meter putra, Jewett tersandung oleh pelari Botswana, Nijel Amos, menjelang garis finis. Padahal, Jewett berpeluang besar meraih medali, saat itu.
Saling merangkul
Alih-alih berang dan memaki-maki Amos karena impiannya meraih medali musnah seketika, Jewett justru menghampiri dan merangkul lawannya itu. Mereka tertangkap kamera saling berangkulan dan berjalan menuju garis finis. Amos pun berbisik dan meminta maaf.
”Hei kawan, ayo kita selesaikan balapan ini. Kita belum selesai. Mari kita selesaikan bersama,” bisik Jewett kepada Amos, dikutip USA Today.
Medali Olimpiade memang tidak menjadi milik Jewett. Namun, dia mendapatkan hal yang lebih berharga, yaitu rasa hormat dan haru dari lawannya. Momen serupa juga terlihat pada final loncat tinggi putra. Dua atlet di cabang itu, Mutaz Essa Barshim (Qatar) dan Gianmarco Tamberi (Italia), berbagi medali emas, Minggu (1/8) lalu.
Hal langka yang kali terakhir sebelumnya terjadi pada Olimpiade London 1908 itu tercipta setelah mereka berkali-kali gagal menunjukkan loncatan terbaik untuk menentukan pemenang. Mereka sama-sama mencatatkan loncatan terbaik, yaitu 2,37 meter, dalam pertandingan di Stadion Olimpiade itu.
Enggan menyakiti satu sama lainnya, karena mengetahui besarnya perjuangan yang dibuat untuk tampil di final, Barshim bertanya ke panitia apakah medali emas bisa diraih bersama. Setelah dinyatakan boleh, mereka pun berpelukan girang.
”Kami telah melalui banyak hal bersama. Cedera yang sama dan tantangan fisik serta mental yang sama. Saya menghargai apa yang dia lakukan dan dia pun demikian ke saya. Ini luar biasa,” ujar Barshim saat itu.
Persahabatan kuat yang melampaui sekat juga diperlihatkan ganda putri bulu tangkis Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Kedua atlet yang berbeda agama, etnis, dan usia, itu memberikan satu-satunya medali emas untuk Indonesia.
”Di masa yang sulit ini, kalian semua telah memberikan dunia hadiah yang paling berharga, yaitu harapan,” ujar Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach.