Sifan Hassan memenangi persaingan antara juara dunia dan pemegang rekor dunia saat berlari melawan Letesenbet Gidey di nomor lari 10.000 meter putri. Hassan pun memetik medali ketiganya di Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
TOKYO, SABTU - Dua bintang menjadi sorotan jelang final lari 10.000 meter putri Olimpiade Tokyo 2020, yaitu juara dunia lawan pemegang rekor dunia. Sifan Hassan (Belanda), sang juara dunia, memenangi persaingan tersebut.
Pemegang rekor dunia yang dikalahkannya dan akhirnya meraih perunggu di Stadion Olimpiade, Tokyo, Sabtu (7/8/2021), adalah Letesenbet Gidey (Ethiopia). Hassan menyelesaikan 25 putaran dalam waktu 29 menit 55,32 detik, sedangkan Gidey 30 menit 1,72 detik. Medali perak diraih pelari Bahrain, Kalkidan Gezahegne, dengan 29 menit 56,18 detik. Meski mewakili negara berbeda, Hassan dan Gezahegne lahir di Ethiopia seperti Gidey.
Medali ketiga bagi Hassan, setelah emas nomor 5.000 m dan perunggu 1.500 m, ini didapat berkat kekuatan tekadnya untuk tampil baik di tiga nomor. Dalam final 10.000 m, Hassan tak pernah memimpin lomba yang diikuti 29 pelari ini hingga jarak tersisa 150 meter.
Pada sisa jarak itu, dia melampaui Gidey yang memimpin sejak putaran kedelapan. Gezahegne menyusul di belakangnya. Berada di antara pelari-pelari paling belakang yang mereka lewati, bahu Hassan dan Gidey beradu saat untuk terakhir kalinya melintasi tikungan. Gezahegne tetap mengikuti Hassan, sedangkan Gidey terlihat tak berusaha menambah kecepatannya.
Atas upaya yang menguras tenaga itu, apalagi setelah tampil pada final 1.500 m sehari sebelumnya, Hassan muntah setelah menyelesaikan lomba.
”Saya sangat bersyukur dan tidak berpikir bisa lebih baik dari ini. Saat pembagian medali, saya sadar bahwa ini telah selesai dan sekarang saya bisa tidur,” komentar Hassan.
Nomor 10.000 m putri menjadi salah satu nomor yang paling dinanti karena rivalitas Hassan dan Gidey. Dua bulan sebelumnya, persaingan mereka terjadi dalam momen pemecahan rekor dunia.
Hassan (28), yang berlaga dalam FBK Games di Hengelo, Belanda, 6 Juni, membuat rekor dunia baru dengan waktu 29 menit 6,82 detik. Dia memecahkan rekor milik pelari Ethiopia, Almaz Ayana, 29 menit 17,45 detik yang dibuat di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Rekor Hassan ternyata hanya bertahan dua hari. Gidey membuat catatan waktu lebih baik, 29 menit 1,3 detik, dalam seleksi Tim Ethiopia untuk Tokyo 2020 di tempat yang sama. Pelari berusia 23 tahun itu juga, memegang rekor dunia 5.000 m. Namun, di Tokyo, Gidey hanya mengikuti 10.000 m.
Bekerja keras
Momen di Hengelo memotivasi Hassan untuk bekerja lebih keras. ”Saya senang rekor saya dipecahkan hanya dalam dua hari, karena 10.000 m menjadi nomor yang menarik. Itu juga memotivasi saya untuk bekerja keras,” komentarnya sebelum tiba di Tokyo.
Sebelum bertemu di Tokyo, keduanya hanya pernah bersaing langsung pada satu momen, yaitu Kejuaraan Dunia Atletik Doha 2019. Hassan mengalahkan Gidey yang finis kedua. Dia juga menjadi juara dunia pada nomor 5.000 m.
Perempuan dapat melakukannya, kami kuat. Jika Anda sangat menginginkannya dan Anda kuat, Anda bisa melakukannya. Banyak orang bisa melakukannya.
Dengan emas dari 10.000 m, Hassan menyamai idolanya Tirunesh Dibaba (Ethiopia) yang meraih emas 5.000 dan 10.000 m dalam satu Olimpiade, Beijing 2008. Di Tokyo, dia bahkan tampil dalam tiga nomor.
Tampil sejak penyisihan, semifinal, hingga final, Hassan tampil dalam lima dari sembilan hari persaingan atletik di Olympic Stadium. Total, dia telah berlari sekitar 61 putaran.
”Banyak orang bilang saya gila. Percayalah, menurut saya, saya memang gila,” katanya. ”Perempuan dapat melakukannya, kami kuat. Jika Anda sangat menginginkannya dan Anda kuat, Anda bisa melakukannya. Banyak orang bisa melakukannya,” lanjutnya.
Hasil tiga medali itu menjadi penampilan fenomenal atlet atletik setelah Emil Zatopek (Cekoslowakia) meraih emas dalam 5.000, 10.000, dan maraton putra di Helsinki 1952.
Pengungsi
Meski mewakili Belanda, Hassan lahir di Adama, Oromia, Ethiopia, negara yang melahirkan banyak pelari jarak jauh papan atas dunia. Hassan pindah ke Belanda pada usia 15 tahun, tahun 2008, sebagai pengungsi dengan alasan yang tak pernah diutarakan. Dia menjadi warga negara Belanda sejak 2013.
”Saya tak mau berbicara tentang alasan pindah karena saya harus bicara tentang politik dan saya tidak suka politik,” ujarnya pada surat kabar NRC di Belanda.
Ketika pertama kali tiba di Belanda, dia bergabung dengan pencari suaka muda lainnya di Zuidlaren. ”Saya menangis setiap hari karena tidak bisa keluar dari tempat itu. Rasanya seperti penjara,” katanya.
Pada supervisornya, Hassan mengatakan, dia ingin belajar berlari. Dia pun dibantu didaftarkan pada klub atletik Lionitas di Leeuwarden. Hassan hanya membawa sepasang sepatu usang. Sepatu baru yang diberikan klub akhirnya menjadi langkah pertamanya menuju Olimpiade.
Atlet putri lain yang tampil fenomenal adalah pelari AS, Allyson Felix. Atlet berusia 35 tahun itu menjadi anggota tim AS yang meraih medali emas estafet 4x400 m bersama Sydney McLaughlin, Dalilah Muhammad, dan Athing Mu.
Dengan satu perunggu dari 400 m, dalam final sehari sebelumnya, Felix mengumpulkan 11 medali, tujuh di antaranya emas, dari lima Olimpiade sejak Athena 2004. Dia mengungguli Carl Lewis yang sebelumnya menjadi atlet atletik AS dengan medali terbanyak, yaitu 10 medali, sembilan di antaranya emas. Tim putra AS melengkapi pretasi Felix dan kawan dengan emas dari nomor yang sama. (AFP/REUTERS)