Saat Tim Putri Jepang Mematahkan Asumsi Tinggi Badan
Tim bola basket putri Jepang boleh saja kalah dalam tinggi badan. Namun, tidak halnya dengan kegigihan, kecepatan, teknik, dan inteligensi. Mereka telah memutarbalikkan asumsi di permainan bola basket.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Asumsi pentingnya tinggi badan pemain di permainan bola basket sudah sangat melekat, ibarat tangan kuat yang wajib dimiliki petinju. Karena keranjang berada di atas kepala, pemain lebih tinggi dianggap bisa semakin dominan. Asumsi logis yang sudah menua ini dipatahkan oleh tim putri Jepang di Olimpiade Tokyo 2020.
Jepang, sebagai tim terpendek kedua, memastikan langkah ke partai puncak seusai menang atas para pebasket tinggi Perancis, 87-71, dalam laga semifinal bola basket putri Olimpiade Tokyo 2020 di Arena Saitama Super, Saitama, Jumat (6/8/2021). Bagi tim peraih perunggu Asian Games Jakarta 2018 ini, laga final adalah capaian terjauh mereka sepanjang sejarah Olimpiade.
Fakta uniknya, rata-rata pemain inti tim asuhan pelatih Tom Hovasse ini hanya 1,75 meter. Mereka hanya 0,2 sentimeter lebih tinggi dari tim terpendek di Tokyo, yaitu Puerto Riko yang sudah gugur lebih dulu di babak grup. Dalam skuad itu, bahkan terdapat guard utama setinggi 1,62 meter, Rui Machida.
Machida dan kawan-kawan mengalahkan Perancis yang rata-rata tinggi starternya 1,81 meter. Perancis juga punya pemain center setinggi 1,93 meter, Sandrine Gruda. Tinggi pemain di atas 1,9 meter itu tidak dimiliki Jepang. Ketimpangan tinggi badan jelas terlihat di lapangan.
Jika berpegang pada asumsi ”kuno” di bola basket, Perancis akan keluar sebagai pemenang. Nyatanya, Jepang menggurui tim raksasa lawan sekali lagi. Ini adalah kemenangan kedua tim tuan rumah atas Perancis setelah di babak grup (74-70). Dua kemenangan beruntun ini cukup menandakan Jepang tak hanya sedang beruntung.
Jepang membuktikan, bola basket modern tidak hanya sekadar tinggi badan. Faktor utama kemenangan mereka adalah efektivitas tinggi dari lemparan tiga poin. Mereka mencatat akurasi 50 persen atau 11 bola masuk dari 22 kali percobaan.
Akurasi lemparan jauh itu terbilang sangat tinggi dalam satu pertandingan, baik di nomor putri maupun putra. Capaian ini juga jauh mengungguli Perancis, yang hanya mencatat akurasi 29 persen (7-24) dari luar garis tiga poin.
Efektifnya lemparan para pasukan ”Negeri Sakura” diakui oleh forward Perancis, Endene Miyem. ”Kami membiarkan mereka tampil dengan gaya bermain andalan, lewat 3 poin. Kami tahu itu, tetapi tidak bisa menghentikannya,” ujarnya.
Berkat efektivitas itu, Jepang bisa semakin mengeluarkan kelebihan utama mereka, yaitu kecepatan dan kelincahan. Dua faktor ini sudah pasti menjadi keunggulan Jepang sebagai tim yang lebih kecil.
Setelah dihujani tiga poin, pertahanan Perancis akan fokus menjaga area luar. Di titik ini, Jepang bisa mengeksploitasi lawan dengan kecepatan mereka. Mereka berkali-kali menciptakan poin mudah lewat penetrasi yang diakhiri lay-up setelah pura-pura ingin menembak 3 poin.
Efektivitas lemparan dan kecepatan gerakan ini menjadi ciri khas menakutkan Jepang sejak babak grup. ”Kami adalah tim terkecil. Itu bukan hal yang kami pikirkan. Kami justru sadar untuk menggunakan kecepatan dan ruang untuk membuat lemparan. Kami bisa memanfaatkan itu untuk menang,” ujar Hovasse yang mulai melatih Jepang sejak 2017.
Tak hanya itu, Jepang yang sudah kalah dalam ”modal awal” tinggi badan juga punya kelebihan lain. Mereka bermain sebagai satu kesatuan. Di semifinal, skor tertinggi dihasilkan Himawari Akaho (17 poin) dan Yuki Miyazawa (14 poin). Selebihnya, 10 pemain lain termasuk cadangan punya peran sama.
Semua anggota tim Jepang (12 pemain) menyumbang poin saat Perancis hanya mengandalkan 8 pemain. Spesialnya, 8 dari 12 pemain Jepang menyumbang setidaknya satu kali lemparan 3 poin. Hal itu yang memperlihatkan tim tuan rumah bisa mengancam dengan seluruh pemain di lapangan.
Energi besar
Hal paling menarik dalam laga semifinal adalah Jepang bisa memenangi pertarungan rebound, 36-33. Mereka memang punya kesempatan unggul lebih besar dalam perebutan pantul karena Perancis melakukan percobaan tembakan lebih banyak 10 kali. Pada dasarnya, rebound saat bertahan lebih mudah dibandingkan ketika menyerang.
Namun, setidaknya angka tersebut menunjukkan Jepang yang kalah tinggi badan masih bisa mengimbangi Perancis. Mereka kembali melawan logika di permainan bola basket, yang menyebut pemain lebih tinggi punya kans besar mendominasi rebound.
Kami adalah tim terkecil. Itu bukan hal yang kami pikirkan. Kami justru sadar untuk menggunakan kecepatan dan ruang untuk membuat lemparan. Kami bisa memanfaatkan itu untuk menang.
Kunci utamanya adalah kegigihan. Mereka mau bertarung dengan dengan para raksasa Perancis. Saat bersamaan, mereka juga punya penempatan posisi baik dan tubuh kuat. Gabungan faktor ini menepis kekurangan biologis pemain tuan rumah, yang lahir sebagai keturunan Asia Timur.
Tim putri Jepang seperti mengulang kisah kehebatan mantan pemain NBA Dennis Rodman yang dikenal sebagai ”Raja Rebound”. Dia hanya setinggi 2,01 meter tetapi bisa mendominasi perebutan bola pantul atas pemain center era 1990-an, seperti Patrick Ewing (2,13 meter). Rodman menggabungkan teknik penempatan posisi, lompatan, hingga tubuh atletis.
Sedari awal, Hovasse tidak pernah terkejut Jepang bisa masuk final. Sang pelatih bahkan menargetkan emas untuk anak asuhnya. ”Mereka (pemain) berpikir saya gila. Namun, mereka tidak bisa berpikir itu lagi. Kami punya kesempatan selama bermain dengan energi dan determinasi,” ujar mantan pemain NBA tersebut.
Di sisi lain, Machida sebagai pemain terpendek di lapangan juga mematahkan langsung asumsi tinggi badan. Point guard ini baru saja mencetak rekor baru di Olimpiade sebagai pencetak assist terbanyak dalam satu laga (18 kali, di semifinal). Machida sekarang memegang tiga catatan assist terbanyak sekaligus, 18 kali, 15 kali, dan 14 kali.
Pebasket 28 tahun ini memperlihatkan banyak cara untuk bisa menonjol dalam permainan bola basket. Keunggulan fisik bisa digantikan dengan inteligensi tinggi di lapangan. Justru, dia bisa lebih baik dari guard tinggi lain.
Tim tuan rumah akan menghadapi raksasa lebih besar di partai perebutan emas pada Minggu pagi. Mereka dinanti juara bertahan enam kali beruntun yang merupakan negara kiblat bola basket, Amerika Serikat.
Laga ini akan menjadi seperti duel raksasa versus kurcaci. AS punya skuad utama dengan rerata tinggi 1,86 meter, lebih tinggi 11 sentimeter dibandingkan dengan Jepang. Tim AS juga lebih diunggulkan karena sudah menang sekali di babak grup, 86-69.
Apa pun hasilnya nanti, tim putri Jepang sudah membuat lompatan besar di Olimpiade. Prestasi mereka tidak hanya semata untuk Jepang, tetapi juga akan menginspirasi seluruh Asia. Mereka menyadarkan, bola basket bukanlah permainan inklusif hanya untuk pemain dengan bibit fisik unggul dari AS ataupun negara-negara Eropa. (AP)