Indonesia Harus Berbenah Menuju Paris 2024
Indonesia gagal memperbaiki prestasi pada Olimpiade Tokyo 2020. Jika ingin memperbaikinya pada Olimpiade Paris 2024, Indonesia harus segera berbenah dan memfokuskan anggaran pada cabang yang berpotensi meraih medali.
JAKARTA, KOMPAS Indonesia mampu mempertahankan tradisi emas di Olimpiade Tokyo 2020, tetapi dibandingkan Olimpiade Rio de Janeiro 2016, prestasi kali ini turun. Indonesia harus segera berbenah jika ingin memperbaiki prestasi pada Olimpiade Paris 2024.
Pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak, Minggu (8/8/2021) di Jakarta, mengatakan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Komite Olimpiade Indonesia, dan pengurus cabang hanya memiliki waktu tiga tahun untuk membuat peta jalan menuju Paris 2024 dan segera mewujudkannya. Pemerintah diminta lebih fokus kepada cabang-cabang yang berpeluang merebut emas ataupun medali.
Sejauh ini, bulu tangkis dan angkat besi tetap menjadi andalan. Dengan peta jalan yang baik, Indonesia bisa memastikan langkah yang bisa langsung dieksekusi agar bulu tangkis dapat menambah perolehan emas dari satu menjadi dua atau lebih dan angkat besi bisa mendapatkan emas bukan hanya perak dan perunggu.
Langkah konkret wajib segera diambil. Di bulu tangkis, dengan usia saat ini 30 tahun atau lebih, sulit bagi Marcus Fernaldi Gideon (30), Greysia Polii (33), Mohammad Ahsan (33), dan Hendra Setiawan (36) tetap berada di puncak peforma pada Paris 2024. Pemain pengganti harus segera dimatangkan dalam berbagai kompetisi.
Demikian juga di angkat besi. Meskipun punya tekad besar, Eko telah berusia 32 tahun sehingga bakal sulit bersaing meraih emas di Olimpiade 2024. Para lifter muda, seperti Windy Cantika Aisah yang merebut perunggu 49 kg Olimpiade Tokyo dan Rahmat Erwin Abdullah yang mendapatkan perunggu 73 kg Olimpiade Tokyo harus digenjot untuk mengejar emas Paris 2024.
”Jadi, Indonesia jangan muluk-muluk memakai grand design olahraga nasional (GDON), cukup dengan peta jalan dulu. Kita butuh peta jalan agar bisa langsung eksekusi,” kata Fritz.
Jadi, Indonesia jangan muluk-muluk memakai grand design olahraga nasional (GDON), cukup dengan peta jalan dulu. Kita butuh peta jalan agar bisa langsung eksekusi.
Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Dikdik Zafar Sidik mengatakan, Kemenpora lebih baik fokus meningkatkan perolehan medali emas di Olimpiade berikutnya. Kemenpora perlu memahami, selain bulu tangkis dan angkat besi sebagai penyumbang medali utama, cabang panjat tebing, panahan, dan atletik juga berpeluang meraih medali.
Baca juga : Greysia dan Eko Yuli Bersedia Membantu Regenerasi Atlet
”Untuk mencapai target maksimal, dukungan anggaran juga harus maksimal. Anggaran perlu benar-benar difokuskan kepada cabang yang dapat meraih medali di Olimpiade, jangan lagi dibagi rata,” kata Dikdik.
Fritz dan Dikdik juga mengkritik rencana Kemenpora yang mengubah paradigma target di Olimpiade. Pada beberapa kesempatan, Menpora Zainudin Amali menuturkan, lewat GDON, Kemenpora ingin menjadikan Olimpiade sebagai target utama prestasi. SEA Games dan Asian Games sebagai target antara.
Kemenpora pun ingin mengubah konsep target dari bertumpu pada perolehan medali, menjadi menyasar peringkat. Tujuannya, agar penyumbang medali Indonesia tidak terpaku dengan satu-dua cabang saja melainkan meluas ke cabang-cabang lain.
Baca juga : PSSI Masih Bermimpi ”Tim Garuda” Tampil di Olimpiade Paris 2024
Namun, Fritz dan Dikdik menilai rencana itu tidak relevan untuk Indonesia saat ini. Jumlah atlet Indonesia yang bisa lolos ke Olimpiade masih sangat terbatas. Pada Olimpiade Tokyo, jumlah atlet Indonesia hanya 28 orang dari delapan cabang.
”Dengan kontingen seperti itu, bagaimana mau bicara target peringkat? Kita belum layak bicara target peringkat, kecuali kalau kita sudah mampu bersaing di lima besar. Untuk sekarang, kita lebih baik fokus saja dulu mengejar emas yang lebih banyak. Apalagi seusai Olimpiade Barcelona 1992, kita belum pernah lagi dapat lebih dari satu emas,” kata Fritz.
Prestasi turun
Hingga hari terakhir Olimpiade Tokyo, Indonesia berada di urutan ke-55 dengan satu emas, satu perak, dan tiga perunggu. Peringkat Indonesia itu turun sembilan tingkat dibanding saat Olimpiade 2016, yakni di urutan ke-46 dengan satu emas dan dua perak.
Di Asia, Indonesia berada di bawah China di urutan kedua (38 emas, 32 perak, 18 perunggu), Jepang ketiga (27 emas, 14 perak, 17 perunggu), dan Korea Selatan ke-16 (enam emas, empat perak, 10 perunggu). Bahkan, ada tujuh negara yang berada di bawah Indonesia pada Asian Games 2018, tetapi justru punya peringkat lebih baik pada Olimpiade Tokyo.
Baca juga : Berakhirnya Kemeriahan Olimpiade Tokyo 2020
Negara-negara itu, yakni Iran ke-27 (tiga emas, dua perak, dua perunggu), Uzbekistan ke-32 (tiga emas, dua perunggu), Taiwan ke-34 (dua emas, empat perunggu, enam perunggu), Qatar ke-41 (dua emas, satu perunggu), India ke-48 (satu emas, dua perak, empat perunggu), dan Hongkong ke-49 (satu emas, dua perak, tiga perunggu), dan Filipina ke-50 (satu emas, dua perak, satu perunggu).
Anggaran belum fokus
Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia, Dikdik Zafar Sidik mengatakan, salah satu penyebab prestasi Indonesia tidak lebih baik di Olimpiade Tokyo adalah masih kurang fokus dalam politik anggaran pembinaan. Tahun ini misalnya, anggaran pembinaan masih terbaik untuk Olimpiade dan SEA Games 2021 Vietnam yang akhirnya ditunda.
Padahal, sebelumnya, pemerintah berkomitmen fokus ke Olimpiade. ”Selain bulu tangkis yang relatif sudah mandiri, cabang-cabang lain yang masih sangat butuh dukungan pemerintah untuk menjalankan roda pembinaan,” katanya.
Situasi itu kian berdampak negatif terhadap atlet selama pandemi Covid-19. Apalagi Indonesia kurang pandai menyiasati kendala tersebut. Akhirnya, banyak atlet yang selepas lolos kualifikasi justru tidak bisa mempersiapkan diri dengan maksimal. Contohnya, bulu tangkis. Setelah banyak kejuaraan ditunda, mereka justru diminta mundur ketika mengikuti All England 2021, Maret silam.
Pelari Lalu Muhammad Zohri sempat dikembalikan ke daerah karena pandemi Covid-19. Di daerah, pelari berusia 21 tahun ini tidak bisa menjalani latihan dengan maksimal. Sekembali ke pelatnas, dia justru mengalami cedera lutut pada Oktober dan menjalani operasi pada November.
Selama Desember hingga Maret, Zohri tidak bisa latihan normal. Baru memasuki April, dirinya berlatih normal untuk persiapan ikut uji coba Olimpiade di Tokyo pada Mei. Jadi, dia hanya memiliki waktu sekitar tiga bulan untuk berlatih normal dengan cuma satu kejuaraan sebagai pemanasan sebelum mengikuti Olimpiade.
Akibat masalah dengan pengurus cabang, Eko Yuli Irawan terpaksa menjalani latihan mandiri dan tidak mengikuti kejuaraan internasional selama kurang lebih setahun setengah terakhir. Demikian dialami pemanah Riau Ega Agatha Salsabila dan pemanah putri, Diananda Choirunisa. Dua pemanah ini terpaksa berlatih di daerah sebelum dipanggil lagi oleh pelatnas April lalu.
”Ini sangat memprihatinkan. Sebab, di luar, persiapan atlet menuju Olimpiade itu dilakukan bertahun-tahun sebelum ajang dimulai. Sementara di sini, justru banyak atlet terkendala dan tidak bisa menjalani persiapan maksimal jelang Olimpiade berlangsung,” tuturnya.
Semua faktor negatif itu semua patut menjadi catatan untuk melakukan evaluasi menyeluruh demi mencapai prestasi lebih baik di Olimpiade Paris 2024. Mengingat, Olimpiade selanjutnya itu berlangsung tiga tahun lagi, bahkan kualifikasi sudah dimulai dalam waktu dekat.
Kemenpora bertanggungjawab
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto menyatakan, pihaknya siap bertanggungjawab atas kegagalan Indonesia mencapai prestasi lebih baik di Olimpiade Tokyo. Mereka berjanji akan segera melakukan evaluasi yang serius supaya prestasi membaik di Olimpiade 2024.
Salah satu kuncinya adalah penerapan GDON yang diharapkan ditetapkan sebagai Peraturan Presiden. Jika menjadi Perpres, GDON bisa diterapkan untuk membangun sinergi antarkementerian atau lembaga, guna mengatasi keterbatasan anggaran pembinaan olahraga.
Dalam GDON, Kemenpora menetapkan 14 cabang prioritas nasional berdasarkan prestasi mereka di level internasional. Dari cabang-cabang itu, prestasi Indonesia diharapkan lebih baik di Olimpiade berikutnya.
Cabang yang diandalkan untuk merebut emas di Paris 2024 adalah bulu tangkis, angkat besi, dan panjat tebing. ”Dengan GDON ini, mereka berpeluang melakukan persiapan lebih matang. Sebab, bakal ada dukungan anggaran yang lebih besar karena ada dukungan program bapak angkat dari BUMN,” kata Gatot.