Perhatikan Pembinaan, Bukan Cuma Bonus Mencengangkan
Pemberian bonus kepada para atlet berprestasi di Olimpiade Tokyo perlu dilakukan dengan bijaksana. Sebab, di balik bonus yang berlimpah, masih banyak atlet yang berlatih dengan fasilitas seadanya di daerah.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Ganda putri bulu tangkis peraih medali emas di Olimpiade Tokyo, Greysia Polii/Apriyani Rahayu, dan rombongan kontingen Indonesia tiba di Tanah Air, Rabu (4/8/2021) tengah malam WIB. Meskipun disambut sederhana, bonus melimpah menanti para pahlawan olahraga itu.
Tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting dan lifter Rahmat Erwin Abdullah, dua atlet peraih medali perunggu, ikut dalam rombongan itu. Sebelum menjalani karantina di Tanah Air, mereka disambut sejumlah pejabat, salah satunya Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.
Pemerintah pusat dan daerah, pihak swasta, hingga pelaku usaha rintisan, telah ”antre” memberikan bonus, khususnya bagi Greysia/Apriyani. Paling tidak ada 41 jenis bonus yang telah dijanjikan, antara lain uang tunai, rumah, tanah, ternak, gerai usaha, beasiswa, ponsel, hingga liburan gratis. Pemerintah pusat, misalnya, menjanjikan bonus Rp 5 miliar untuk peraih emas.
Menurut pengamat olahraga, Fritz E Simanjuntak, Greysia/Apriyani dan para peraih medali lainnya layak mendapatkan bonus melimpah itu. Bonus-bonus itu adalah bentuk apresiasi dari perjuangan mereka meraih prestasi yang telah mengangkat harkat dan semangat publik Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
”Mereka telah memberikan inspirasi yang luar biasa untuk bangsa dan negara ini,” ungkap Fritz, dihubungi kemarin.
Akan tetapi, ia mengingatkan, masih banyak atlet potensial di negeri ini yang belum mendapatkan dukungan memadai. Mayoritas dari mereka berlatih dengan fasilitas dan pembinaan seadanya.
Memprihatinkan
Fritz mencontohkan kondisi bekas tempat latihan Rahmat di kawasan Stadion Mattoangin, Sulawesi Selatan, pada Oktober 2019 lalu. Tempat latihan berukuran sekitar 5x5 meter itu amat memprihatinkan. Peralatan yang tersedia sudah berkarat dan tertinggal puluhan tahun. Namun, dalam kondisi itu, Rahmat masih bisa meraih medali perunggu di Olimpiade Tokyo.
Melihat kurangnya perhatian, baik itu dari pemerintah daerah ataupun pengurus cabang, Fritz juga ragu apakah nanti ada tempat latihan baru dengan peralatan lebih memadai ketimbang sasana angkat besi yang telah dibongkar itu. ”Saya sedih sekali waktu melihat tempat itu,” ujarnya.
Pemerintah bakal melakukan perubahan paradigma ekstrem dalam pembinaan olahraga. Hal itu telah tertuang dalam rancangan Grand Design Olahraga Nasional. (Menpora Zainudin Amali)
Dikdik Zafar Sidik, dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia, sependapat, penghargaan atau bonus untuk atlet berprestasi harus dilakukan, tetapi dengan cara bijaksana. Jika tidak, itu bisa menjadi bumerang di masa mendatang.
”Kalau jumlah atlet berprestasi semakin bertambah (khususnya di Olimpiade), pemerintah nanti akan kewalahan karena terbiasa memberikan bonus besar,” katanya.
Berbeda dengan Indonesia, sejumlah negara maju memberikan bonus uang yang jauh lebih kecil. Amerika Serikat, misalnya, hanya memberikan bonus 37.500 dollar AS atau Rp 540 juta bagi peraih emas di Olimpiade. Namun, jumlah emas mereka di Tokyo, hingga semalam, mencapai 29 buah.
AS berorientasi meraih lebih banyak medali emas untuk menyaingi China yang telah mengoleksi 34 medali emas di Tokyo. Maka itu, AS lebih banyak menyalurkan anggaran olahraganya untuk pembinaan, bukan bonus.
”Kalau ingin prestasi kita lebih baik, prosesnya atau pembinaan perlu lebih dihargai,” ungkap Dikdik.
Ia berharap, perbaikan pembinaan atlet segera dilakukan agar Indonesia meraih lebih banyak medali emas di Olimpiade Paris 2024 mendatang. Agar itu bisa berjalan baik, anggaran wajib menyesuaikan program. Bukan sebaliknya, seperti yang kerap terjadi selama ini.
”Kalau anggaran diprioritaskan ke proses, kita berpeluang mendapatkan prestasi lebih baik di Olimpiade. Contohnya, kita bisa memaksimalkan lifter 61 kilogram, Eko Yuli Irawan, merebut emas,” tuturnya tentang atlet peraih medali perak di Olimpiade Tokyo itu.
Perubahan paradigma
Zainudin Amali, dalam konferensi pers daring, berkata, pemerintah bakal melakukan perubahan paradigma ekstrem dalam pembinaan olahraga. Hal itu telah tertuang dalam rancangan Grand Design Olahraga Nasional (GDON) dan revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Sasaran utama prestasi olahraga nasional adalah Olimpiade, bukan Asian Games ataupun SEA Games. Tolak ukur prestasinya pun dari peringkat, bukan perolehan medali. Hal itu untuk mendorong perluasan basis proyeksi cabang peraih medali. Selama ini, bulu tangkis dan angkat besi menjadi dua cabang olahraga yang diandalkan meraih medali Olimpiade.
Pemerintah akan menetapkan 14 cabang unggulan. Mereka akan diprioritaskan dalam dukungan anggaran dan pembinaan, antara lain lewat program bapak angkat dari BUMN. ”Implementasi GDON nantinya tidak hanya dijalankan Kemenpora karena terbatasnya anggaran. Kami bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait lainnya,” ujar Zainudin.